Petani Berkurang 24 Ribu Orang, Masa Depan Pertanian di Bojonegoro Dipertaruhkan
Admin, Published at 2021-01-13
Sumber: Asri Kacung
Bojonegoro – Meskipun hingga saat ini pertanian masih jadi sektor perekonomian basis masyarakat, mengingat ada sekitar 60 persen rumah tangga di Bojonegoro yang memiliki usaha di sektor pertanian, namun berdasarkan data jumlah petani di daerah penghasil minyak dan gas bumi (migas) ini, terus berkurang. Peneliti Poverty Resource Center Initiave (PRCI), Aw Syaiful Huda, mengatakan sejak tahun 2013-2018, jumlah petani di Bojonegoro berkurang sekitar 24 ribu petani.
Dengan mengacu data Sensus Pertanian tahun 2013, Awe menyebutkan jumlah petani di Bojonegoro tahun 2013 sebanyak 366.484 orang, lalu berdasarkan data Survei Antar Sensus (Sutas) Pertanian tahun 2018, jumlah petani jadi sekitar 342.334 orang.
“Dari tahun 2013 sampai 2018, jumlah penduduk yang bekerja sebagai petani berkurang sebanyak 24 ribuan orang,” ungkapnya.
Menurut Awe, penurunan jumlah penduduk Bojonegoro yang bekerja di sektor pertanian, baik sebagai petani maupun buruh tani, sangat dimungkinkan akan terus berlanjut, jika tidak ada upaya dari pemangku kebijakan untuk melindungi dan memberdayakan para petani. “Kontras sekali. Di satu sisi sektor pertanian tidak diminati dan mulai ditinggalkan, pada sisi yang lain kebutuhan pangan dalam negeri terus meningkat seiring peningkatan jumlah penduduk”.
Lantas Awe pun menyebut beberapa faktor yang menyebabkan sektor pertanian kurang diminati atau ditinggalkan, terutama kaum muda. Diantaranya, tingkat pendapatan dan kesejahteraan petani masih sangat rendah, lahan pertanian makin sempit, gangguan hama yang makin sulit dikendalikan dan cuaca ekstrem yang seringkali menyebabkan kerugian yang cukup besar bagi para petani.
Terkait dengan luas lahan pertanian, Awe menyebut mayoritas petani ataupun rumah tangga usaha pertanian di Bojonegoro menguasai lahan pertanian di bawah 0.5 hektar, sehingga masuk klasifikasi petani gurem, yakni petani yang menguasai lahan pertanian di bawah 0.5 hektar.
“Mayoritas petani di Bojonegoro menguasai lahan di bawah 0.5 hektar atau disebut petani gurem,” kata Awe.
Persoalan SDM dan Krisis Regenerasi Petani di Daerah
Selain persoalan lahan, Awe juga melihat ada persoalan sumber daya manusia serta krisis regenerasi petani di Bojonegoro. Dengan membandingkan data kelompok usia petani utama dalam rumah tangga usaha pertanian di tahun 2013 dan 2018, Awe mengatakan ada penurunan angka partisipasi kaum milenial (kaum muda) di sektor pertanian, dan sebaliknya kelompok petani tua dan usia lanjut semakin meningkat.
“Ada penurunan angka partisipasi kaum muda atau milenial di sektor pertanian, berdasarkan data Sensus pertanian 2013 dan Sutas 2018,” ungkapnya.
Ia pun mengungkapkan, semakin menurunnya angka partisipasi pemuda di sektor pertanian, tentu saja jadi persoalan bagi keberlanjutan sektor pertanian dan ketahanan pangan di dalam negeri.
“Jika banyak pemuda makin tidak tertarik pada usaha sektor pertanian, pertanyaannya; siapa nanti yang akan jadi petani? Dan bagaimana ketahanan pangan di dalam negeri nanti? Toh, jumlah penduduk Indonesia semakin besar dan kebutuhan pangan semakin meningkat,” ujarnya.
Padahal seiring dengan perkembangan teknologi saat ini, sektor pertanian juga membutuhkan generasi yang ‘melek’ teknologi, baik di tahapan produksi maupun paska produksi (paska panen). “Banyak sekali platform digital saat ini, yang sebenarnya bisa dimanfaatkan untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan dalam bertani, termasuk dapat dimanfaatkan pula saat paska panen. Seperti untuk pemasaran atau penjualan hasil pertanian melalui platform digital, yang tentu saja ini lebih gampang dipelajari oleh petani milenial (generasi muda)”.
Namun faktanya, menurut pria kelahiran Trucuk ini, jumlah petani di Bojonegoro yang sudah mengakses internet masih minim, hanya sekitar 39.760 orang atau sekitar 11.6 persen, sedangkan petani yang belum mengakses internet sekitar 302.574 orang atau 88.4 persen.
“Namun kurang tahu juga, petani yang sudah menggunakan internet ini, apakah dimanfaatkan untuk keperluan pertanian, misal untuk belajar peningkatan keterampilan bertani, untuk menjual hasil pertanian melalui platform digital. Atau justru untuk keperluan di luar dunia pertanian. Perlu kajian mendalam tentang pemanfaatannya ini,” jelasnya.
Perlindungan dan Pemberian Insentif Bagi Petani
Awe menilai, untuk memperkuat sektor pertanian dibutuhkan komitmen para pemangku kebijakan, baik di tingkat pemerintah pusat maupun daerah, agar saling bersinergi dalam meningkatkan kesejahteraan petani.
"Perlu ada kebijakan dan langkah-langkah yang konkrit dan strategis dalam memberikan perlindungan dan pemberdayaan bagi petani kita," ujar Awe.
Ia mencontohkan, kebijakan RTRW (Rencana Tata Ruang dan Wilayah) yang dibuat atau dirumuskan pemerintah pusat maupun daerah harus benar-benar sinkron dan mendukung sektor pertanian. Kawasan yang berupa lahan pertanian produktif harus benar-benar dilindungi agar tidak beralih fungsi jadi kawasan industri ataupun lainnya.
Menurutnya, para petani, terutama yang berada di kawasan pertanian produktif perlu dilindungi dan diberdayakan. Para petani tersebut perlu diberi banyak insentif, baik dari sisi finansial, keterampilan, teknologi, fasilitasi atau akses pasar secara mudah dan luas. "Para petani di kawasan pertanian produktif perlu dikonsolidasi, lalu diberi beberapa insentif sesuai kebutuhan agar menopang produktivitas pertanian".
Awe juga mengungkap ada beberapa best practice (praktek-praktek baik) dari beberapa negara yang memberikan beragam jenis insentif untuk menumbuhkan minat anak muda bekerja di sektor pertanian, seperti Jepang, Thailand, Korea Selatan dan lainnya.
"Persoalan di sektor pertanian sangat kompleks, maka perlu sinergi para pihak, dan terpenting adalah komitmen keberpihakan para pemangku kebijakan pada sektor pertanian dan para petani," pungkasnya.