Bojonegoro, Kabupaten Terkaya Nomor 3 di Indonesia

Admin, Published at 2020-12-31

Sumber: Data diolah dari berbagai sumber oleh Tim PRCI

Bojonegoro - Kabupaten Bojonegoro adalah salah satu kabupaten di Indonesia yang dikaruniai kekayaan sumber daya alam, berupa minyak dan gas bumi (migas) yang melimpah. Lebih dari seperempat produksi migas nasional dari daerah yang dijuluki 'Kota Ledre' ini. Dari potensi sumber daya migas yang dimilikinya, menjadikan nilai pendapatan dan belanja daerah naik signifikan. Peneliti Poverty Resource Center Initiative (PRCI), Aw Syaiful Huda, mengatakan berdasarkan besaran anggaran belanja daerah tahun 2020, Kabupaten Bojonegoro jadi kabupaten terkaya nomor tiga di Indonesia.

“Jika dilihat dari nilai anggaran belanja daerah tahun 2020, Kabupaten Bojonegoro bisa dibilang sebagai kabupaten terkaya No. 3 di Indonesia,” ungkapnya.

Menurut Awe, panggilan akrabnya, berdasarkan data Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Murni se-Indonesia (Per 8 Juli 2020), besaran nilai anggaran belanja daerah Kabupaten Bojonegoro pada tahun 2020 mencapai sekitar 6.4 triliun rupiah. Dengan nilai belanja daerah sebesar ini, Bojonegoro menempati urutan kabupaten dengan nilai belanja daerah tertinggi No. 3 di Indonesia. 

Berada diurutan pertama Kabupaten Bogor, dengan nilai belanja daerah sekitar 7.6 triliun rupiah. Lalu diurutan kedua Kabupaten Bekasi, dengan nilai belanja daerah sekitar 6.4 triliun rupiah. “Meski anggaran belanja daerah Kabupaten Bojonegoro tahun 2020 devisit, namun ditutup dengan nilai SiLPA (Sisa Lebih Perhitungan Anggaran) tahun sebelumnya (2019) yang mencapai lebih 2 triliun rupiah”.

Ia menambahkan, nilai anggaran pendapatan Kabupaten Bojonegoro tahun 2020, hanya sekitar 4 triliun rupiah dan menempati urutan kabupaten dengan pendapatan daerah tertinggi No. 12 se-Indonesia. Dari total pendapatan daerah tersebut, sekitar 63.9 persen bersumber dari pendapatan dana transfer dari pemerintah pusat.

“Pendapatan daerah masih tergantung dari dana transfer Pemerintah Pusat, terutama bersumber dari Dana Bagi Hasil (DBH) migas,” kata Awe.

Awe pun berharap, dengan nilai anggaran belanja daerah yang cukup besar, Pemerintah Daerah (Pemda) Kabupaten Bojonegoro sebenarnya memiliki kemampuan keuangan untuk membiayai pembangunan yang cukup besar, sehingga bisa lebih leluasa membuat program-program ataupun terobosan-terobosan kebijakan yang bisa berdampak pada percepatan pembangunan perekonomian daerah. Terutama pada sektor pertanian, usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) dan lainnya. 

"Meskipun APBD Kabupaten Bojonegoro cukup besar,  No. 3 di Indonesia, tapi tingkat kemiskinan masih cukup tinggi dan daya beli masyarakat juga masih cukup rendah. Ini membutuhkan komitmen yang besar dan strategi yang tepat sasaran," ungkap Awe.

Oleh karenanya, menurut Awe, pemberdayaan perekomian daerah memang masih jadi ‘PR’ yang tidak ringan. Sebelum pandemi Covid-19 saja, tingkat daya beli masyarakat Bojonegoro masih sangat rendah, apalagi dalam situasi pandemi saat ini. Awe menyebutkan, berdasarkan data pengeluaran perkapita yang disesuaikan (BPS), tingkat daya beli masyarakat Bojonegoro pada tahun 2019 sebesar Rp 10.265.000 per tahun, di tahun 2020 jadi sebesar Rp 10.121.000 per tahun. 

“Pengeluaran perkapita masyarakat Bojonegoro masih sangat rendah, di tahun 2020 ini berada diperingkat ke-27 di Jatim” jelasnya.

Jumlah penduduk miskin di Bojonegoro juga masih tinggi. Menurut Awe, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk miskin di Kabupaten Bojonegoro pada tahun 2019 sebanyak 154 ribu orang atau sekitar 12.38 persen, lantas di tahun 2020 jadi sebanyak 161 ribu orang atau sekitar 12.87 persen. "Ada kenaikan angka kemiskinan, sebesar 0.49 poin. Sehingga Bojonegoro masih menempati peringkat angka kemiskinan tertinggi No. 11 di Jatim". 

Dalam situasi pendemi saat ini, Pemda memang perlu menerapkan strategi pencegahan penyebaran Covid-19, karenanya Awe berharap agar usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) serta sektor pertanian perlu mendapat perhatian lebih. Misalnya pemberian insentif bagi pelaku usaha mikro kecil dan menengah agar tetap bisa survive meskipun dalam situasi pandemi Covid-19.

“Lalu mengapa sektor pertanian? Karena perekonomian basis masyarakat Bojonegoro hingga saat ini masih sektor pertanian. Ada lebih dari 60 persen rumah tangga di Kabupaten Bojonegoro yang bekerja di sektor pertanian,” ungkap Awe.

Awe pun mengungkapkan, sektor pertanian yang selama ini kurang diperhatikan oleh pemerintah, justru pada saat terjadi pandemi Covid-19 jadi salah satu sektor penyelamat perekonomian nasional dan daerah. Terbukti berdasarkan data BPS, pertumbuhan ekonomi Jatim pada Triwulan II 2020 secara year on year mengalami kontraksi, sebesar -5.90 persen. Hanya ada beberapa sektor saja yang masih mengalami pertumbuhan positif. Diantaranya sektor informasi dan komunikasi (10.39 persen), sektor jasa kesehatan dan kegiatan sosial (8.95 persen), sektor pertanian, kehutanan dan perikanan (7.46 persen), lalu sektor real estate (4.33 persen) dan jasa pendidikan (3.59 persen). 

“Sektor pertanian yang selama ini kurang diperhatikan, justru jadi penyelamat perekonomian nasional dan daerah selama pandemi Covid-19,” tambahnya.

Meski potensi dan kontribusi pertanian cukup besar terhadap perekonomian daerah dan nasional, namun dukungan alokasi anggaran pada bidang pertanian selama ini masih minim. Awe menyebutkan, anggaran belanja bidang pertanian Kabupaten Bojonegoro tahun 2020 hanya sekitar 2.30 persen dari total belanja daerah yang mencapai 6 triliun rupiah.

“Belanja bidang pertanian hanya 2.30 persen. Ini sudah termasuk belanja pegawai dinas dan dana hibah bidang pertanian,” jelas Awe.

Awe pun menyatakan apresiasi dan dukungan terkait rencana Pemerintah Daerah Kabupaten Bojonegoro yang menginisiasi penyusunan Peraturan Daerah (Perda) tentang pelindungan dan pemberdayaan petani, serta adanya rencana membentuk Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) khusus pertanian. Sehingga kedepan mungkin perlu pengembangan agroindustry atau industri pertanian di daerah, agar bisa mengurangi biaya produksi dan memberikan nilai tambah hasil pertanian di Bojonegoro.

“Tapi poin pentingnya, para petani perlu diajak bicara, baik melalui komunitas petani atau kelompok tani, agar terang apa yang sebenarnya dibutuhkan para petani untuk saat ini maupun untuk jangka panjang, dari permasalahan, solusi hingga peluang pengembangan sektor pertanian di daerah,” ujarnya.

Awe juga mengungkapkan, pandemi Covid-19 juga berdampak pada peningkatan angka pengangguran di Bojonegoro, dari 3.56 persen tahun 2019 jadi sebesar 4.92 persen di tahun 2020.

“Pemda perlu memperbanyak program-program padat karya, sehingga bisa menyerap tenaga kerja lokal untuk mengurangi angka pengangguran. Tentunya dengan menerapkan pencegahan Covid-19,” pungkas Awe.

Share Link: