Kekayaan dan Kemiskinan Bojonegoro, Catatan Refleksi Akhir Tahun 2021
Admin, Published at 2021-12-31
Sumber: Lukisan Josias Cornelis Rappard (Dibuat tahun 1881-1883)
Negara yang punya sumber daya alam melimpah, tidak otomatis masyarakatnya jadi lebih sejahtera, dibanding negara-negara yang kurang akan sumber daya alam. Seorang peneliti dari Revenue Watch, program Open Society Institute, Svetlana Tsalik, menemukan fenomena menarik dalam risetnya: negara-negara -yang kurang akan sumber daya minyak dan mineral justru mengalami pertumbuhan ekonomi tiga kali lebih tinggi daripada yang kaya sumber daya alam ekstraktif tersebut.
Temuan Tsalik ini, sepertinya tidak jauh berbeda dengan gambaran daerah kaya sumber daya migas; Bojonegoro, sebuah daerah penghasil migas terbesar di Indonesia saat ini. Kabupaten yang pernah popular dikenal dengan sebutan “Kota Ledre” ini merupakan penyumbang lebih dari 1/4 (seperempat) produksi minyak bumi dalam negeri.
Dari kekayaan sumber daya migas tersebut, Bojonegoro mendapat aliran dana besar dari beberapa sumber dana dari sektor migas, diantaranya pendapatan dari Dana Bagi Hasil (DBH) migas, dana bagi hasil pajak dari sektor migas, ditambah lagi pendapatan yang bersumber dari Penyertaan Modal (Participating Interest) Lapangan Migas Blok Cepu, yang sudah mulai masuk dalam Kas Daerah.
Besarnya aliran dana pendapatan yang bersumber dari sektor migas ini telah mendongkrak nilai APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah) Kabupaten Bojonegoro, sehingga kita semua pun tahu, dalam beberapa tahun belakangan ini APBD Bojonegoro meningkat drastis, dan karena itu pula menyebabkan anggaran daerah jadi sangat tergantung dari pendapatan sektor migas.
Berdasarkan analisis data belanja daerah (APBD) kabupaten se-Indonesia, yang dipublikasikan Kemenkeu (Kementerian keuanga) menunjukkan pada tahun 2021, Bojonegoro masih menempati urutan kabupaten dengan nilai APBD (Murni) tertinggi ke-3 di Indonesia. Peringkat pertama, Kabupaten Bogor dengan nilai APBD sebesar Rp 7.6 triliun, lalu disusul Kabupaten Bekasi dengan nilai APBD sebesar Rp 6.6 trilun, kemudian Kabupaten Bojonegoro menempati urutan ketiga, dengan nilai APBD sebesar Rp 6.2 triliun.
Meski Bojonegoro memiliki anggaran belanja daerah cukup besar, namun nampaknya besarnya anggaran belanja daerah ini belum memberi dampak signifikan pada peningkatan kualitas hidup masyarakat. Tingkat kemiskinan di Bojonegoro hingga saat ini pun masih cukup tinggi, masih di atas rata-rata angkan kemiskinan nasional dan Provinsi Jawa Timur (Jatim). Inilah sebabnya, kemiskinan masih menjadi permasalahan paling mendasar, yang patut mendapat perhatian serius banyak pihak, terutama para pemangku kebijakan di daerah.
Bahkan, pada tahun 2021 ini, berdasarkan data kemiskinan absolut, sebagaimana dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) beberapa hari lalu menunjukkan, jumlah penduduk miskin di Bojonegoro meningkat jadi sebanyak 166 ribu jiwa, dibanding tahun sebelumnya, terdapat peningkatan jumlah penduduk miskin sekitar 5 (lima) ribu jiwa. Sementara jika dilihat berdasarkan prosentasenya, tingkat kemiskinan Bojonegoro pada tahun 2021 sekitar 13.27 persen, dibanding tahun sebelumnya, sebesar 12.87 persen, maka ada peningkatan angka kemisikinan di Bojonegoro, sekitar 0.4 poin persen.
Tidak hanya peningkat angka kemiskinan, tingkat kedalaman dan keparahan kemiskinan di Bojonegoro di tahun ini pun meningkat. Indeks Kedalaman Kemiskinan Bojonegoro pada tahun 2021 mencapai 1.88, meningkat dari tahun sebelumnya yang hanya 1.72. Sementara itu, Indeks Keparahan Kemiskinan Bojonegoro tahun ini mencapai 0.45, meningkat dibanding tahun sebelumnya yang hanya 0.35.
Adanya peningkatan angka kemiskinan, tingkat kedalaman dan keparahan kemiskinan ini selain disebabkan adanya pengaruh dampak pandemi Covid-19, juga bisa jadi disebabkan kebijakan dan program pengentasan kemiskinan di daerah yang selama ini belum berjalan maksimal.
Basis argumentasinya, karena dengan memiliki kemampuan belanja daerah yang cukup besar, sebagaimana disinggung di atas, maka sebenarnya Pemerintah Daerah (Pemda) Bojonegoro lebih leluasa membuat banyak terobosan, berupa kebijakan dan program yang dapat mengakselarasi (percepatan) pengentasan kemiskinan di daerah. Terlebih lagi kita tahu, SiLPA (Sisa Lebih Penggunaan Anggaran) Bojonegoro dalam beberapa tahun ini sangat tinggi. Bahkan Bojonegoro menjadi kabupaten dengan nilai SiLPA tertinggi No. 1 se-Indonesia.
Namun sayangnya, meski dikarunia sumber daya alam melimpah, berupa sumber daya migas, justru tingkat peningkatan kemiskinan Bojonegoro tahun 2021 ini malah melampaui di atas rata-rata tingkat peningkatan kemiskinan kabupaten dan kota di Jatim.
Kondisi ini tentu saja semakin menegaskan, bahwa punya sumber daya migas melimpah, APBD tinggi, belum jaminan pengentasan kemiskinan, peningkatan kesejahteraan masyarakat bisa berjalan lebih cepat. Karena dalam percepatan pengentasan kemiskinan selain membutuhkan ketersediaan sumber dana, justru yang terpenting adalah kebutuhan akan strategi kebijakan dan intervensi program yang tepat sasaran.
Pilihan strategi penanggulangan kemsikinan harus tepat sasaran, mengenai jantung persoalan, karena kemiskinan disebabkan faktor multidimensi yang sangat kompleks, sehingga cara menanggulangi dan mengentaskan kemiskinan pun perlu memakai pendekatan multidimensi dan multipihak. Sinergitas dan kolaborasi multipihak dan multistakeholder sangat diperlukan.
Tidak bisa kemiskinan ditangai secara sektoral. Oleh karenanya di sini penting sekali para pemangku kebijakan daerah mengkul semua pihak, kelompok kepentingan, multi stakeholder, membangun komunikasi, sinergitas dan kolaborasi bersama untuk melakukan akselerasi penanggulangan kemiskinan multidimensi di daerah.
Dukungan basis data kemiskinan yang benar dan berkualitas, juga sangat diperlukan. Jangan sampai persoalan ‘data kemiskinan’ menjadi, atau disebabkan karena ‘kemiskinan data’, yakni terkendala ketersediaan data kemiskinan yang benar, valid, sesuai kondisi riil, dan selalu diperbarui atau di-update secara berkala, sehingga akan sangat berpengaruh terhadap ketepatan startegi, bentuk intervensi dan sasaran program.
Dalam percepatan pengentasan kemiskinan membutuhkan komitmen keperpihakan para pemangku kebijakan daerah pada kelompok masyarakat rentan, baik rentan secara ekonomi maupun sosial. Keberpihakan para pemangku kebijakan ini perlu dibuktikan dalam kebijakan dan pengelolaan APBD yang pro poor. Diantaranya, dengan memperioritaskan belanja pembangunan untuk pengentasan kemiskinan, pembangunan sumber daya manusia, hingga upaya-upaya peningkatan ekonomi masyarakat lokal dan lain sebagainya.
Terkait pembangunan kualitas hidup masyarakat di daerah, mengacu data Indeks Pembangunan Manusia (IPM), yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS), menunjukkan nilai IPM Kabupaten Bojonegoro pada tahun 2021 sebesar 69.59. Meskipun meningkat dibanding tahun sebelumnya, namun nilai IPM Bojonegoro masih berada di zona bawah, menempati peringkat ke-26 dari 38 kabupaten/kota di Jawa Timur.
Nilai IPM Bojonegoro masih jauh di bawah Kabupaten Blitar, Ponorogo, Madiun, Nganjuk dan beberapa kabupaten lainnya di Jawa Timur, yang jika dilihat dari nilai APBD-nya hanya (hampir) setara dengan nilai SiLPA APBD Kabupaten Bojonegoro tahun 2020 sekitar Rp 2.2 triliun. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dihitung dan dipakai untuk melihat kualitas hidup masyarakat berdasarkan dimensi ekonomi, kesehatan dan pendidikan.
Dari dimensi ekonomi misalnya, berdasarkan data BPS (2021) menunjukkan jika standar hidup layak masyarakat Bojonegoro, yang dinilai berdasarkan pengeluaran riil perkapita disesuaikan, jauh berada di klasemen bawah. Nilai pengeluaran perkapita masyarakat Bojonegoro, sekitar 10,221.000/tahun, menempati peringkat ke-26 di Jawa Timur. Karena itu perlu ada terobosan strategi pembangunan ekonomi, agar daya beli masyarakat Bojonegoro meningkat signifikan. Diantaranya melalui peningkatan kualitas program perlindungan dan pemberdayaan kelompok ekonomi rentan, seperti petani kecil, pelaku UMKM (Usaha Mikro Kecil dan Menengah), PKL (Pedagang Kaki Lima) dan lainnya.
Demikianlah beberapa catatan refleksi akhir tahun 2021, yang bisa dibilang menjadi PR (pekerjaan rumah) kita semua, sebagai masyarakat Bojonegoro, terutama bagi para pemangku kebijakan dan para pemangku kepentingan di daerah. Semoga tahun baru nanti (2022), kita semua punya ghirroh dan spirit baru, energi baru, sehingga bisa melampui apa yang telah dihasilkan sebelum-sebelumnya. Spirit kolaborasi adalah kunci dalam mewujudkan pembangunan inklusif dan berkelanjutan. Leave no one behind! Begitu bukan?
*Ditulis oleh: Tim Peneliti PRCi (Poverty Resource Center Initiative).