Kelas Diskusi; Peran Jurnalisme Lingkungan di Tengah Kerusakan Alam dan Darurat Iklim

Admin, Published at 2021-09-15

Sumber: Photo by Radinal R/Joko Riyadi

Manusia boleh datang dan pergi, silih berganti. Namun bumi, alam semesta, harus terus dijaga agar tetap lestari, sebagai tempat tinggal yang paling layak bagi manusia dan mahluk lainnya. Setiap orang yang merusak alam, sebenarnya ia telah mewariskan kerusakan, mencuri masa depan generasi berikutnya.

Dewasa ini, kerusakan lingkungan dan krisis iklim telah banyak menimbulkan dampak buruk. Suhu bumi terus mengalami peningkatan, dengan rata-rata pertahun sekitar 1-1.5 derajat Celcius, menyebabkan temperatur bumi juga mengalami peningkatan. Para pemerhati lingkungan menyebut, darurat iklim saat ini menjadi ancaman serius bagi kehidupan bagi keberlanjutan kehidupan mahluk hidup di planet bumi. 

Jika kondisi ini tidak segera tertangani dengan baik, maka krisis iklim akan semakin parah, menimbulkan berbagai bencana ekologi, hingga ancaman krisis pangan dan krisis kesehatan.

Dalam skala mikro, dampak krisis iklim yang dirasakan oleh masyarakat lokal, diantaranya suhu dan cuaca ekstrem, peralihan musim yang tidak menentu. Banyak masyarakat mengaku, cuaca di daerah semakin panas, pergeseran musim tidak menentu, menyebabkan para petani kesulitan menentukan jenis tanaman dan masa tanam.

Misal tahun ini, awalnya petani memprediksi bulan Juni sudah masuk musim kemarau, sehingga mereka menanam tembakau. Tapi yang terjadi sebaliknya, hingga bulan September ini masih sering terjadi curah hujan. Para petani tembakau banyak mengalami gagal panen, atau jika panen pun, kualitas tembakaunya kurang bagus, sehingga menimbulkan banyak kerugian. Selain itu, suhu dan cuaca ektrem juga menyebabkan peningkatan populasi hama berbagai tanaman dan lainnya.

Merespon kerusakan lingkungan, krisis iklim dan bencana ekologi yang makin marak terjadi di berbagai tempat, para pegiat “Kampus Terbuka” memilih “Jurnalisme Lingkungan”, sebagai tema kelas diskusi yang diselenggarakan pada Sabtu (11/9/2021).

Salah seorang pegiat kelas diskusi “Kampus Terbuka”, Radinal Ramadhana, mengatakan bahwa isu lingkungan dan krisis iklim belum banyak mendapat perhatian khalayak umum. Oleh karenanya, peran jurnalis dalam isu lingkungan ini sangat dibutuhkan, agar isu lingkungan bisa ‘membumi’; mudah ditangkap dan dipahami oleh masyarakat, termasuk para petani, anak-anak muda dan lainnya.

“Bagaimana membuat karya-karya jurnalistik yang memilki perspektif lingkungan. Ketika orang menikmati karya - entah gambar, tulisan, video atau filim terkait isu lingkungan ini - pikiran dan hati mereka langsung kena. Lalu timbul kesadaran bersama,” kata Radinal, membuka diskusi.

Selaras dengan penjelasan Radinal, pegiat isu lingkungan yang juga aktif mengikuti kegiatan kelas diskusi “Kampus Terbuka”, Al-Maliki Ukay Sukaya Subqy, juga menilai peran strategis para jurnalis terkait isu kerusakan lingkungan dan krisis iklim ini.

Pria yang juga berprofesi dosen di salah satu perguruan tinggi negeri ini menuturkan, sebenarnya para pemimpin dari berbagai negara telah merespon fenomena perubahan iklim ini dengan membuat kesepakatan bersama, yang dikenal dengan istilah Kesepakatan Paris atau Paris Agreement, pada Desember 2015 di Paris. 

Ada 5 (lima) poin utama Kesepakatan Paris. Diantaranya, kesepakatan mengenai upaya mitigasi percepatan pengurangan emisi rumah kaca dengan ambang batas kenaikan suhu bumi di bawah 2 derajat Celcius, serta diupayakan ditekan hingga 1,5 derajat Celcius.

Selain itu, dalam Paris Agreement tersebut juga disepakati mengenai transparansi sistem penghitungan karbon dan pengurangan emisi, penguatan kemampuan negara-negara dalam mengatasi dampak perubahan iklim, serta bantuan dan pendanaan bagi negara-negara untuk membangun ekonomi hijau dan berkelanjutan.

“Kesepakatan Paris ini akan mulai efektif berlaku sejak tahun 2020," sambung Malik, panggilan akrabnya.

Ia menyebut, salah satu praktik terbaik dalam penanganan emisi gas rumah kaca, ditunjukkan oleh negara Bhutan, sebuah negara kecil yang terletak di kaki pegunungan Himalaya. “Buthan menjadi negara negatif carbon,” ulasnya.

Menurut Malik, berbeda dengan Bhutan, kondisi Amerika Serikat (AS) justru sebaliknya. Oleh karena itu, poin pentinya jurnalisme lingkungan dilihat dari dua contoh kasus Bhutan dan AS. Kondisi kedua negara ini berlawanan. Sama-sama disebabkan oleh kesepakatan. Kesepakatan terjadi ketika ada kesefahaman. Munculnya kesefahaman dihasilkan dari komunikasi yang efektif. Dalam skala publik, kanal komunikasinya tentu komunikasi massa. Peran media massa sangat signifikan dalam memproduksi pesan yang menyasar kepada masyarakat dan Pemerintah. Indonesia akan memiliki komitmen yang kuat untuk pro terhadap lingkungan saat kesepakatan semua pihak terbangun.

Indonesia dan Kesepakatan Paris

Memang. Indonesia adalah salah satu negara yang ikut serta menandatangani “Kesepakatan Paris”. Namun sayang, Indonesia dianggap oleh banyak kalangan tidak serius dalam menjalankan “Kesepakatan Paris” yang kini sudah berusia 5 (lima) tahun ini. 

Ada beberapa parameter yang menyebabkan Indonesia dianggap tidak serius. Diantaranya, adanya kebijakan Undang-undang Cipta Kerja, yang dinilai justru akan memperparah kerusakan lingkungan dan peningkatan emisi rumah kaca. Dalam hal penanganan darurat iklim, termasuk pengurangan emisi, Indonesia dinilai tidak punya rencana strategi jangka panjang dan target ambisius.

Akibat ketidak-seriusan pemerintah dalam hal isu lingkungan dan krisis iklim, ini berdampak pada arah dan pelaksanaan pembangunan yang belum ramah lingkungan, belum sesuai dengan etika lingkungan (environmental ethics). Terbukti aktivitas yang menimbulkan kerusakan lingkungan masih marak terjadi. 

Penebangan pohon dan minimnya area penghijauan, tingkat deforestasi (hilangnya area tutupan hutan) di Indonesia sangat tinggi, degradasi daerah tangkapan air, pencemaran sungai oleh limbah industri juga marak terjadi. Berbagai bentuk aktivitas industri yang berkontribusi besar peningkatan polusi udara dan emisi rumah kaca juga masih belum terkendali.

Selama ini banyak kita menemukan dan menjumpai kata “pembangunan berkelanjutan” disebut-disebut, baik dalam pidato pejabat dan politisi, namun sebenarnya konsep pembangunan berkelanjutan telah mengalami pendistorsian makna, karena pada awalnya arti pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang berwawasan lingkungan, menjaga keselarasan kegiatan pembangunan dengan etika lingkungan hidup.

Respon kebanyak masyarakat terkait kerusakan lingkungan dan krisis iklim, juga masih biasa-biasa saja. Mungkin ada entitas masyarakat yang bersuara, namun gaungnya masih kecil. Biasanya aktifis dan komunitas pro lingkungan. Namun jika dibandingkan dengan populasi warga masyarakat, maka masih terbilang sangat kecil. Hal ini membuktikan, jika isu lingkungan dan krisis iklim memang belum membumi, mudah dipahami, dan menjadi “sesuatu yang amat penting” di mata khalayak umum. 

Atau jangan-jangan isu lingkungan dan krisis iklim ini terlalu elitis, sehingga tidak menjangkau basis masyarakat. Dari sinilah komunikasi massa dibutuhkan, termasuk dalam hal ini peran jurnalis yang memiliki concern dan perspektif lingkungan. Agar informasi, pesan terkait krisis lingkungan, krisis iklim dan bencana ekologi mudah ditangkap dan diahami oleh khalayak umum, memantik kesadaran bersama untuk mengawal dan menjaga kelestarian alam, yang terdiri manusia dan lingkungannya.

Paradigma Ekosentrisme dalam Novel Karya Sepulveda

Setelah berdiskusi panjang terkait jurnalisme lingkungan, mulai dari teori, praktik-praktik di lapangan, hingga produk-karya jurnalisme lingkungan, akhirnya tiba di penghujung acara. Namun, sebelum acara ditutup, perlu ada rekomendasi buku bacaan atau film yang terkait dengan tema pembahasan.

"Relate dengan diskusi kita hari ini, terkait persoalan kerusakan lingkungan, ada sebuah novel berjudul, "Kisah Seekor Camar dan Kucing yang Mengajarinya Terbang". Novel ini ditulis Luis Sepulveda. Tipis sekali bentuknya," kata Mohammad Thohir, seorang pegiat literasi yg turut hadir pada pertemuan kedua kegiatan kelas diskusi "Kampus Terbuka”.

Forum diskusi langsung hening, semua seolah bersiap, mendengarkan ulasan buku novel, yang, ketika judulnya disebut saja sudah bikin penasaran.

Ketika melihat Thohir hendak bercerita isi novel karya Sepulveda tersebut, saya langsung ambil tempat duduk lagi. Kedua kakiku, saya naikkan di atas kursi. Duduk bersila, seperti pertapa.

"Sebenarnya novel ini bercerita tentang kawasan hutan dan sungai Amazon," sambung Thohir, membuka cerita.

"Dikisahkan ada seekor burung Camar, yang tidak bisa terbang karena sayapnya terkena tumpahan minyak," lanjutnya.

"Meski sudah berusaha berkali-kali sekuat tenaga, si Camar tetap tidak bisa terbang. Tubuhnya makin lemas, lunglai. Air mata si Camar mulai 'mbrebes mili'. Nafasnya tersengal-sengal. Ia pun sadar ajalnya sudah kian dekat".

"Tapi ia masih terus mencoba lagi. Terus dan terus. Seperti tak ada kata menyerah bagi si Camar. Ia harus terbang, karena anak-anaknya yg masih kecil-kecil pasti sedang menunggunya di sarang," ujar Thohir, sembari beberapa kali membetulkan posisi kaca matanya.

"Sadar, segala upayanya gagal, si Camar pun akhirnya pasrah dengan nasib. Satu-satunya yg dimilikinya saat itu hanyalah harapan. Ya! Harapan adalah kekuatan terakhir yg dia punya," lanjut Thohir.

Thohir melanjutkan ulasannya, "Benar saja. Saat si Camar dalam keterputusasaa, tiba-tiba datanglah seekor Kucing gembul berwarna warna hitam, menghampiri si Camar yang sedang dalam kondisi sekarat. Kedua mata mereka beradu. Muncul tatapan penuh arti, melampui pertautan hati dan emosi yang hanya mereka berdua ketahui".

"Singkat cerita, si Camar tidak ingin ditolong oleh si Kucing, karena ia sadar, ajalnya tinggal hitungan sekian detik, bahkan lebih pendek lagi dari itu. Ia hanya minta tolong pada si Kucing dan berjanji akan merawat anak-anak si Camar, menjaga, melindungi dan mendidik mereka seperti layaknya anak sendiri. Ia juga berpesan kepada si Kucing dan juga untuk anaknya, agar jangan pernah percaya kepada mahluk yang bernama manusia. Manusia adalah mahluk di muka bumi yang paling jahat dan paling rakus," pungkas Thohir, mengakhiri cerita, sambil mengehela nafas dalam-dalam.

Semua yang hadir tertunduk, sebagian ada yang mendongakkan kepala, menatap langit-langit warung yang terbuat dari esbes. Entah, karena tersentuh, terenyuh, atau tertusuk oleh kata-kata terakhir si burung Camar.

***
Cerita burung Camar dan si Kucing – dalam novel Sepulveda ini – banyak mengandung pesan moral, terutama berkaitan dengan etika lingkungan. Dalam kisah tersebut, ada moral-fantasi yang bisa mendobrak paradigma lama, antroposentrism, yang memandang manusia sebagai mahluk paling memiliki kemampuan dan kewenangan mengelola-mengatur segala isi bumi, dibanding mahluk lainnya. 

Buku novel ini sangat recommended untuk dibaca.

Sekian.
 

*Penulis Aw. Syaiful Huda, Peneliti Poverty Resource Center Initiative (PRCi)

Share Link: