Masa Pandemi, Saatnya Tumbuhkan Minat Bertani Anak Muda
Admin, Published at 2021-01-04
Sumber: Aw Saiful Huda
Bojonegoro - Peneliti Poverty Resource Center Initiave (PRCI), Aw Saiful Huda mengungkapkan, selain memberi dampak negatif pada sektor kesehatan masyarakat, pandemi Covid-19 juga menyebabkan tingkat pengangguran meningkat dan daya beli masyarakat menurun.
"Angka pengangguran meningkat, daya beli masyarakat menurun," kata Awe, panggilan akrabnya.
Menurut penuturan Awe, sektor pertanian menjadi salah satu dari tiga sektor utama penyangga perekonomian Jawa Timur pada triwulan III. Yaitu sektor usaha industri pengolahan (sebesar 30,36 persen), sektor perdagangan (sebesar 17,51 persen) dan sektor pertanian (sebesar 13,36 persen).
"Pada situasi pandemi saat ini, pertanian masuk tiga besar sektor penyangga perekonomian Jawa Timur," ujar Awe.
Awe menjelaskan, sektor pertanian jadi salah satu sektor yang masih tumbuh positif, meskipun beberapa sektor usaha perekonomian di Jawa Timur mengalami kontraksi. "Meskipun selama ini sektor pertanian kurang mendapat perhatian lebih dari pemerintah, tapi pada saat pandemi membuktikan kontribusi sektor pertanian ikut menyelamatkan perekonomian, dengan masih tumbuh positif sebesar 4.32 persen di saat banyak sektor ekonomi mengalami kontraksi".
Oleh karenanya, Awe pun berharap agar situasi pandemi Covid-19 ini menjadi momentum bagi pemerintah untuk meningkatkan sektor pertanian, terutama menumbuhkembangkan minat kalangan muda pada dunia pertanian.
"Terjadi krisis regenerasi di sektor pertanian. Kalangan muda makin banyak yang tidak tertarik bekerja di sektor pertanian. Para petani kita didominasi oleh kalangan orang tua dan lanjut usia. Jika ini dibiarkan, bakal mengancam masa depan sektor pertanian dalam negeri".
Sebagai salah satu kabupaten dengan jumlah petani terbanyak nomor tiga di Jawa Timur, situasi krisis regenerasi petani ini juga terjadi di Kabupaten Bojonegoro. Awe mengungkapkan berdasarkan kelompok umur petani di Kabupaten Bojonegoro, petani yang berumur di bawah 25 tahun sekitar 1,27 persen, petani umur 25-34 tahun sekitar 10.02 persen, petani umur 35-44 tahun sekitar 23.27 persen, petani 45-54 tahun sekitar 30.01 persen, petani 55-64 tahun sekitar 22.83 persen, dan petani umur 65 tahun ke atas sekitar 12.59 persen.
“Dari data klasifikasi petani berdasarkan kelompok umur ini menunjukkan mayoritas petani di Bojonegoro berusia di atas 35 tahun, sedangkan partisipasi anak muda atau kaum milenial di sektor pertanian minim sekali,” ungkap Awe.
Menurutnya, ada beberapa alasan yang menjadikan pertanian kurang diminati oleh anak muda, diantaranya karena faktor pendapatan, gengsi dan karir, minim pengetahuan dan keterampilan, akses lahan dan permodalan dan lain sebagainya.
"Persepsi kurang bagus terkait kegiatan bertani kadang sudah dibentuk saat masih sekolah dan oleh keluarga. Misalnya orang tua sering bilang jangan jadi petani, soale rekoso," jelas Awe.
Karenanya menurut Awe, pemerintah pusat ataupun pemerintah daerah perlu menumbuh kembangkan minat anak muda pada sektor pertanian melalui pemberian insentif dan kebijakan yang berpihak pada petani, terutama bagi kalangan muda. "Perlu ada pemberian insentif untuk menumbuhkan partisipasi generasi muda pada sektor pertanian".
Menurutnya, jenis insentif bisa beragam sesuai kebutuhan. Misalnya insentif untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan bertani melalui beasiswa, dukungan pada kegiatan riset dan pengembangan agroindustri, ataupun pemberian pelatihan-pelatihan yang dikelola secara serius dan berkualitas. Untuk akses pasar, bisa dengan memberikan insentif berupa fasilitasi dan pendampingan agar produk-produk pertanian yang dihasilkan bisa diterima pasar.
"Untuk masalah permodalan, bisa diberikan insentif dalam bentuk hibah bersyarat, pemberian pinjaman tanpa bunga dan lain-lain," imbuhnya.
Namun Awe juga memberi catatan, dimana secara makro kebijakan pemerintah juga harus berpihak pada petani. Misalnya soal kebijakan ekspor dan impor harus benar-benar melalui pertimbangan dan aspirasi petani dalam negeri.
"Soal kesejahteraan petani harus benar-benar diperhatikan, agar Indonesia yang sebenarnya negara agraris ini bisa surplus pangan. Bahkan semestinya bisa banyak mengekspor hasil-hasil pertanian, bukan malah sebaliknya," harapnya.
Ia menambahkan, dalam situasi pandemi Covid-19 yang belum bisa dipastikan kapan berakhir ini, angka pengangguran meningkat, di sisi yang lain jumlah angkatan kerja terus bertambah besar. Sehingga belajar dari situasi pandemi ini, pemerintah pusat maupun daerah memiliki momentum mendorong partisipasi kaum muda di dunia pertanian.
"Daripada rebahan tidak ada pemasukan, mending berkebun, sehingga bisa menghasilkan pendapatan. Sekaligus bisa jadi kesibukan daripada bingung tidak ngapa-ngapain. Iya kan?," pungkas Awe.