RUU PKS Harus Lindungi Korban dan Perlu Segera Disahkan

Admin, Published at 2022-01-28

Sumber: Photo By Joko R.

Bojonegoro Institute bersama IDEA melalui Program SPEAK (Strengthening Public Services through the Empowerment of Women-Led Advocacy and Social Audit Networks) dengan dukungan pendanaan dari Uni Eropa dan Hivos, menyelenggarakan diskusi dan media briefing dengan tema, “Menangkal Maraknya Tingkat Kekerasan Seksual Pada Perempuan” pada Kamis (27/1/2022) di Javanilla Cafe, Bojonegoro. 

Kegiatan yang bertujuan membangun kolaborasi dalam rangka mendorong pengurangan tindak kekerasan seksual pada perempuan di Bojonegoro ini, melibatkan aliansi Suara Perempuan Penggerak Komunitas, PRCi (Poverty Resource Center Initiative) dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bojonegoro. 

Berdasarkan data Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan Keluarga Berencana (P3AKB) Kabupaten Bojonegoro menunjukkan, sepanjang tahun 2020 terjadi peningkatan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Bojonegoro sebesar  17,31 persen jika dibandingkan tahun 2019. 

Pada tahun 2019, Dinas P3AKB Kabupaten Bojonegoro menangani sebanyak 52 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak, kemudian meningkat jadi sebanyak 61 kasus di tahun 2020, dengan rincian sebanyak 21 kasus kekerasan seksual, sebanyak 14 kasus kekerasan fisik, sebanyak 7 kasus kekerasan ekonomi, sebanyak 4 kasus kekerasan psikis, dan bentuk kekerasan lain sebanyak 15 kasus. 

Sementara jika ditinjau berdasarkan usia korban, jumlah korban yang berusia di bawah 18 tahun atau di bawah umur sebanyak 39 kasus, dan sisanya 22 kasus berusia di atas 18 tahun. 

Menanggapi maraknya kasus tindak kekerasan terhadap perempuan ini, koordinator Suara Perempuan Penggerak Komunitas (SPeAK), Anis Umi Khoirunnisa, meminta para pemangku kepentingan, terutama pemerintah daerah,  harus memberikan perhatian serius terkait banyaknya kasus tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak tersebut. Terlebih lagi, dilihat dari datanya, tindak kekerasan tersebut lebih banyak menyasar korban dengan usia di bawah umur.

“Semua jenis tindak kekerasan, terlebih kekerasan seksual, memberi dampak panjang bagi korban. Karena itu, para pemangku kebijakan, pemerintah daerah, harus memberikan perhatian serius, panggilan akrabnya.

Anis pun mendukung dan berharap agar Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) segera disahkan oleh DPR. Pengesahan RUU PKS menurut Anis sangat urgen karena mengingat jumlah kasus kekerasan seksual terus meningkat, selain juga kebutuhan mendesak akan payung hukum yang memberi rasa keadilan dan keberpihakan pada korban kekerasan seksual yang selama ini sangat lemah. 

“Kami mendesak RUU PKS yang kini ganti nama jadi RUU TPKS (Tindak Pidana Kekerasan Seksual) ini segera disahkan, dengan tetap memberi kepastian hukum dan perlindungan bagi korban. Termasuk memuat hak korban atas penanganan, perlindungan, dan pemulihan,” ungkapnya.

Sementara itu, Lilis Aprilliati, Budget and Advocacy Officer Program SPEAK Kabupaten Bojonegoro, memandang perlu upaya pencegahan kasus kekerasan terhadap perempuan, diantaranya bisa dalam bentuk peningkatan pemahaman mengenai kekerasan berbasis gender sebagai isu hak asasi manusia, mulai dari tingkat nasional, kabupaten hingga ke desa-desa.

“Termasuk mendorong kelompok atau komunitas perempuan untuk aktif berpartisipasi dalam perumusan kebijakan dan program kegiatan pembangunan agar menekankan tentang pemenuhan hak-hak setiap warga negara tanpa diskriminasi, dan penghapusan praktik-praktik budaya patriarki di masyarakat,” jelas Lilis.

Perempuan mantan aktivis PMII Bojonegoro ini juga memaparkan, selama ini, program SPEAK telah mendorong penguatan literasi kelompok/komunitas perempuan di Bojonegoro terkait kebijakan publik yang responsif gender, peningkatan literasi perempuan terkait akses informasi, perencanaan dan penganggaran pembangunan responsif gender. 

Selain itu juga memfasilitasi pembentukan dan peningkatan kapasitas koalisi masyarakat sipil dan kelompok perempuan di daerah untuk kerja-kerja advokasi kebijakan dan program pembangunan inklusif, yakni ramah terhadap semua kelompok masyarakat, termasuk kelompok rentan yang salah satu didalamnya adalah kelompok perempuan.

Lilis pun berharap, agar ada kebijakan yang memberikan rasa aman, mengakhiri segala bentuk diskriminasi terhadap semua perempuan dan anak perempuan, terlebih berkaitan dengan  bentuk-bentuk tindak kekerasan seksual, yang selama ini banyak memakan korban perempuan dan anak.

“Harapannya, RUU PKS atau yang kini ganti nama jadi RUU TPKS ini segera disahkan,” pungkasnya.

Share Link: