SSGI 2021: Angka Stunting Kabupaten Bojonegoro, 23,9 Persen, Urutan Ke-13 di Jatim
Admin, Published at 2022-01-24
Sumber: (Ilustrasi) Freepik.com
Bojonegoro – Di Indonesia, tanggal 25 Januari, diperingati sebagai Hari Gizi Nasional (HGN). Berdasarkan sejarahnya, Hari Gizi Nasional (HGN) ini diselenggarakan untuk memperingati dimulainya pengkaderan tenaga gizi Indonesia yang saat itu ditandai dengan berdirinya Sekolah Juru Penerang Makanan pada 25 Januari 1951.
Terhitung sejak tahun tersebut, peringatan HGN pada 25 Januari 2022 ini sudah memasuki tahun ke-62. Ini merupakan momentum penting untuk refleksi dan konsolidasi akan capaian pelaksanaan pembangunan gizi masyarakat, berikut persoalan stunting dan permasalahan gizi lainnya.
Seperti kita ketahui bersama, bahwa status gizi menjadi salah satu instrumen penting untuk menilai kualitas pembangunan kesehatan masyarakat. Sebab balita yang mengalami kondisi gizi buruk, yang tidak segera tertangani dengan baik, maka dikhawatirkan berdampak jangka panjang, diantaranya, dapat berdampak pada tingkat Intelligence Quotient (IQ), tingkat produktivitas dan kapasitas kerja yang tidak optimal serta dampak-dampak negatif lainnya.
Untuk itu, kondisi kesehatan gizi masyarakat, terutama balita, perlu mendapat perhatian serius dari semua pihak, terutama pemerintah selaku pemangku kebijakan. Dibutuhkan sinergi dan kerjasama para pemangku kepentingan, baik pemerintah, masyarakat sipil, akademisi, private sector dan lainnya untuk bersama-sama mengatasi tantangan dan permasalahan gizi masyarakat tersebut.
Pada Desember 2021 lalu, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes), Kementrian Kesehatan Indonesia, telah mempublikasikan hasil Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) tahun 2021. Tujuan pelaksanaan SSGI adalah untuk inventarisasi dan menghasilkan data perkembangan status gizi balita di Indonesia, seperti permasalahan stunting, gizi kurang, obesitas dan lainnya.
Laporan hasil SSGI juga dapat digunakan sebagai instrumen monitoring dan evaluasi capaian indikator intervensi spesifik maupun intervensi sensitif penanganan stunting, baik di tingkat nasional maupun di tingkat kabupaten/kota. Adapun laporan hasil SSGI 2021 ini pun untuk saat ini sudah bisa diakses di website Badan Litbangkes Kementerian Kesehatan.
Berdasarkan laporan hasil SSGI 2021 menunjukkan, angka stunting secara nasional mengalami penurunan sebesar 1.6 persen, yakni dari 27.7 persen pada tahun 2019 menjadi 24,4 persen di tahun 2021. Dari angka prevalensi stunting tahun 2021 ini, Indonesia bisa dibilang lebih baik dibandingkan Myanmar (35%), tetapi masih lebih tinggi dari Vietnam (23%), Malaysia (17%), Thailand (16%) dan Singapura (4%).
Laporan hasil SSGI 2021 juga menggambarkan kondisi terbaru angka prevalensi stunting masing-masing provinsi dan kabupaten/kota di Indonesia, termasuk dalam hal ini Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur. Berdasarkan SSGI 2021, angka prevalensi stunting Kabupaten Bojonegoro, sebesar 23,9 persen. Dengan demikian, kabupaten yang terkenal sebagai penghasil migas terbesar di Indonesia ini, berada di urutan tertinggi ke-13 dari 38 kabupaten dan kota di Jawa Timur.
Selain stunting, tingkat prevalensi balita ‘wasting’ di Kabupaten Bojonegoro juga masih sangat tinggi. Masih berdasarkan laporan hasil SSGI 2021, angka prevalensi balita wasting di Kabupaten Bojonegoro pada tahun 2021 mencapai 9,5 persen, menempati urutan tertinggi ke-5 di Jawa Timur, setelah Kabupaten Pamekasan (14,9 persen), Kabupaten Jember (12,8 persen), Kabupaten Sumenep (9,9 persen) dan Kabupaten Pasuruan (9,7 persen).
Wasting adalah kondisi berat badan anak menurun, sangat kurus di bawah batas normal, dengan proporsi berat badan tidak ideal dibanding tinggi badan.
Rozy Afrial, National Fortification Program Officer Nutrition International (NI) Indonesia, menuturkan beberapa penyebab wasting, diantaranya asupan karbohidrat kurang, penyakit diare, demam, imunisasi tak lengkap, dan pemberian ASI (Air Susu Ibu) yang rendah. Selain itu, wasting juga bisa disebabkan masalah rendahnya edukasi bagi bumil (ibu hamil).
“Wasting agak sedikit berbeda dengan stunting. Anak stunting biasanya juga mengalami 'wasting' (kurus). Namun anak wasting bisa kembali mencapai berat normal jika cepat mendapat penanganan. Sementara Stunting itu masalah kronik dan tidak bisa dikembalikan (ireversible) yang disebabkan kekurangan asupan gizi penting yang sudah berlangsung cukup lama, semenjak dalam kandungan. Baru terlihat nyata setelah 2 tahun,” ungkapnya.
Sementara itu, Aw Syaiful Huda, pegiat Poverty Resource Center Initiative (PRCi), menuturkan bahwasanya Bojonegoro sebagai kabupaten dengan APBD sangat besar, tertinggi kedua di Jatim, seharusnya mampu mengakselerasi (mempercepat) penanganan kasus stunting dan wasting di daerah, diantaranya melalui intervensi gizi spesifik dan intervensi gizi sensitif.
Intervensi gizi spesifik merupakan intervensi dalam bentuk kegiatan yang langsung mengatasi penyebab terjadinya stunting, misalnya pemberian makanan tambahan bagi ibu hamil dan balita kurus, pemantauan kondisi pertumbuhan anak, pencegahan infeksi, status gizi ibu, penyakit menular, kesehatan lingkungan dan lainnya.
Adapun yang dimaksud dengan intervensi gizi sensitif adalah intervensi dalam bentuk kegiatan yang berhubungan dengan penyebab tidak langsung stunting, seperti penyediaan air minum dan sanitasi yang baik, pelayanan gizi dan kesehatan yang maksimal, peningkatan kesadaran pengasuhan dan gizi serta kegiatan lainnya.
“Mereka (balita) ini merupakan generasi emas yang bakal meneruskan pembangunan, menentukan masa depan bangsa ini. Karena itu, mereka harus dibekali SDM yang berkualitas sejak dini, terutama dari aspek pendidikan dan kesehatan. Pada aspek kesehatan, termasuk menyangkut pemenuhan gizi seimbang sejak dalam kandungan,” tutur Awe, panggilan akrabnya.
**Penulis: Tim Poverty Resource Center Initiative (PRCi)