APPA Tagih Komitmen Anggota DPRD Perempuan Terkait Perlindungan Perempuan dan Anak di Bojonegoro
Admin, Published at 2022-08-06
Sumber: Photo by Arifin J.
Bojonegoro - Sejumlah pegiat dari berbagai Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) yang tergabung dalam Aliansi Peduli Perempuan dan Anak (APPA), melakukan audiensi dengan pimpinan Dewan Perwakilan daerah (DPRD) Kabupaten Bojonegoro di Ruang Paripurna DPRD, pada Rabu kemarin (3/8/2022).
Sebelumnya, APPA telah mengirim surat untuk meminta audiensi dengan semua anggota DPRD perempuan, namun pada saat audiensi berlangsung hingga selesai, mereka hanya ditemui salah satu pimpinan DPRD, Mitroatin. Sementara anggota DPRD perempuan lainnya tidak menghadiri forum audiensi.
Dalam forum audiensi tersebut, para pegiat APPA menyampaikan berbagai aspirasi dan usulan mengenai Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Penyelenggaraan Perlindungan Perempuan dan Anak (P3A) Kabupaten Bojonegoro. APPA meminta DPRD Bojonegoro, terutama para srikandinya, yakni para perempuan yang duduk di DPRD ini, agar lebih mengoptimalkan peranan mereka sebagai representasi anggota legislatif perempuan. Diantaranya dalam bentuk komitmen berikut keterlibatan mereka untuk turut serta mengawal kebijakan penguatan perlindungan perempuan dan anak di Kabupaten Bojonegoro.
Sementara itu terkait kebijakan perlindungan perempuan dan anak di daerah, Direktur Bojonegoro Institute, Aw Syaiful Huda, yang juga anggota perwakilan APPA ini mengatakan bahwa dengan maraknya kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan di Indonesia belakangan ini, maka perlu mendapat perhatian serius para pemangku kebijakan di daerah. Termasuk diantaranya dengan menggalakkan upaya-upaya preventif. Apalagi mengingat jumlah kasus kekerasan perempuan dan anak di Bojonegoro mengalami tren meningkat.
“Kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak ini ibarat fenomena gunung es. Artinya kasus di lapangan bisa jadi jauh lebih banyak daripada data yang dilaporkan. Banyak korban yang tidak berani melapor, diantaranya, karena perlindungan pada korban masih sangat lemah,” ujar Awe, panggilan akrabnya.
Pria yang juga aktif sebagai peneliti kebijakan publik PRCi (Poverty Resource Center Initiative) ini pun menilai, kebijakan perlindungan terhadap anak dan perempuan dari tindak kekerasan harus holistik dan terintegrasi, yakni lintas sektor dan melibatkan multistakeholder dan multipihak.
“Kebijakan perlindungan terhadap perempuan dan anak dari tindak kekerasan harus menyeluruh, memuat strategi pencegahan, penanganan pengaduan, perlindungan hukum dan layanan kesehatan, pemulihan atau rehabilitasi, hingga bantuan pemberdayaan ekonomi bagi para korban,” ungkapnya.
Ia menegaskan, upaya pencegahan harus benar-benar diutamakan dan diperkuat, misalnya, dengan menggalakkan sosialisasi tentang bentuk-bentuk kekerasan, pendidikan kritis tentang kesetaraan gender, edukasi tentang hak-hak perempuan dan anak. Selain itu para pemangku kebijakan perlu membangun kepedulian dan partisipasi masyarakat dalam pencegahan dan penanganan korban kekerasan.
“Perlu dibentuk jejaring sosial yang terdiri dari berbagai pihak untuk membangun sistem pencegahan. Misalnya, membangun sistem informasi pemetaan lokasi atau wilayah rawan terjadinya tindak kekerasan, menggalakkan sosialisasi tentang bentuk-bentuk kekerasan, pendidikan kritis tentang kesetaraan gender, edukasi mengenai hak-hak perempuan dan anak dan lain-lain,” imbuhnya.
Menurut Awe, upaya Pemerintah Daerah dalam perlindungan perempuan dan anak selama ini masih cenderung kuratif. Yakni jika ada kasus baru ditangani. Sedangkan upaya preventif masih minim dilakukan.
Selanjutnya terkait penanganan pengaduan, Awe mengingatkan bahwasanya permasalahan kekerasan terhadap perempuan dan anak sangat kompleks, maka perlu dibentuk tim terpadu, yang diisi orang-orang yang berintegritas, berdedikasi dan profesional sesuai bidang keahlian yang dibutuhkan, tersedianya kontak layanan pengaduan yang mudah diakses setiap saat serta ditindaklanjuti dengan cepat sesuai dengan standar pelayanan pengaduan korban kekerasan yang ideal. Termasuk dalam hal ini menjaga kerahasiaan data korban.
Selain itu pula perlu adanya Shelter atau rumah aman, pemberian pendampingan hukum, layanan kesehatan fisik dan psikologi bagi korban, serta bentuk-bentuk layanan lain yang menjadi bagian dari pemenuhan hak-hak korban.
"Perlu adanya layanan khusus bagi korban kekerasan yang membutuhkan penanganan khusus, misalnya: penyandang disabilitas, buruh migran yang berada di luar negeri atau yang lainnya," ulasnya.
Awe juga menyinggung salah satu bentuk kekerasan terhadap anak, yang menurutnya belum familiar bagi khalayak umum, yakni suatu bentuk kekerasan yang disebut dengan istilah Child Grooming, yakni hubungan konsensual antara orang dewasa dengan anak di bawah umum. "Jika ada orang dewasa menjalin hubungan dengan anak di bawah umur, maka ini disebut Child Grooming, yang dalam masyarakat modern dianggap sebagai bentuk kekerasan terhadap anak."
Alasannya, karena ada relasi kuasa yang tidak setara antara anak-anak dengan orang dewasa. Anak di bawah umur dianggap belum memiliki kemampuan untuk memilih atau membuat keputusan yang rasional. Selain itu pula anak-anak rentan dimanipulasi dan dieksploitasi oleh orang dewasa.
“Jangan sampai masyarakat kita masih menyepelekan, terlebih lagi menormalisasi atau mewajarkan Child Grooming ini," pungkas Awe.