Membangun Ekosistem Perubahan Melalui Penguatan Jejaring Sosial untuk Peduli Lingkungan
Admin, Published at 2021-09-27
Sumber: Photo By Aw. Syaiful Huda
Langit kota Bojonegoro sedang berselimut mendung tipis. Semilir angin sesekali bertiup, menggoyang rerimbunan, lalu menerobos masuk melalui pintu dan jendela angkringan Kopi Tani.
Ya. Kopi Tani, sebuah tempat ngopi yang cukup sederhana namun elegan, memiliki cita rasa sangat tinggi; ada nuansa alami, klasik, eksotis dan artistik. Pokoknya beda lah dengan kebanyakan tempat ngopi di Bojonegoro. Pekarangan Kopi Tani, kanan kiri dan depan belakang, dipenuhi berbagai jenis tanaman, mulai dari tanaman buah, bunga, hingga rerumputan.
Tak hanya sampai di situ, ketika masuk ke dalam ruangan, mata para pengunjung langsung disuguhi lukisan-lukisan yang terpasang rapi, menghiasi seluruh dinding ruangan. Ada puluhan lukisan dari berbagai jenis aliran seni rupa, mulai dari yang beraliran realis, surealis, naturalis, abstrak, hingga aliran pop art.
Maka tak heran, tempat ini menjadi salah satu tempat favorit untuk nyruput secangkir kopi, sambil bercengkrama hingga berdiskusi tentang banyak hal, mulai dari topik ringan sampai yang berat-berat.
Seperti halnya siang ini. Di Kopi Tani, kelas diskusi "Kampus Terbuka" dihelat kembali, dengan tema: "#Daruratiklim, Penguatan Jejaring Sosial dan Marketing Lingkungan".
"Kampus Terbuka adalah forum diskusi yang bersifat terbuka, sangat cair. Siapapun boleh ikut. Tujuan forum ini diinisiasi adalah untuk merawat akal sehat, menghidupkan jalan pikiran, mengasah kepekaan kita terhadap berbagai persoalan, utamanya persoalan-persoalan yang ada di sekitar kita," kata al-Maliki Ukay Sukaya Subqy, atau yang biasa dipanggil Malik Ukay ini, membuka forum diskusi.
Menurut Malik Ukay, sebenarnya tema diskusi Kampus Terbuka tidak melulu membahas isu lingkungan, tapi nanti bisa berkembang dengan tema yang lain, seperti demokrasi, politik dan lainnya.
"Kenapa dari pertemuan pertama hingga pertemuan ketiga ini masih membahas lingkungan, karena isu lingkungan saat ini sangat faktual. Pada bulan September banyak momen dan peristiwa besar yang berhubungan dengan lingkungan," jelas pria yang juga berprofesi sebagai dosen di salah satu perguruan tinggi negeri ini.
Kegiatan diskusi pun berlangsung seru, dengan suasana sangat cair. Sesekali diselingi gelak tawa dan suara orang nyruput kopi, mengekspresikan kenikmatan kopinya.
"Dalam kelas diskusi kita ini tidak ada yang diplot jadi nara sumber, karena semua yang hadir disini adalah nara sumber. Jadi semua bebas berbicara, menyampaikan opini, menyanggah, menambahi ataupun mengurangi pendapat pihak lain," kata Aw. Syaiful Huda, salah satu partisipan.
Menurut pendapat Awe, nama panggilannya, krisis lingkungan hidup bukan lagi sebuah mitos. Berbagai data dan fakta sudah cukup membuktikan bahwa alam saat ini tidak sedang baik-baik saja. Bahkan menurutnya, kondisi saat ini sudah masuk kategori darurat lingkungan, hingga menyebabkan terjadinya krisis iklim hingga bencana ekologi.
"Berdasarkan data BNPB, sekitar 96.6 persen bencana di Indonesia disebabkan oleh faktor hidrometeorologi. Artinya berhubungan dengan faktor alam, seperti iklim, cuaca dan suhu ekstrem, akibat kerusakan lingkungan dan dampak krisis iklim," ujar Awe.
Hanya saja menurut Awe, fenomena krisis iklim ini masih belum disadari oleh semua kalangan masyarakat. Bahkan banyak yang masih terkesan cuek, menganggapnya sebagai peristiwa alam yang biasa dan akan normal kembali dengan sendirinya.
"Ini tantangan kita semua yang memiliki interes pada isu lingkungan. Kita perlu merumuskan strategi komunikasi dan kampanye isu lingkungan yang lebih efektif. Bagaimana membahasakan persoalan lingkungan ini agar mudah ditangkap oleh semua kalangan masyarakat. Selama ini ada kesan isu lingkungan masih sangat elitis," tukasnya.
Senada, Usfri Raranda, seorang pegiat isu lingkungan yang sudah cukup lama menggeluti bidang pertanian ini juga melihat bahwa belum semua orang memiliki kesamaan perspektif terkait lingkungan hidup. Lebih ironis lagi, para pemangku kebijakan banyak yang belum aware terhadap perspektif lingkungan. Terbukti, banyak kebijakan hingga pelaksanaan pembangunan yang belum berwawasan lingkungan, sesuai prinsip dan konsep etika lingkungan (enviromental ethics).
"Pembahasan isu lingkungan ini perlu penyederhanaan bahasa melalui contoh-contoh kecil yang sangat familiar bagi masyarakat umum. Misalnya terkait fenomena pergeseran musim, suhu ekstrem yang sangat berdampak pada sektor pertanian," kata Usfri, panggilan akrabnya.
Menurut Usfri, penggunaan atau pemilihan kata juga menjadi salah satu pintu masuk agar isu lingkungan ini dapat dipahami oleh seluruh kalangan. Diperlukan diksi yang tegas dan lugas dalam menggambarkan sebuah situasi. Kata perubahan iklim (climate change) misalnya, belum cukup memberikan penjelasan tentang apa yang terjadi. Opsinya adalah penggunaan kata krisis iklim atau darurat iklim agar publik menyadari ada sesuatu yang perlu mendapatkan perhatian.
"Harapannya, dengan diksi yang lugas dan mudah difahami ini dapat menggugah kesadaran publik, bahwa situasi saat ini sedang tidak baik-baik saja. Dan saat inipun, kita sudah dapat melihat tanda-tandanya," ungkap Usfri.
Sementara itu, Chusnul Chotimah, pegiat literasi, yang turut hadir, memberikan beberapa catatan terkait persoalan lingkungan. Menurut Chusnul, panggilan akrabnya, persoalan kerusakan lingkungan hidup yang kemudian menyebabkan krisis iklim dan berbagai bencana ekologi yang makin marak terjadi belakangan ini, tentu tidak bisa lepas dari peran dan tanggung jawab pemerintah, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.
"Membahas kerusakan lingkungan tentu tidak bisa lepas dari urusan politik, karena tuntutan masyarakat dan kampanye lingkungan pasti akan bermuara pada kebijakan pemerintah, yang mana masih dalam ruang lingkup politik," ungkap perempuan yang kini sedang menempuh pendidikan magister ilmu politik di Univetsitas Airlangga Surabaya ini.
*Ditulis oleh Tim notulen kegiatan kelas diskusi "Kampus Terbuka".