Dampak Krisis Iklim Makin Nyata, APBD Bojonegoro Harus Berwawasan Lingkungan
Admin, Published at 2022-11-29
Sumber: Photo by Joko Maghribi
Ancaman krisis iklim semakin nyata. Suhu permukaan bumi terus meningkat, bahkan lebih cepat dari perkiraan para pakar. Hal ini menimbulkan berbagai bencana ekologi, seperti cuaca ekstrem, banjir, tanah longsor dan bencana lainnya, terjadi di mana-mana. Termasuk di daerah, seperti Bojonegoro.
Aw Syaiful Huda, salah satu pegiat lingkar Studi Ekologi dan Energi Terbarukan (SuKET) Bojonegoro menyatakan, dampak perubahan iklim atau krisis iklim sudah banyak dirasakan oleh warga Bojonegoro.
"Warga merasakan, terutama saat musim kemarau, setiap tahun suhu udara di Bojonegoro naik, sehingga semakin terasa panas. Banyak titik sumber air tanah mengalami penurunan debit air, bahkan banyak diantaranya telah mengering," ungkap Awe, panggilan akrab dia.
Ia mengingatkan, suhu udara yang terus meningkat ini, sangat berpotensi menyebabkan masalah kesehatan. Tidak hanya manusia tapi juga bagi ekosistem yang lain. Pemakaian energi juga bakal semakin meningkat. Orang-orang banyak memakai pendingin ruangan seperti AC ataupun kipas angin. Cepat atau lambat pasti bakal merembet pada masalah krisis energi, tingkat kesejahteraan dan kesenjangan sosial.
Begitu pula saat musim hujan tiba. Cuaca ektrem dan intensitas hujan tinggi, apalagi ditopang kawasan serapan air yang semakin minim, menyebabkan banjir bandang dan longsor di beberapa wilayah Bojonegoro meningkat.
Pada November (2022) ini saja tercatat sudah ada puluhan desa diterjang banjir bandang, seribuan lebih rumah warga terendam banjir. Banyak tanaman pertanian yang terendam, diantaranya, ada yang harus dipanen dini.
Hujan deras juga menyebabkan wilayah perkotaan Bojonegoro tergenang banjir. Bahkan dalam bulan November ini saja, seputaran perkotaan Bojonegoro sudah tergenang banjir air hujan lebih dari 3 kali. Jika ruas jalan sering tergenang tentu saja dapat menurunkan kualitas jalan. Seperti bangunan jalan tidak awet, aspal mengelupas, banyak lobang dan lainnya.
Awe menyebut, dampak cuaca ekstrem akibat krisis iklim paling nyata dirasakan petani dan buruh tani. Krisis iklim berikut cuaca ekstrem termasuk menyebabkan serangan hama dan penyakit tanaman meningkat. Banjir bandang yang cukup sering terjadi, lama kelamaan akan mengikis lapisan atas tanah yang mengandung unsur hara, dikarenakan ikut terbawa arus air.
Krisis iklim juga dinilai menyebabkan peralihan musim jadi tidak menentu, sehingga para petani mengalami kesulitan menentukan waktu tanam berikut memilih jenis komiditas pertanian yang akan ditanam. Pada Juni 2021, misalnya. Kurang lebih 450 hektar tanaman tembakau di 5 (lima) kecamatan di Kabupaten Bojonegoro, mati terendam air hujan. Hujan deras ini terjadi kala musim kemarau, fenomena yang jarang terjadi di tahun-tahun sebelumnya.
Peristiwa serupa juga terjadi di awal September 2022 kemarin. Kurang lebih 60 hektar tanaman tembakau milik petani Desa Banjaran dan Desa Sraturejo, Kabupaten Bojonegoro, mengalami gagal panen, setelah sebelumnya diguyur hujan lebat.
Sementara menurut Awe, alokasi anggaran Pemkab Bojonegoro untuk sektor pertanian hanya sekitar 2 persen dari nilai APBD Bojonegoro. Padahal, pertanian merupakan lokomotif perekonomian basis masyarakat Bojonegoro. Tingkat kemiskinan daerah juga mayoritas di sektor pertanian.
"Para petani dan buruh tani yang paling rentan terdampak krisis iklim dan bencana ekologi, maka anggaran segitu saya rasa sangat kecil, harus dinaikkan," tutur dia.
Namun, meski dampak krisis iklim di Bojonegoro sudah nyata di depan mata, perhatian para pemangku kebijakan di daerah selama ini masih sangat minim. Penilaian ini didasarkan, diantaranya pada kebijakan perencanaan dan anggaran pembangunan di Bojonegoro yang belum berwawasan ramah lingkungan.
Anggaran Pemerintah Kabupaten Bojonegoro (Pemkab) Bojonegoro untuk pembangunan lingkungan hidup hanya Rp50,9 miliar atau sekitar 0.9 persen dari total belanja daerah. Ini menurun jika dibanding tahun 2021, yang mencapai Rp142,3 miliar atau sekitar 2,3 persen.
Belum lagi anggaran fungsi lingkungan hidup tersebut banyak terserap untuk alokasi belanja pegawai, kegiatan-kegiatan koordinasi. Sementara alokasi anggaran yang langsung bersentuhan dengan upaya pelestarian lingkungan ataupun recovery (pemulihan) kawasan lindung terkadang justru minim.
Kabupaten Bojonegoro juga dinilai belum memiliki kebijakan ataupun rencana aksi pengendalian emisi gas rumah kaca (GRK). Padahal, jika mengacu Perpres 98/2021, ada mandat kepada Pemerintah Kabupaten untuk menyusun rencana aksi adaptasi perubahan iklim di daerah.
Dengan melihat berbagai persolan yang berkaitan dengan ancaman krisis iklim dan bencana ekologi, sebagaimana dijelaskan di atas, Awe menyebutkan, berdasarkan diskusi-diskusi yang dilakukan para pegiat Lingkar Studi Ekologi dan Energi Terbarukan (SuKET) Bojonegoro, berharap Pemkab Bojonegoro memberikan perhatian serius terkait ancaman krisis iklim dan bencana ekologi.
Terlebih Bojonegoro merupakan daerah penghasil migas terbesar di Indonesia. Pendapatan daerah (APBD) Bojonegoro mayoritas dari pendapatan migas. Sebab itu, Pemda Bojonegoro harus memiliki rasa tanggungjawab atas rantai karbon yang dihasilkan dari migas yang diambil dari Bojonegoro.
Meskipun “fosil oil” (bahan bakar minyak) tersebut tidak dibakar di Bojonegoro, tetapi setiap tetes bahan bakar minyak berasal dari Bojonegoro yang dibakar di luar sana, maka meninggalkan jejak emisi karbon dari kabupaten yang dikenal dengan sebutan "Kota Ledre" ini.
"Bojonegoro harusnya menjadi kabupaten pelopor dalam pengendalian emisi gas rumah kaca, diantaranya dibuktikan dengan ikut mendukung pencapaian target pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK), sebagaimana sudah ditetapkan dalam dokumen Nationally Determined Contribution (NDC) Indonesia, 2021," ujarnya.
Lalu apa yang harus dilakukan Pemkab Bojonegoro? Menurut Awe, langkah pertama yang perlu dilakukan Pemkab Bojonegoro, adalah menyusun rencana aksi pengendalian gas rumah kaca. Rencana aksi ini dirumuskan secara partisipatif, dengan melibatkan multipihak, seperti organisasi masyarakat sipil (OMS), akademisi, jurnalis, dan pelaku usaha.
Juga termasuk perwakilan kelompok perempuan, anak muda, disabilitas dan lainnya. Rencana aksi pengendalian gas rumah kaca ini termasuk memuat upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.
"Pelibatan partisipasi publik ini, selain untuk menjaga keberlanjutan, juga membuka ruang kolaborasi, sinergitas, yang bisa memacu inovasi dan terobosan-terobosan dalam penanganan masalah lingkungan," kata dia.
Selain itu juga, menurut dia, Pemkab Bojonegoro perlu melakukan inventarisasi emisi gas rumah kaca. Inventarisasi emisi gas rumah kaca ini untuk mengetahui sumber dan besaran emisi gas rumah kaca yang dihasilkan di wilayah Bojonegoro, sekaligus untuk menetapkan target penyerapan emisi di daerah.
Kemudian kebijakan perencanaan dan anggaran pembangunan Kabupaten Bojonegoro juga harus disusun dengan menggunakan perspektif lingkungan atau “Green Budgeting” (Anggaran Hijau). Pengarusutamaan (mainstreaming) perencanaan dan anggaran pembangunan daerah yang berwawasan lingkungan ini cukup penting dilakukan, agar masalah lingkungan hidup tidak ditangani secara sektoral, tetapi dengan pendekatan multisektor dan multipihak.
Kebiasaan yang berlaku selama ini, masalah lingkungan seringkali hanya dianggap jadi wewenang dinas tertentu saja, seperti Dinas Lingkungan Hidup (DLH), padahal semestinya semua sektor harus terlibat.
"Misal Dinas Pendidikan, juga harus memiliki tanggungjawab terhadap penanganan masalah lingkungan, misal dengan membangun kesadaran melalui peningkatan literasi ekologi di lingkungan lembaga pendidikan, dan lain sebagainya," pungkas dia.
Sebagai informasi saja, Lingkar Studi Ekologi dan Energi Terbarukan (SuKET), merupakan forum diskusi dan kajian para pegiat komunitas masyarakat sipil dan jurnalis yang memiliki perhatian dan kepedulian terhadap isu lingkungan di Bojonegoro. Forum lingkar Studi Ekologi dan Energi Terbarukan (SuKET) ini pada awalnya diinisiasi oleh Bojonegoro Institute, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bojonegoro, Poverty Resource Center Initiative (PRCi) serta beberapa pegiat dan pemerhati isu lingkungan, dan bermarkas di Rumah Kolaborasi, Bojonegoro.