Perkuat Partisipasi Pemuda, BI Gelar Workshop Aksi Generasi Iklim Bojonegoro
Admin, Published at 2024-06-26
Sumber: By Joko Riyadi
Bojonegoro Institute (BI), sebuah Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) Bojonegoro, adakan kegiatan Workshop Aksi Generasi Iklim Bojonegoro, pada Kamis (27/6) kemarin di Kedai Mbah Yi.
Dalam pelaksanaan kegiatan yang dihadiri mayoritas pelajar dan anak muda ini, Bojonegoro Institute menggandeng beberapa komunitas pelajar dan anak muda di Kabupaten Bojonegoro, seperti Forum Anak Bojonegoro (FABO), Aktoce MediArt, GERKATIN (Gerakan Kesejahteraan untuk Tuna Rungu Indonesia), DKC Pramuka Bojonegoro, Gemapala, Argopala dan beberapa komunitas lainnya.
Bojonegoro Institute juga menggandeng pegiat Yayasan Adopsi Hutan Jawa Timur (YAH-JT), Putut Prabowo sebagai fasilitator workshop.
Menurut Direktur Bojonegoro Institute, Aw Saiful huda, pemuda dan pelajar merupakan aktor penting yang perlu dilibatkan dalam aksi perubahan iklim.
Para pemuda dan pelajar merupakan generasi berikutnya yang akan mewarisi tanggung jawab dan juga menghadapi berbagai permasalahan dari dampak perubahan iklim yang lebis serius.
“Anak-anak muda ini potensi menyebabkan krisis iklim masih sangat kecil dibanding generasi sebelumnya, namun justru mereka lah yang paling terdampak nantinya jika berbagai upaya mengatasi krisis iklim ini tidak berjalan sebagaimana mestinya,” kata Aw Saiful Huda, Direktur Bojonegoro Institute (BI).
Awe, panggilan akrabnya, menyebut dampak krisis iklim semakin nyata dan semakin serius. Bahkan dampaknya sudah dirasakan oleh masyarakat Bojonegoro, suhu bumi semakin panas, cuaca ekstrem, pergeseran musim semakin tidak menentu dan lainnya.
“Rata-rata suhu harian Bojonegoro di bulan Oktober-November tahun lalu, menempati peringkat terpanas di Jawa Timur. Dan ini dampaknya luar biasa, banyak ayam ternak yang stres, klenger, karena kepanasan,” ungkap Awe.
Pertanian dan peternakan merupakan sektor yang paling terdampak oleh perubahan iklim yang kini telah berubah jadi krisis iklim. Peralihan musim yang tidak menentu menyebabkan petani kesulitan menentukan masa tanam dan juga jenis tanaman.
Misalnya dua tahun lalu, banyak petani tembakau yang merugi karena gagal panen, akibat salah memprediksi musim. Dan masih banyak lagi dampak-dampak krisis iklim yang dirasakan oleh masyarakat Bojonegoro.
“Salah satu dampak krisis iklim bagi anak muda, sekarang makin sulit mencari tempat ngopi yang sejuk meskipun tidak ber-AC. Siang dikit udah terasa panas. Rumah juga begitu, harus nyalain kipas angin atau AC agar tidak kepanasan, dan tentu ini menyebabkan tagihan listrik jadi naik”.
Menurut Awe, Bojonegoro tidak hanya terdampak krisis iklim tetapi juga ikut berkontribusi menyebabkan terjadinya krisis iklim. Mengapa? Pertama, Bojonegoro merupakan kabupaten penghasil moigas terbesar di Indonesia, sekitar 1/4 (seperempat) produksi minyak dalam negeri berasal dari sumur-sumur lapangan minyak yang ada di Kabupaten Bojonegoro, meliputi lapangan Banyu Urip dan Kedung Keris (KDK), Blok Cepu; lapangan Sukowati, Blok Tuban, lapangan sumur tua Wonocolo dan lainnya.
“Kita tahu bojonegoro merupakan kabupaten penghasil minyak terbesar di Indonesia, dan kita juga tahu salah satu penyumbang emisi karbon tertinggi adalah penggunaan energi fosil, termasuk di dalamnya minyak bumi. Artinya setiap tetes minyak yang diproduksi dari Bojonegoro meninggalkan jejak-jejak emisi di mana-mana, sejauh minyak ini dibawa dan dipakai sebagai sumber energi”.
Kedua, tingkat deforestasi di Bojonegoro yang relatif tinggi. Sekitar 40 persen wilayah Bojonegoro merupakan kawasan hutan. Meskipun demikian, berdasarkan laporan Global Forest Wacth, sejak tahun 2001 hingga 2023, Bojonegoro telah kehilangan 4.65 kha (ribu hektar) tutupan pohon atau setara dengan penurunan 12% tutupan pohon sejak tahun 2000. Luas ini setara dengan 2.36 Mt (metrik ton) emisi CO?.
“Sejak tahun 2001 hingga 2023, Bojonegoro kehilangan tutupan pohon sekitar 4.65 ribu hektar, menempati peringkat tertinggi ke-5 di Jawa Timur,” ujar Awe.
Awe berharap melalui kegiatan workshop aksi generasi iklim Bojonegoro yang diselenggarakan oleh Bojonegoro Institute, banyak kalangan muda dan pelajar Bojonegoro yang mulai perhatian dan kemudian melakukan aksi nyata untuk memperkuat mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.
Sebagai informasi, pelaksanaan sekolah generasi iklim Bojonegoro berjalan cukup menarik, karena ditengah-tengah workshop diselengi pementasan musik oleh Band “Thutak thutuk Gathuk (TTG)”, sebuah komunitas band musik asal Bojonegoro yang terkenal dengan lagu-lagu yang bertemakan lingkungan, seperti Hujan, Laut Tanpa Pantai, Aroma Nasi dan Sungai.
“Kegiatan ini untuk menilai sejauh mana pemahaman anak muda dan pelajar Bojonegoro terkait dengan perubahan iklim dan dampak yang mereka rasakan. Kemudian tadi juga merumuskan berbagai rencana tindak lanjut untuk aksi generasi iklim oleh pelajar dan pemuda di Kabupaten Bojonegoro,” pungkas Awe.