Identitas Daerah, Perlu Tidak?

Admin, Published at 2021-10-16

Sumber: Photo By Parandra Oktogoro

Tahun ini, usia Bojonegoro menginjak ke-344 tahun. Sebuah usia yang semestinya sudah bisa dibilang cukup matang untuk sebuah proses pembentukan identitas daerah. Identitas di sini tentu bukan hanya sekedar nama atau atribut tentangnya. Tapi lebih dalam dari itu, yang meliputi jati diri, karakter, hingga tentang nilai-nilai kearifan lokal (local wisdom) serta nilai-nilai yang merepresentasikan local genius, yakni suatu bentuk-bentuk kecerdasan dan keterampilan masyarakat lokal yang sudah terbentuk lama.

Saya kira dengan usia ke-344 tahun ini, Bojonegoro sudah menemukan-memiliki identitas daerah atau yang pupuler disebut dengan istiilah "place branding" atau "city branding" - yang dilekatkan padanya. Suatu identitas yang bisa menunjukkan keunikan, kekhasan akan potensi sumber daya yang dimilikinya, sehingga melalui identitas daerah tersebut semakin menambah citra positif Bojonegoro di mata masyarakat luar.

Mungkin akan muncul pertanyaan; ketika arus globalisasi saat ini sudah merambah seluruh bagian bumi manapun, menjadikan dunia terasa semakin flat, hampir tak ada lagi sekat-sekat, ataupun, batas-batas antar wilayah, menerobos batas-batas kesukuan hingga batas-batas kewarganegaraan. Nah, apakah yang disebut dengan "identitas daerah" ini masih menjadi sesuatu yang penting??

**
Kalau menurut pendapat saya, ketika dunia makin flat, makin tak bersekta dan tak berbatas karena arus globalisasi ini, maka identitas justru menjadi sesuatu yang sangat penting. Sebab dalam Identitas itu ada nilai tambah (value), ada keunikan, ada karakter, ada semacam local genius atau bentuk-bentuk kecerdasan-kreativitas asli masyarakat lokal yang telah terbentuk melalui proses panjang. Ada dialektika sosial-budaya yang tidak hanya terjadi dalam satu atau dua tahun, tapi puluhan hingga ratusan tahun.

Identitas daerah memiliki 2 (dua) fungsi penting, yakni fungsi ke dalam (internal) dan fungsi keluar (eksternal). Fungsi internal dari identitas daerah adalah, diantaranya dapat menjadi kekuatan pemersatu warga masyarakat di daerah setempat untuk mencapai visi dan cita-cita bersama. Identitas daerah juga bisa menjadi semacam suplemen, berupa spirit dan keyakinan (etos kerja, nilai sikap, dll.) dalam diri setiap warga masyarakat untuk terus tumbuh dan mengembangkan potensi yang ada di daerah. 

Identitas daerah yang merepresentasikan dari bentuk local genius misalnya, ini dapat menjadi kekuatan internal masyarakat lokal dalam menginfiltrasi budaya dari luar yang masuk menjadi unsur positif dalam budaya lokal. 

Fungsi internal yang lain, identitas daerah bisa jadi semacam antibodi tubuh terhadap serangan virus yang membahayakan. Seperti spirit perlawanan atas bentuk-bentuk penindasan, baik penindasan politik dan sosio-budaya, sebagaimana tercermin dari karakter tokoh lokal, semisal Arya Penangsang, Aria Sosrodilogo, Raden Ayu Tirtonoto dan lainnya.

Sementara fungsi eksternal dari identitas daerah adalah menjadi pengenal dan citra positif bagi daerah, menjadi daya tarik bagi masyarakat luar, dari skala regional hingga global, sehingga dengan sendirinya nanti akan berdampak pada sektor wisata dan perekonomian lokal. Termasuk di sini juga memungkinkan adanya transfer pengetahuan, dialektika sosial budaya serta interaksi antar peradaban.

Namun untuk menemukan-menentukan identitas daerah atau place branding, tidak lah mudah, bukan seperti sesuatu yang bisa diperoleh secara instan, 'mak bedunduk' begitu saja. Ada proses tahapan yang musti dilalui dan semua perlu ada perencanaan, strategi yang matang, terukur serta perlunya keterlibatan dan partisipasi banyak pihak.

Minimal jika kita mengacu pada teori Andrea Insch, ada 4 (empat) tahapan dalam pembentukan identitas daerah atau place branding ini; Pertama, ada tahapan identity, yakni proses identifikasi potensi lokal, yang meliputi nilai-nilai kearifan lokal (local wisdom), bentuk kecerdasan dan kreativitas lokal (local genius), identifikasi asset sumber daya alam, atribut, identitas sosial budaya suatu daerah dan lainnya.

Kedua, tahapan proses menemukan atau menentukan visi-tujuan (objective). Dalam hal ini mendefinisikan secara jelas alasan atau tujuan utama membentuk identitas atau branding Bojonegoro.

Ketiga, tahapan proses mengkomunikasikan (communication) kepada seluruh pihak, termasuk publik secara luas, mengenai identitas daerah yang sedang dan telah dirumuskan secara partisipatif. Keempat, membangun koherensi (coherence), yakni kontinuitas, konsistensi, serta adanya integrasi sistem ataupun faktor-faktor yang dibutuhkan untuk menopang identitas daerah atau place branding yang telah disepakati bersama.

Meskipun identitas daerah bisa bersifat plural, artinya tidak musti tunggal, maka dalam prosesnya mensyaratkan adanya kontinuitas dan homogenitas, sehingga karenanya strategi komunikasi kepada seluruh lapisan masyarakat menjadi salah satu unsur penting dan menentukan tingkat keberhasilan dalam pembentukan suatu identitas daerah (place branding).

Sederhananya, dalam merumuskan atau membentuk identitas daerah, warga masyarakat musti diajak bicara, dilibatkan dalam proses pembahasan, sehingga tumbuh rasa memiliki, merawat dan menjaga keberlanjutannya. Tahapan proses ini jika diringkas, dapat dirumuskan menjadi tiga kata kunci; movement (gerakan bersama), awareness (kesadaran kolektif), dan habbit (budaya bersama). Artinya identitas daerah atau place branding ini perlu digerakkan secara bersama-sama, sehingga tumbuh kesadaran bersama, lalu dengan sendirinya identitas daerah tersebut akan membudaya. Begitu, bukan?



*Penulis: Aw. Syaiful Huda, peneliti PRCi (Poverty Resource Center Initiative) - Tulisan ini ditulis untuk mengawali kelas diskusi "Kampus Terbuka", yang akan diselenggarakan besok Sabtu (16/10/2021), dengantema: "Membaca Sejarah Masa Lalu untuk Bojonegoro Masa Kini" pada pukul 11.00 Wib di angkringan Kopi Tani.

Share Link: