Film Percy vs Goliath; Tentang Perjuangan Petani Kecil Melawan Perusahaan Raksasa
Admin, Published at 2021-07-08
Film Percy vs Goliath ini langsung masuk list film favorit yang pernah saya tonton. Film ini mengangkat kisah nyata pertarungan tak seimbang, antara seorang petani kecil, bernama Percy Schmeiser, melawan raksasa agribisnis dunia Monsanto.
Percy, nama panggilannya, adalah seorang petani asal Bruno, Saskatchewan, Kanada. Namanya mendunia, setelah perusahaan raksasa bioteknologi Monsanto menyeret dan menuntutnya di pengadilan pada tahun 1989. Percy yang berusia sekitar 70-an tahun ini dianggap telah mencuri hak paten dan menggunakan benih Kanola GMO (Genetically Modified Organism) yang dikembangkan perusahaan itu di lahan pertaniannya.
Pengadilan memenangkan pihak perusahaan. Tapi Percy menolak membayar sedikit pun nilai ganti rugi yg telah diputus pengadilan itu. Sebab ia merasa 'haqqul yaqin' selama ini hanya menjalankan pertanian secara tradisional. Ia menerapkan sendiri teknik pemilihan & penyimpanan benih dengan metode yang diwariskan leluhurnya secara turun temurun. Ia tidak pernah membeli, apalagi memakai benih hasil modifikasi genetika milik Mosanto.
Percy pun geram, melawan. Ia tidak mau membayar ganti rugi. Pihak Mosanto pun makin melancarkan tekanan pada Percy melalui berbagai cara. Diantaranya mengancam akan melipatgandakan nilai tuntutan ganti rugi hingga mencapai 1.2 juta dollar, nilai ini bisa membuat Percy bangkrut hingga tidak punya apa-apa lagi. Mosanto juga melakukan teror pada keluarga dan petani-petani lain yang berdiri di belakangnya.
Saat dalam kebimbangan hingga diambang keputusasaan, Percy bertemu dan mendapat dukungan Rebecca Salcau, seorang aktivis lingkungan People for Enviromental Protection (PEP). Melalui bantua Rebecca, dukungan pada Percy pung mengalir dari berbagai pihak; para aktivis dan petani-petani dari berbagai negara di dunia.
Namun, wajar juga, saat memikirkan ancaman Mosanto yang akan menaikkan nilai tuntutan menjadi 1.2 juta dollar itu, Percy pun sempat goyah, bimbang. Tetapi buru-buru ia menemukan kembali semangat juangnya setelah membaca surat-surat para petani dari berbagai penjuru dunia, yang terinspirasi dan bersimpatik pada perjuangannya.
Percy pun bangkit kembagi. Ia mengajukan banding ke Mahkamah Agung. Tentu saja dengan resiko besar yang siap ia tanggung jika kalah lagi. Termasuk kemungkinan seluruh lahan pertanian, rumah hingga aset-aset yang dimilikinya terancam bakal disita perusahaan.
Nonton film ini bisa membuat emosi kita meletup-letup, sekaligus bercampur rasa haru, begitu terbawa alur ceritanya. Terlebih saat mendengar orasi Percy di podium, ketika ia diundang untuk kampanye lingkungan & berbagi kisah pengalaman perjuangannya dlm forum seminar di beberapa negara.
Film ini sangat 'recommended' ditonton. Cukup inspiratif, terutama berkaitan dengan kampanye kedaulatan benih; sebuah pembelajaran dari semangat perlawanan petani kecil melawan perusahaan bioteknologi pertanian terbesar dunia.
Pada awal film, saya sudah disuguhi dialog yang bikin saya tersenyum; saat Percy sedang khusuk mengikuti ibadah. Tiba-tiba di tengah-tengah beribadah itu, ia musti keluar karena harus menyelamatkan benih-benih tanamannya dari hujan yang hendak turun. Kira-kira begini dialognya;
"Lhoo...lhoooo... khutbah e durung bar, kok wes cabut, Nda ..".
"Tuhan pasti mengerti...," jawab Percy dengan 'haqqul yaqin'.
Dialog ini mengingatkan saya pada kata-kata yang populer di kalangan mahasiswa kala itu; "maaf tuhan, kami sedang sibuk".
Ya! Percy benar...Tuhan pasti tahu dan mengerti tentang kesusahan-derita para petani. Dia juga pasti memahami betapa kerasnya jalan hidup seorang petani kecil, termasuk petani di Indonesia.. Dikuyo-kuyo oleh kemiskinan struktural yang membuatnya makin tak berdaya. Mulai dari konflik lahan, kebijakan impor yang menghancurkan harga hasil pertanian dalam negeri, kriminalisasi petani, hutang, mata rantai distribusi pangan yang makin panjang, hingga persoalan distribusi pupuk dan lain sebagainya.
Saat Percy diundang sebuah seminar internasional yang dihadiri berbagai aktifis pertanian dari berbagai negara, Percy dalam pembukaan orasinya berkata:
"Mosanto bilang, jika anda memilki properti (benih) mereka di tanahmu. dengan jenis Gen (Genetically Modified) yang mirip dengan milik mereka. Maka cara membuktinkannya adalah dengan menyemprot ladang pertanianmu dengan bahan kimia mereka. Lalu segala sesuatu yang mati dan tidak berharga, itulah yang menjadi milikmu. Sedangkan segala sesuatu yang bertahan memiliki gen GM-nya adalah milik mereka, Mosanto", kata Percy.
Lalu terjadi keributan di antara peserta seminar, ada yang berpendapat rekayasa genetika akan membantu para petani, mengatasi persoalan kemiskinan dan kelaparan. Pendapat ini dibantah peserta yang lain, suasana pun tegang. Melihat situasi panas, Percy pun hendak meninggalkan podium. Namun langkahnya terhenti, ia lalu berkata:
"Stop. Jangan berkelahi! Jangan lakukan itu. Karena itu yang mereka inginkan. Kita saling kelahi dan berdebat. Dan saat kita sibuk bertarung, mereka mengambil alih. Di negara ini (India) banyak petani bunuh diri masal. Karena mereka berhutang pada Mosanto, mereka kehilangan tanah. Akupun mungkin bakal kehilangan pertanianku. Bahkan atak akan ada yang tersisa dari milikku. Jadi saya mengerti kenapa mereka memilih bunuh diri. Karenanya jangan bertengkar. Tidak ada yang membantu kita kecuali kita sendiri," pungkas Percy, yang disambut haru dan gemuruh tepk tangan dari para peserta.
Yups, Solidaritas petani adalah kekuatan sesungguhnya. Begitu, bukan?
*Penulis: Aw. Syaiful Huda, Tim Poverty Resource Center Initiative (PRCi)