Potensi Sektor Pertanian di Bojonegoro dan Kebutuhan Pangan Nasional

Admin, Published at 2021-01-29

Sumber: Aw Saiful Huda

Badan Pusat Statistik (BPS) merilis, jumlah produksi padi di Indonesia pada tahun 2020 diperkirakan mencapai sekitar 55,2 juta ton GKG (Gabah Kering Giling), atau setara beras 31,6 juta ton. Jumlah ini meningkat dibanding produksi padi di tahun 2019 yang hanya mencapai sekitar 54,6 juta ton GKG, setara beras 31,3 juta ton. Hal ini diungkapkan peneliti Poverty Resource Center Initiative (PRCI), Aw Syaiful Huda, dalam sebuah diskusi yang dihelat Kamis kemarin (28/1/2020).

“Dibanding tahun sebelumnya, di tahun 2020 ada peningkatan produksi beras nasional, sekitar 314 ribu ton,” ungkap Awe, panggilan akrabnya.

Awe menyebutkan pada tahun 2020, Provinsi Jawa Timur jadi penyumbang produksi padi tertinggi di Indonesia. Berada diurutan kedua Provinsi Jawa Tengah, lalu disusul Provinsi Jawa Barat diurutan ketiga.

Dengan mengacu data yang dirilis BPS, Awe mengatakan jumlah produksi padi di Provinsi Jawa Timur tahun 2020 sebanyak 10,02 juta ton GKG, sedangkan jumlah produksi padi di Provinsi Jawa Tengah sebanyak 9,59 juta ton GKG dan di Provinsi Jawa Barat sebanyak 9,22 juta ton GKG. 

“Pada tahun 2019, Jawa Tengah menjadi penyumbang produksi padi tertinggi di Indonesia, lalu Jawa Timur berada diurutan kedua. Nah, di tahun 2020, Jawa Timur menggeser posisi Jawa Tengah,” jelas Awe.

Potensi Sektor Pertanian Kabupaten Bojonegoro

Kabupaten Bojonegoro yang saat ini lebih dikenal sebagai daerah penghasil migas (minyak dan gas bumi) terbesar di Indonesia, sebenarnya memiliki potensi sektor pertanian yang tak kalah besarnya dengan setor migas. Apalagi sumber daya migas yang bersifat unrenewable - tidak bisa diperbarui dan pasti akan habis, hal ini tentu saja menjadikan sektor pertanian lebih berpeluang dan menjanjikan keberlanjutan perekonomian daerah.

“Potensi pertanian di Bojonegoro sangat besar. Kalau sekarang Bojonegoro kaya migas, seharusnya bisa diarahkan untuk memajukan sektor pertanian,” ujar Awe.

Ia mengungkapkan, jika Provinsi Jawa Timur menjadi penyumbang produksi padi tertinggi di Indonesia, maka daerah penyumbang produksi padi tertinggi di Jawa Timur adalah salah satunya Kabupaten Bojonegoro. “Tahun 2020, produksi padi di Kabupaten Bojonegoro mencapai sekitar 737.397 ton GKG, menempati urutan ketiga tertinggi di Jawa Timur”.

Kabupaten Lamongan menempati peringkat pertama daerah penyumbang produksi padi di Jawa Timur, dengan nilai produksinya mencapai 873.786 ton GKG. Lalu diperingkat kedua Kabupaten Ngawi dengan jumlah produksi sebanyak 829.467 ton GKG. 

“Produksi padi Kabupaten Lamongan lebih tinggi daripada Bojonegoro, karena lahan sawahnya lebih luas, terutama sawah irigasinya. Sedangkan dibanding Kabupaten Ngawi, sebenarnya lahan sawah di Bojonegoro lebih luas. Hanya saja untuk jenis sawah irigasi di Kabupaten Ngawi lebih luas,” jelas Awe.

Menurut penilaian Awe, dari jumlah produksi padi di Kabupaten Lamongan dan Ngawi di atas, membuktikan jika luas lahan dan pengelolaan irigasi yang baik sangat berpengaruh pada tingkat produksi padi. “Karenanya perlu ada kebijakan perlindungan lahan pertanian di Bojonegoro, termasuk upaya intensifikasi dan ekstensifikasi lahan pertanian”.

Produksi Padi di Bojonegoro dan Nasional

Sebenarnya hampir tidak ada perbedaan signifikan untuk waktu-waktu tertinggi produksi padi di Kabupaten Bojonegoro dan nasional. Peneliti PRCI ini menyebutkan, sepanjang tahun 2018-2020 produksi padi tertinggi di Kabupaten Bojonegoro terjadi di bulan Maret-April, begitu pula di tingkat nasional. 

“Tingkat produksi padi di Bojonegoro masih dipengaruhi musim, tepatnya musim hujan. Waktu produksi padi tertinggi tidak jauh berbeda dengan tingkat nasional,” jelas Awe.

 

 

Ia beralasan, berdasarkan data BPS tahun 2011 luasan sawah di Kabupaten Bojonegoro masih didominasi jenis sawah non-irigasi. “Kita belum tahu data yang terbaru, tapi jika berdasarkan data tahun 2017, luas sawah irigasi di Bojonegoro hanya sekitar 38.085 hektar, sedangkan luas sawah non-irigasi sekitar 40.592 hektar”.

Kebutuhan Beras di Daerah dan Nasional

Berdasarkan Sensus Penduduk 2020, jumlah penduduk Kabupaten Bojonegoro tahun 2020 mencapai 1.301.635 jiwa. Jika dibuat simulasi semua penduduk Bojonegoro makanan pokoknya nasi beras, dengan rata-rata konsumsi perkapita per hari sekitar 300 gram beras, maka dalam satu tahun diperkirakan kebutuhan konsumsi beras penduduk Kabupaten Bojonegoro mencapai sekitar 142,5 ribu ton. Namun Awe menegaskan ini hanya angka perkiraan saja, untuk mengetahui secara presisi jumlah konsumsi beras di Kabupaten Bojonegoro perlu dilakukan kajian mendalam, karena bisa jadi beberapa orang tidak mengkonsumsi nasi beras ataupun mengkonsumsi tapi ukurannya kurang dari 300 gram perhari.

“Pada tahun 2020, produksi padi di Bojonegoro mencapai 737.397 ton GKG atau setara beras 424 ribu ton. Ini artinya, kalau untuk kebutuhan konsumsi saja, Bojonegoro sebenarnya sudah surplus beras,” jelas Awe.

Sebagai informasi, meski Indonesia dikenal sebagai negara agraris, namun impor beras masih jadi tradisi pemerintah setiap tahun. Berikut data impor beras sejak tahun 2000-2019:

Meskipun Kabupaten Bojonegoro sudah mengalami surplus beras, Awe menilai sebenarnya produksi padi di Bojonegoro masih bisa ditingkatkan lagi agar bisa berkontribusi pada kebutuhan beras nasional. Diantaranya dengan memperluas sawah irigasi, pengolahan lahan yang maksimal, seperti penggunaan pupuk organik untuk meningkatkan unsur hara, mengatur pH tanah dan lain sebagainya. “Kalau dilihat datanya, rata-rata produksi padi di bulan Agustus - Januari cukup rendah, karena mayoritas sawah di Bojonegoro masih tadah hujan, sehingga sistem irigasi perlu diperbaiki dan diperluas”.

Awe pun berharap, selain masih perlu menggenjot jumlah produksi padi, Pemerintah Kabupaten Bojonegoro juga perlu mendorong pengembangan sektor pertanian, khususnya di paska panen, agar bisa menambah nilai jual padi atau beras, sehingga kesejahteraan petani di daerah meningkat. Misalnya pengembangan benih dan produksi beras berkualitas, mendorong usaha pengemasan (packaging) beras oleh kelompok atau komunitas petani, serta bentuk-bentuk industri pengolahan hasil pertanian lainnya.

“Perlu ada pengembangan benih dan beras berkualitas tinggi di daerah, mendorong para kelompok tani agar mengembangkan usaha packaging (pengemasan) beras berkualitas tinggi, supaya menambah nilai jual hasil pertanian”.

Ia juga berharap agar Dinas Pertanian dan Dinas Perdagangan Kabupaten Bojonegoro membangun sinergitas, terutama berkaitan dengan data. Bahkan ia berpendapat, jika diperlukan Dinas Pertanian dan Dinas Perdagangan dapat membentuk 'semacam' kesekretariatan bersama ataupun Pokja Data yang beranggotakan pejabat dari kedua lembaga tersebut, agar nantinya menghasilkan satu data yang terintegrasi dan jadi acuan bersama.

Upaya sinkronisasi data ini menurut Awe sangat penting, karena selama ini kritik terhadap kebijakan impor beras sudah banyak dilayangkan oleh berbagai pihak. Termasuk diantaranya berkaitan dengan akuntabilitas data yang selama ini dipakai dasar pemerintah melakukan impor beras. Terlebih lagi setelah terjadi polemik antara Menteri Pertanian (Mentan), Menteri Perdagangan (Mendag) dan Bulog, sebagaiman dilansir Detik.com

"Dinas perdagangan bisa memberikan update ketersediaan beras di Bojonegoro agar jika ada daerah-daerah di Indonesia yang mengalami devisit beras bisa ambil dari sini,” pungkasnya.

Share Link: