Kesiapsiagaan Menghadapi Bencana di Musim Hujan

Admin, Published at 2021-10-05

Sumber: Photo By Aw Syaiful Huda

Kegiatan kelas diskusi "Kampus Terbuka" yang dihelat setiap hari Sabtu siang, kedatangan perwakilan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Bojonegoro, Zainul Ma'arif, pada Sabtu kemarin (2/10/2021) di angkringan Kopi Tani.

Mas Arif, nama panggilan akrabnya, saat ini menjabat sebagai sekretaris BPBD Bojonegoro. Terkait persoalan kebencanaan di daerah, ia tidak menampik beberapa pendapat dari para partisipan diskusi bahwa kawasan hutan, utamanya hutan lindung serta kawasan daerah aliran sungai (DAS) di wilayah Bojonegoro selatan, saat ini kondisinya cukup memprihatinkan. 

"Jika luasan tanaman tutupan (vegetasi) hutan dan daerah aliran sungai (DAS) semakin minim. Ini berpotensi menyebabkan bencana, seperti erosi, longsor dan krisis sumber air," terang Arif.

Menurut Arif, kondisi pohon tutupan lahan di kawasan hutan dan kawasan DAS yang semakin terus berkurang, hal ini bisa berdampak pada, salah satunya penurunan tingkat tangkapan air hujan dalam tanah. Dan dalam jangka panjang, dapat mengakibatkan krisis ketersediaan sumber air bersih.

"Jaman dulu, di wilayah selatan kita masih banyak menemukan sumber air dangkal dengan kedalaman 8-10 meter. Sekarang sudah sulit, sekarang kebanyakan sumber air dengan kedalaman 60-an meter," ujarnya.

Pria yang pernah lama bekerja sebagai pegawai di Kecamatan Sekar ini bercerita, pada jaman dahulu banyak "Sendang", yang banyak dimanfaatkan oleh warga. Kini Sendang banyak yang mengering dan hilang sumber airnya.

"Wah, jaman dulu banyak warga mandi bareng di Sendang. Dipisah, ada yang buat mandi khusus laki-laki, ada yang khusus perempuan. Namun sekarang banyak Sendang yang mengering," kenang Arif.

Arif juga mengungkapkan terkait penemuan beberapa goa di Bojonegoro. Berdasarkan karakteristiknya, goa yang ditemukan di Bojonegoro, kondisinya berbeda dengan kebanyakan goa yang ditemukan di Tuban. "Goa yang ditemukan di Bojonegoro, kondisinya kering. Sedangkan Goa di Tuban, kebanyakan basah, masih ada rembesan air, ini menunjukkan lingkungan sekitar masih baik, pohon-pohon tegakan di atasnya masih banyak," tutur Arif, bercerita.

Oleh karena itu ia berharap agar semua pihak, termasuk masyarakat, ikut berpartisipasi menjaga kelestarian hutan, terutama kawasan hutan lindung dan kawasan daerah aliran sungai (DAS), yang kondisinya saat ini cukup memprihatinkan karena minim dan semakin berkurangnya tutupan pohon.

Arif juga mewanti-wanti, agar masyarakat menjaga waspada dengan meminimalisir potensi bencana, apalagi saat ini sudah akan memasuki musim hujan. Ada beberapa bencana yang sering terjadi di Bojonegoro pada saat musim hujan, yakni banjir bandang dan banjir luapan air sungai, angin kencang, erosi dan kebakaran akibat korsleting listrik.

Selain itu juga menurut Arif, secara geologis, wilayah Bojonegoro utara termasuk dilewati sesar zona Kendeng, sementara di wilayah Bojonegoro selatan dilewati zona Rembang. Sehingga musti diwaspadai potensi bencana gempa atau bencana likuifasi di wilayah Bojonegoro tersebut.

Menyikapi penjelasan Arif, beberapa peserta kelas diskusi pun menyampaikan beberapa pendapat, serta masukan kepada sekretaris BPBD tersebut, diantaranya pentingnya program rehabilitasi kawasan hutan, utamanya kawasan hutan lindung, dan rehabilitasi kawasan daerah aliran sungai (DAS) yang berada di wilayah Bojonegoro.

"Informasi terkait kebencanaan ini harus disampaikan kepada warga masyarakat, perlu ada edukasi tentang upaya menjaga kelestarian alam. Selain itu, partisipasi masyarakat berkaitan dengan pengendalian kerusakan lingkungan ini harus ditumbuhkankembangkan oleh para pemangku kebijakan di daerah," ujar Radinal Ramadhana.

Sementara itu terkait kondisi hutan di Bojonegoro, Putut Prabowo, pegiat  Pengalasan Songo yang ikut hadir dalam diskusi mengungkapkan, bahwa mayoritas hutan di Bojonegoro adalah hutan produksi, sedangkan luasan hutan lindung kurang dari 10 persen saja. Inipun dengan catatan, kondisi hutan lindung di Bojonegoro saat ini sedang mengalami degradasi, seperti luasan pohan tutupan lahan hutan yang semakin minim dan terus berkurang.

Menurut catatan Putut, ada beberapa temuan mengenai kendala upaya rehabilitasi hutan di Bojonegoro. Salah satunya, dan ini jadi kendala terbesar, adalah karena mengenai status kelola hutan yang berada di bawah domain Perhutani. Hal ini menyebabkan para pemangku kepentingan lain, seperti pemerintah daerah, pihak swasta, korporasi ataupun lainnya, tidak bisa memasukkan program-program rehabilitasi maupun konservasi kawasan hutan.

"Karena konservasi hutan hanya menjadi kewenangan Perhutani saja," tutur Putut, nama panggilan akrabnya.

Oleh sebab itu Putut berharap, ada terobosan kebijakan maupun program yang dapat menjembatani 'kemandegan' ini. Ia mencontohkan, misalnya melalui skema Perhutanan Sosial, yang memungkinkan program-program bantuan, baik dari Pemerintah Daerah maupun Swasta, bisa dialirkan dengan dasar bantuan ke masyarakat desa hutan. Bukan ditujukan ke Perhutani.

*Ditulis oleh Tim notulen kegiatan kelas diskusi "Kampus Terbuka".

Share Link: