BI Dorong Raperda PUG Segera Disahkan untuk Perkuat Kesetaraan Gender dan Inklusi Sosial di Bojonegoro
Admin, Published at 2024-11-08
Bojonegoro - Masalah ketimpangan gender di Kabupaten Bojonegoro dinilai masih tinggi. Ini sebagaimana disampaikan Direktur Bojonegoro Institute, Aw Saiful Huda, dalam kegiatan Focus Group Discussion (FGD) Penyusunan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Pengarusutamaan Gender (PUG) Kabupaten Bojonegoro, pada Rabu (6/11/2024) lalu.
“Indeks Ketimpangan Gender (IKG) Kabupaten Bojonegoro pada tahun 2023 sebesar 0,423 poin, menempati urutan tertinggi ke-12 dari 38 kabupaten/kota di Jawa Timur,” ujar Awe, panggilan akrabnya.
Tingginya tingkat ketimpangan gender ini menunjukkan adanya ketimpangan gender di beberapa sektor pembangunan di Bojonegoro, meliputi sektor kesehatan, pemberdayaan dan partisipasi ekonomi.
Awe menegaskan bahwasanya pengarusutamaan gender tidak hanya berfokus membahas perempuan saja, tetapi segala ketimpangan sosial yang ada. Termasuk ketimpangan terhadap laki-laki, anak-anak, lansia, disabilitas dan lainnya.
“Misalnya, Angka Harapan Hidup (AHH) laki-laki di Bojonegoro lebih rendah dibanding perempuan,” jelasnya.
Ia juga mencontohkan beberapa pembangunan trotoar ruas jalan kawasan perkotaan, memang sebagian besar sudah ada guiding block (garasi pemandu) untuk penyandang disabilitas, tetapi beberapa ujung trotoar tidak dibuat miring atau landai, sehingga justru menyusahkan dan membahayakan bagi para penyandang disabilitas.
“Ini menunjukkan perlunya pengarusutamaan gender dalam penyusunan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan infrastruktur publik di Bojonegoro.”
Menurut Awe, seharusnya pada saat membuat desain pembangunan infrastruktur publik seperti trotoar perlu melibatkan komunitas penyandang disabilitas, agar hasilnya benar-benar ramah disabilitas.
Pengarusutamaan gender merupakan strategi pendekatan perencanaan, anggaran, pelaksanaan hingga monitoring dan evaluasi kegiatan program pembangunan agar peka terhadap permasalahan ketimpangan sosial berbasis gender.
Dalam pelaksanaan pengarusutamaan gender, Perangkat Daerah perlu melibatkan partisipasi masyarakat, terutama kelompok rentan, agar program kegiatan yang dirancang nantinya sesuai dengan permasalahan dan kebutuhan, khususnya kelompok rentan.
“Kami, Bojonegoro Institute, sebenarnya sudah lama mendorong Perda Pengarusutamaan Gender, agar pelaksanaan pengarusutamaan gender di Kabupaten Bojonegoro semakin memiliki landasan hukum yang kuat,” ungkap Awe.
Terkait dengan draft Raperda Pengarusutamaan Gender yang dipaparkan dan dibahas dalam FGD, Awe memberikan beberapa catatan dan masukan. Pertama, perlu ada ketentuan yang mengatur peran desa dan kelurahan dalam Pengarusutamaan Gender (PUG).
“Pemerintah desa dan kelurahan, perlu dilibatkan dalam pengarusutamaan gender, mengingat desa/kelurahan memiliki peran yang sangat strategis, menjadi ujung tombak pembangunan daerah, terutama dalam memberikan pelayanan masyarakat.”
Kedua, pengintegrasian aspirasi, pengaduan dan analisis ketimpangan gender dalam perencanaan, penganggaran, pelaksanaan hingga monitoring dan evaluasi program kegiatan perangkat daerah di lingkungan Pemerintah Kabupaten Bojonegoro.
“Dokumen perencanaan dan anggaran, seperti Renja (Rencana Kerja), Rencana Kerja Anggaran (RKA) masing-masing Perangkat Daerah sudah memuat analisis gender,” jelas Awe.
Ketiga, meningkatkan pengelolaan data terpilah gender. Pengelolaan data terpilah ini sangat penting karena menjadi dasar bagi para pemangku kebijakan dan pemangku kepentingan di daerah untuk membuat analisis ketimpangan gender, merumuskan strategi kebijakan dan menyusun program kegiatan pembangunan yang lebih responsif gender dan inklusif.
“Sebenarnya setiap program kegiatan Perangkat Daerah perlu dilampiri analisis ketimpangan gender. Karena itu ketersediaan data terpilah gender ini sangat dibutuhkan, yang harus ada dan mudah diakses setiap saat.”
Oleh karena itu, Awe menyarankan agar data terpilah gender dikelola dalam platform atau sistem informasi yang mudah diakses dan dimanfaatkan oleh para pihak, terutama para pemangku kebijakan lokal daerah.
Keempat, perlunya terobosan penguatan kelembagaan PUG. Misal, membentuk Multi-Stakeholder Partnership (MSP) atau kesekretariatan Kelompok Kerja (Pokja) PUG yang melibatkan multi-stakeholder, meliputi unsur akademisi, organisasi masyarakat sipil, pelaku usaha, jurnalis dan lainnya.
“Perlu ada kolaborasi multi pihak untuk mewujudkan pembangunan Bojonegoro yang responsif gender, inklusif ramah terhadap semua lapisan masyarakat Bojonegoro, terutama penyandang disabilitas, lansia, anak-anak dan kelompok rentan lainnya,” pungkas Awe.