Kupu-kupu dan Tentang Pelestarian Lingkungan Hidup
Admin, Published at 2021-09-27
Sumber: Photo By Al-Maliki Ukay S.
Apakah anda juga sudah jarang menjumpai kupu-kupu, terlebih di kawasan perkotaan? Nah, fenomena berkurangnya jumlah kupu-kupu ini sebenarnya menandakan adanya masalah lingkungan, lhoh.
Kupu-kupu (bisa) menjadi salah satu indikator sederhana untuk menilai, apakah suatu lingkungan baik atau buruk, sehat atau tidak, bersih atau sudah tercemari polutan. Sebab secara alamiah kupu-kupu menyukai tempat-tempat yang sejuk, berudara bersih, yang tidak tercemari oleh, seperti insektisida, asap, bau tidak sedap serta berbagai jenis polutan lainnya.
Berdasarkan karakteristik warnanya, kupu-kupu yang hidup di lingkungan yang sudah tercemar, cenderung berwarna gelap, busam kecoklatan. Sementara kupu-kupu yang hidup di lingkungan sehat dengan udara bersih, tidak berpolusi, warnanya kelihatan cerah, mempesona.
Jenis hewan yang digemari, terutama bagi yang memilki jiwa romantis ini, memang memiliki usia hidup cukup pendek. Kupu-kupu memiliki sensitivitas pada perubahan lingkungan; baik perubahan secara fisik maupun unsur kimiawi. Kupu-kupu juga memilki kerentanan pada perubahan cuaca dan suhu lingkungan setempat.
Kerusakan lingkungan hidup yang intensitasnya makin meningkat, membuat populasi kupu-kupu semakin menurun. Seorang peneliti bidang zologi LIPI, Peggie Djunianti, mengungkapkan bahwa populasi kupu-kupu di seluruh dunia dunia, khususnya Indonesia, cenderung menurun seiring kawasan hutan yang terus berkurang.
***
Pada dasarnya, setiap mahluk hidup, termasuk manusia, membutuhkan lingkungan yg baik dan sehat. Kondisi lingkungan yang buruk dan tidak sehat akan mempengaruhi kesehatan fisik maupun mental masyarakat, terlebih bagi kelompok rentan, seperti anak-anak.
Dampak krisis lingkungan (seperti polusi udara) terhadap kesehatan mental, diantaranya depresi, emosi, stress, gangguan kepribadian, bipolar dan lainnya. Adapun dampak pada kesehatan fisik, meliputi permasalahan saluran pernafasan, peredaran darah, asama dan berbagai penyakit lainnya.
Dengan mempertimbangkan, diantaranya dampak kesehatan fisik dan mental tersebut, maka upaya mewujudkan lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan sebuah keniscayaan. Ini tidak bisa ditawar-tawar lagi, sebab menyangkut keberlangsungan kehidupan mahluk hidup, termasuk manusia dan lingkungannya.
Di sinilah negara memiliki peran dan tanggung jawab penuh dalam pengendalian dan pengelolaan lingkungan hidup. Termasuk dalam hal ini memastikan pelaksanaan pembangunan yang ramah lingkungan, sebagaimana nilai dan konsep etika lingkungan (environmental ethic).
Mengapa negara yang paling bertanggung jawab? Sebab, negara memiliki kekuasaan penuh atas seluruh sumber daya alam. Negara, melalui pemerintah, memiliki otoritas (kewenangan) dalam mengatur dan mengendalikan hal-hal yang berkaitan dengan pengelolaan lingkungan hidup, seperti membuat kebijakan, melakukan pengawasan hingga pemberian insentif dan disentif (sanksi).
Apalagi lagi dalam konteks negara Indonesia, pemenuhan atas lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan hak konstitusional setiap warga, sebagaimana termaktub dalam UUD 1945 Pasal 28H ayat (1), yang menyebutkan setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempal tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Hak konstitusional ini, diperkuat lagi dalam UU 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) Pasal 9 ayat (3) yang menyebutkan bahwa masyarakat berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia, lebih lanjut diatur dalam beberapa produk undang-undang dan peraturan. Salah satunya UU No. 26 tahun 2007 terkait penataan ruang. Menurut UU 26/2007 ini, pemerintah kabupaten memilki kewajiban menyedian ruang terbuka hijau di kawasan perkotaan, paling tidak seluas 30% dengan rincian; ruang terbuka hijau publik, minimal 20% dan ruang terbuka hijau privat, minimal 10%.
Sekedar informasi, luasan ruang terbuka hijau publik untuk kawasan perkotaan di Kabupaten Bojonegoro hingga saat ini baru sekitar 12%, artinya capaian pemerintah setempat dalam penyediaan dan pemanfaatan ruang terbuka hijau publik masih kurang dari target minimal, sebagaimana yang diamanatkan UU 26/2007. Apalagi kewajiban penyediaan ruang terbuka hijau publik dan privat ini bahkan diperkuat lagi dalam Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Bojonegoro No. 7 tahun 2015 tentang Pengelolaan Ruang Terbuka Hijau.
Penyediaan ruang terbuka hijau atau hutan kota ini menjadi kebutuhan penting dan mendesak untuk hari ini dan untuk masa depan, mengingat populasi penduduk semakin meningkat, perumahan semakin padat, penggunaan AC serta kendaaan bermotor yang berbahan bakar fosil terus melonjak naik. Ini semua tentu saja menyebabkan peningkatan jumlah produksi karbon.
Padahal pada sisi yang lain, luasan kawasan dan vegetasi hutan semakin menurun, tanaman yang memilki fungsi menyerap karbon (emisi) semakin berkurang. Jika kondisi ini tidak segera tertangani dengan baik, tentu saja akan menyebabkan masalah serius, berupa krisis lingkungan hidup di daerah. Begitu, bukan?
*Penulis: Aw Syaiful Huda, pegiat dan peneliti PRCi (Poverty Resource Center Initiative)