Sharing Session; Inisiatif Kebijakan Pengelolaan Dana Bagi Hasil SDA Migas di Daerah
Admin, Published at 2022-02-16
Fitra Riau bekerjasama dengan PWYP (Publish What You Pay) Indonesia melakukan Studi Evaluasi Kebijakan Alokasi Dana Desa (ADD) Khusus Migas Kabupaten Pelalawan 2017 – 2021 dengan tujuan untuk melihat sejauh mana kebijakan tersebut diimplementasikan oleh pemerintah daaerah. Webinar ini bertujuan untuk membahas perkembangan implementasi inisiatif sejenis yang juga diterapkan oleh daerah lainnya dalam bentuk sharing session inisiatif kebijakan pengelolaan dana bagi hasil sumber daya alam sektor minyak dan gas bumi di daerah (28/01/2022).
Kabupaten Pelalawan cukup intens berkolaborasi dengan pemerintah provinsi, dimana Kabupaten Pelalawan merupakan salah satu daerah penghasil Migas di Provinsi Riau.Triono Hadi dari Fitra Riau menyampaikan bahwa salah satu bentuk kolaborasinya adalah turut serta dalam menginisiasi kebijakan pengelolaan Dana Bagi Hasil (DBH) Migas Kabupaten, turut serta dalam penyusun previledge bagi desa-desa penghasil migas. Otonomi daerah dan desentralisasi menuntut daerah untuk berperan besar dalam pelaksanaan pembangunan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Bagi Hasil Sumber Daya Alam (SDA) Migas adalah salah satu sumber pendapatan daerah yang menopang pembangunan di daerah kaya Migas.
Kondisi Kabupaten Pelalawan memiliki tingkat kemiskinan berada di atas rata-rata Provinsi Riau dan berada posisi ke-3 tertinggi di Riau. Meskipun begitu, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) per tahunnya semakin meningkat. Sebagian besar pendapatan daerah Kabupaten Pelalawan bersumber dari transfer pusat, yakni Dana Bagi Hasil (DBH) dan Dana Alokasi Umum (DAU) dengan kontribusi hingga 65% pendapatan daerah. Penerimaan Daerah Bagi Hasil (DBH) Sektor SDA paling tinggi Kab. Pelalawan adalah sektor Migas, diikuti oleh Sumber Daya Hutan. Kabupaten Pelalawan menerapkan kebijakan ADD Migas, dikarenakan beberapa hal: Pertama, sebagai wujud keadilan distribusi; Kedua, kompensasi atas resiko eksploitasi SDA; Ketiga, kebijakan afirmasi untuk percepatan pembangunan; Keempat, retribusi dan pajak daerah; dan Kelima, sebagai skenario dana transfer kabupaten ke desa.
Pada formulasinya terdapat empat kategori desa, yaitu Desa Ring 1 hingga Desa Ring 4. Alokasi ADD Migas adalah sekitar 10% dari DBH Migas yang diterima. Dengan besaran 10% tersebut, sebenarnya membuat ruang untuk pembangunan yang digunakan desa-desa ini relatif besar.
"Contoh praktik baik pembangunan di desa kawasan migas: pembangunan infrastruktur, insentif gaji, membangun fasilitas Polindes dan lain-lain,"ujar Triono Hadi, Direktur Fitra Riau.
Sementara itu, Tengku Zulhaini, dari Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (PMD) Pelalawan, menyampaikan bahwa pemahaman dan partisipasi masyarakat sangat perlu ditingkatkan, agar perencanaan oleh pemerintah desa dapat menjadi kepedulian masyarakat dan dapat tercapai tujuan yang diharapkan untuk kesejahteraan. Sebagai contoh, rencana untuk memberikan beasiswa kepada masyarakat, belum dilaksanakan oleh pemerintah desa.
Menurut Zulhaini, formulasi kebijakan ADD setiap tahun mengacu pada amanat regulasi di atasnya. Formulasi pertama dibagi sama rata ke seluruh desa dengan menghitung biaya operasionalnya, sehingga kelancaran antar desa tidak terhambat. Lebih lanjut, Zulhaini mengatakan pada awal Februari ini akan dilakukan pelatihan bagi kepala desa baru untuk penyusunan anggaran, yang akan menitikberatkan pada pembangunan lingkungan dan pelayanan masyarakat. Kegiatan pendampingan juga dilakukan untuk perencanaan anggaran enam tahun ke depan. Hal ini dilakukan agar masyarakat merasa diperhatikan oleh Pemerintah Kabupaten. Untuk kegiatan monitoring pelaksanaan anggaran (MPA) sudah bisa dianggarkan dengan menitikberatkan pada penyelamatan lingkungan, terutama pada daerah rawan bencana, salah satunya bencana Kebakaran Hutan. Ke depannya, akan dibuat peraturan bupati untuk mengatur agar tidak terjadi perubahan skema dalam lima tahun ke depan.
Aw Syaiful Huda, dari Bojonegoro Institute memaparkan perkembangan kebijakan ADD Migas di Bojonegoro. Sejauh ini Peraturan Bupati Bojonegoro tentang ADD Migas ini telah mengalami dua kali perubahan. Alasan dilakukan perubahan untuk mengurangi kesenjangan antara desa penghasil, desa ring 1 dan ring 2 dengan desa non-penghasil dan desa non-ring. Kemungkinan akan dilakukan perubahan kembali karena adanya pengembangan beberapa lapangan migas di Bojonegoro. Pada saat upaya mendorong ADD Migas Proporsional berbasis kawasan Migas dan Hutan di Bojonegoro, Pemerintah Bojonegoro diharapkan tidak hanya memberi cek kosong pada pemerintah desa, tetapi juga memantau dan mengevaluasi pengembangannya, terutama aspek transparansinya. Sebab sektor migas adalah sektor yang tidak bisa diperbaharui sehingga perlu kehati-hatian.
Pada tahun 2015, di Bojonegoro, masyarakat sipil mendorong dilakukannya festival keterbukaan pemerintah desa. Tujuannya agar desa punya media inovatif untuk mempublikasikan APBDes dan memperluas partisipasi publik. Selain itu agar warga desa juga tahu bahwa dana yang didapatkan pemerintah desa tidaklah kecil. Selain melakukan festival, Bojonegoro Institut bersama masyarakat sipil lainnya mendorong Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda) melakukan sosialisasi penghitungan ADD Migas dan Hutan kepada masyarakat. Ide ini disambut oleh Dispenda dan mereka membuat sosialisasi sekaligus training kepada pemerintah desa. ADD Migas di Bojonegoro minimal adalah 12,5% dari DBH Kab. Bojonegoro. Penyalurannya dibagi lagi, 60% dibagi rata tiap desa, 40% dibagi berdasarkan proporsional.
Dalam pengelolaan DBH Migas, yang terpenting adalah menjaga transparansi dan meningkatkan partisipasi publik. Hal lain yang dilakukan di Bojonegoro adalah membuat sekolah desa dengan target kelompok marginal yang selama ini tidak terlalu dilibatkan dalam penyusunan kebijakan pembangunan desa. Sasaran utamanya adalah kelompok perempuan dan anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dari unsur perempuan.
"Kami latih agar kelompok tersebut dilibatkan dalam proses pembicarakan kebijakan desa. Kami juga mengembangkan Community Center agar mereka bisa menganalisis anggaran desa," ungkap Awe, panggilan akrabnya.
Di Bojonegoro, desa-desa dibagi menjadi Desa Penghasil, Desa Ring 1, Desa Ring 2, Desa Non-Ring dan Non-Penghasil. Awe juga menyebut, pada tahun 2019, besaran pagu alokasi ADD Migas yang diterima salah satu desa penghasil mencapai sekitar 3 milyar rupiah. Belum dilakukan riset, apakah pengelolaannya sudah bagus atau belum. Namun secara umum anggaran untuk pendidikan dan kesehatan masih sangat rendah.
Agus Cahyono Adi, selaku Kepala Pusdatin Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyambut baik dan mendukung inisiatif yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah. Inisiatif tiap daerah dan komunitas merupakan inovasi yang dapat mendorong perbaikan tata kelola industri ekstraktif. Hal tersebut berimbas pada upaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat, baik yang secara langsung terdampak atau pada kabupaten penghasil. Pada prinsipnya upaya transparansi dan akuntabilitas sejalan dengan program yang dilaksanakan oleh Kementerian ESDM, khususnya program Extractive Industries Transparency Initiative (EITI).
Secara umum, terdapat dua prinsip yang harus dimiliki oleh daerah yang bergantung pada SDA, yaitu pertama, tanggung jawab pengelolaan migas harus didefinisikan dengan jelas. Untuk Indonesia dikelola oleh negara. Kedua, perlu memahami bahwa pendapatan dari sumber daya alam migas sangat volatile, serta sebagai sumber daya yang tidak terbarukan, migas dapat habis. Untuk itu, penerimaan migas perlu diinvestasikan secara bijaksana, termasuk untuk sumber daya manusia. Perlu evaluasi apakah mandat penggunaan ADD Migas relevan dengan semua desa, hal ini untuk mendorong desa dapat lebih mandiri yang membawa kesejahteraan pada masyarakat.
Primi Suharmadhi Putri, peneliti dan akademikus dari Oulu University menegaskan, bahwa pengelolaan SDA harus dikelola secara transparan, dengan menekankan pada tiga aspek utama. yaitu informasi, partisipasi aktif dari publik (tidak hanya kelompok tertentu), dan responsibilitas. Kalau bicara informasi, tidak hanya info dari pemerintah atau perusahaan, tapi perlu diperhatikan target informasi, dari siapa dan untuk siapa. Perlu diperhatikan akses informasi tiap daerah. Sejauh ini lebih fokus pada keterbukaan informasi, perlu ditingkatkan dari aspek pembelanjaan (penggunaan) anggaran dari sektor migas. "Kalau dilihat dari Pelalawan, yang perlu ditekankan adalah apakah perlu adanya kepemilikan terhadap warga," ungkap Primi.
Sumber: website EITI Indonesia