Penguatan Pemahaman Gender bagi Perempuan Bojonegoro

Admin, Published at 2019-08-27

Bojonegoro - Tingginya angka kemiskinan di Kabupaten Bojonegoro, menurut peneliti Poverty Resource Center Inititive (PRC-Initiative), Aw Syaiful Huda, disebabkan banyak faktor. Diantaranya tingkat kemampuan daya beli masyarakat yang masih rendah, serta tingkat kesenjangan gender di daerah yang masih tinggi. Ia pun mencontohkan salah satu bentuk kesenjangan gender antara penduduk laki-laki dan perempuan di Kabupaten Bojonegoro dalam sektor ekonomi dan pendidikan.

“Tingkat pengeluaran perkapita penduduk laki-laki di Bojonegoro mencapai angka 14 juta rupiah per tahun. Sedangkan perempuan hanya sekitar 8 juta rupiah per tahun. Nilai IPM (Indeks Pembangunan Manusia) laki-laki sekitar 71.90 persen, sedangkan nilai IPM perempuan hanya 64.55 persen,” jelas Saiful Huda.

Saiful Huda pun berharap, agar para pemangku kepentingan memiliki perhatian terhadap keseteraan gender. Termasuk dalam meningkat perekonomian kelompok perempuan di Kabupaten Bojonegoro yang memiliki kemampuan daya beli masih rendah. 

“Penting sekali para pemangku kebijakan, baik di level kabupaten maupun desa memahami isu gender ini,” katanya.

Pemahaman tentang gender, memang sangat penting. Terutama bagi perempuan Bojonegoro.  Kondisi itu memicu sejumlah pihak mengadakan pelatihan terkait partisipasi perempuan dan gender. Satu di antaranya adalah Bojonegoro Institut (BI).

Selama 30 April – 3 Mei 2019, Bojonegoro Institute gelar pelatihan terkait partisipasi perempuan dalam perencanaan gender. Dalam pelatihan yang menggandeng Transparency Internasional Indonesia (TII) tersebut, tema yang diusung adalah “Training of Trainer Participatory Budgeting Gender Dalam Rencana Anggaran Sektor Pendidikan dan Kesehatan”.

Pelatihan yang diselenggarakan di Hotel Aston itu mengundang perempuan dari beberapa institusi yang ada di Bojonegoro.

Di hari pertama pelatihan, peserta diberikan pemahaman mengenai konsep gender, pengarusutamaannya, dan juga analisis kesenjangan gender. Kemudian, peserta diberikan pemahaman mengenai hak-hak dan kewajiban mereka sebagai warga Negara.

Pelatihan yang dihadiri oleh sekitar 20 orang tersebut berlangsung aktif. Selama jalannya acara, peserta aktif dalam bertanya sehingga arus informasi berjalan dua arah.

“Teman-teman dikasih tahu soal hak dan kewajiban. Tapi di sini, kita lebih pada menyadarkan mereka akan hak-haknya sebagai warga negara Indonesia sih. Termasuk di dalamnya kesemoatan untuk ikut dalam perencanaan anggaran,” ujar Lilis Apriliati yang merupakan tim advokasi dari BI.

Di hari kedua, peserta diberikan materi mengenai aliran dana publik dan juga hakikat logika anggaran. Dari situ, peserta diajak untuk tahu kemana uang rakyat itu bermuara dan bagaimana uang itu digunakan. Kemudian peserta diajak untuk tahu bagaimana proses perencanaan dan penganggaran daerah.

Pemateri, Wasiyatus Zakiyah, yang merupakan konsultan dari Transparency Internasional juga menyertakan APBD Bojonegoro sebagai contoh dalam menerangkan materi proses perencanaan dan penganggaran daerah, sehingga peserta memiliki keterkaitan langsung dengan pembahasan.

Namun demikian, masih belum timbul kekritisan dari peserta ketika dipapaarkan data-data terkait penganggaran.

“Seperti tadi saya paparkan data APBD Bojonegoro. Itu alokasi untuk oendidikannya masih di bawah 20 persen, tapi tidak ada yang mengkritisi itu tadi,” ujar Wasiyatus Zakiyah.

Di hari ketiga dan keempat peserta mendapatkan materi mengenai struktur anggaran dan juga analisis anggaran. Jadi, peserta diajak untuk menganalis apakah dalam proses penganggaran tersebut sudah tepat guna dan responsif gender, dan apakah telah berkeadilan. Setelah beberapa materi diberikan, peserta diberikan posttest sebagai evaluasi seberapa jauh materi yang diberikan telah mampu dipahami oleh peserta. Dari hasil posttest yang dilakukan, muncullah nama Anis, salah satu peserta pelatihan yang memperoleh nilai tertinggi.

Di akhir acara, selain melakukan simulasi, peserta juga diminta untuk melakukan advokasi. Peserta dibagi ke dalam dua kelompok, yakni kelompok kesehatan dan kelompok pendidikan.
Dua kelompok tersebut akan memetakan masalah-masalah yang ditemui di lapangan untuk kemudian diajukan satu solusi sebagai bentuk advokasi. Peserta juga diajari bagaimana kemudian menyuarakan pendapatnya dan ke mana harus diajukan.

Setelah mengikuti pelatihan ini, peserta diharapkan mampu menjadi trainer di lingkungannya masing-masing, sehingga mempu membangkitkan partisipasi perempuan dalam proses penyusunan anggaran dan mendorong pemerintah untuk menyusun anggaran berbasis kesetaraan gender.

“Harapannya adalah, setelah ini, mereka bisa menjadi trainer. Mereka sudah dibekali dengan pengetahuan tentang hak dan kewajibannya,” ujar Lilis saat ditemui ketika sesi istirahat.
Sebenarnya, kata dia, pihaknya ingin fokus pada 3 hal: ekonomi, kesehatan, dan pendidikan. Namun, karena ekonomi terlalu luas, akhirnya difokuskan ke dua isu itu dulu. Tapi setelah ini, lanjutnya, diharapkan pihaknya bisa merambah ke isu-isu yang lain.

Lilis sebagai tim advokasi BI yang berfokus pada isu gender mengatakan bahwa pelatihan seperti yang dilakukan oleh BI ini sebenarnya hanya salah satu dari bentuk perhatian BI pada isu kesetaraan gender. Sebelum ini, diskusi mengenai isu-isu terkait dengan kesetaraan gender, bedah buku, seminar, sudah pernah dilakukan.

Acara-acara tersebut dilakukan untuk mendorong partisipasi perempuan dalam ruang publik, juga menyediakan ruang publik yang ramah pada perempuan. Sebagai langkah awal, perempuan harus diberi kesadaran mengenai hak-hak dan kewajibannya, baru kemudian dibangkitkan keberaniannya untuk berpartisipasi, dan setelah itu, mereka akan mampu menyuarakan tuntutan dan memperjuangkan haknya dan juga kelompok.

Share Link: