Tingkat Kematian Akibat Polusi Udara di Indonesia Menempati Peringkat Keempat Dunia
Admin, Published at 2022-10-09
Sumber: Photo by T. Santoso.
Bojonegoro – Para pegiat Lingkar Studi Ekologi dan Energi Terbarukan (SUKET) menggelar kelas diskusi ekologi dengan mengangkat topik tentang kualitas udara di Bojonegoro dan pengaruhnya terhadap kesehatan masyarakat. Kegiatan kelas diskusi ekologi yang sudah berjalan dua kali ini berlangsung di Rumah Kolaborasi, pada Jumat lalu (8/10/2022).
Salah satu pegiat SUKET, Raranda, mengungkapkan buruknya kualitas udara dipengaruhi oleh banyak faktor. Diantaranya kerena semakin berkurangnya kawasan penghijauan, akibat pembangunan yang tidak ramah lingkungan.
“Penurunan kualitas udara, ini disebabkan kawasan tutupan hijau semakin berkurang, penebangan pohon makin marak, deforestasi atau alih fungsi kawasan hutan, hingga pemakaian energi bahan bakar fosil semakin meningkat,” ungkap Raranda.
Alumni fakultas pertanian salah satu kampus ternama di Yogyakarta ini mengatakan, semakin minimnya luasan kawasan hijau di berbagai daerah di Indonesia ini, selain menyebabkan polusi udara, juga menimbulkan bencana ekologi, seperti perubahan iklim, banjir, tanah longsor, kekeringan dan ketersediaan air tanah yang terus menurun drastis. Bahkan dalam jangka panjang, ini akan menimbulkan krisis pangan dan krisis kesehatan secara global yang mengancam keberlanjutan kehidupan di bumi.
“Polusi udara, selain berdampak pada manusia, diantaranya menyebabkan infeksi saluran pernafasan, penyakit jantung, kanker, hipertensi dan berbagai macam penyakin lainnya, polusi udara juga mempengaruhi tingkat produktivitas tanaman; pertumbuhan dan pembuahan tanaman terganggu, sehingga menyebabkan penurunan pada produktivitas tanaman,” ujar Raranda, menjelaskan.
Senada dengan Raranda, pegiat SUKET yang lain, Syaiful Huda, mengungkapkan bahwa polusi udara merupakan ancaman serius bagi kesehatan masyarakat, terutama bagi kelompok rentan, seperti balita, anak-anak dan lansia.
Syaiful menyebut, tingkat kematian akibat dampak polusi udara di Indonesia menempati peringkat tertinggi keempat di dunia. Mengutip laporan Global Alliance On Health And Pollution (GAHP), jumlah kematian akibat polusi udara di Indonesia pada tahun 2017 mencapai 123,754 jiwa, menempati urutan keempat setelah negara Pakistan dengan angka kematian sekitar 128,005 jiwa; lalu negara India di urutan ke-2 dengan angka kematian sekitar 1,240,529 jiwa; kemudian negara China yang menempati urutan pertama di dunia dengan angka kematian sekitar 1,242,987 jiwa.
“Beberapa hasil riset bahkan menunjukkan, tingkat kematian akibat polusi udara ini lebih besar ketimbang tingkat kematian yang disebabkan penyakit HIV/AIDS, malari, TBC, narkoba, dan alkohol,” jelas Syaiful, panggilan akrabnya.
Karena itu, ia pun berharap agar pemerintah, baik pemerintah pusat maupun daerah, memiliki perhatian serius terhadap persoalan polusi udara yang disebabkan oleh materi partikel polutan, seperti Particulate Matter 2,5 (PM 2,5) yang sangat berbahaya bagi kesehatan ini.
"Pemerintah harus mengendalikan penyebab polusi udara ini melalui bentuk-bentuk intervensi yang konkrit dan tepat sasaran. Seperti melalui instrumen hukum dan penegakan hukum atau low enforcement. Pemerintah juga perlu merevisi menurunkan ambang batas indikator polusi PM2,5 yang sangat berbahaya bagi kesehatan ini sesuai dengan standar WHO yang terbaru," pungkasnya.
Sementara pegiat SUKET yang lain, Tulus, mengomentari tentang tingginya tingkat konsentrasi PM 2,5 di Kabupaten Bojonegoro. Menurutnya, berdasarkan data hasil uji kualitas udara yang dilakukan Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Bojonegoro pada akhir Mei lalu, didapatkan nilai konsentrasi PM 2.5 di Kabupaten Bojonegoro sebesar 88.22 mikrogram per meter kubik, maka semestinya Pemerintah Daerah perlu serius dalam menjaga kualitas udara di daerah penghasil migas terbesar di Indonesia ini.
"Nilai konsentrasi PM 2,5 di Bojonegoro yang mencapai angka 88,22 mikrogram per meter kubik, ini artinya tingkat konsentrasi PM 2,5 di Bojonegoro sudah berada jauh di atas nilai ambang batas yang ditetapkan Pemerintah Indonesia, yakni 65 mikrogram permeter kubik. Bahkan ini terpaut sangat jauh jika dibandingkan dengan nilai ambang tahunan PM 2,5 yang ditetapkan World Health Organization (WHO), yakni di bawah 5 mikrogram permeter kubik," tutur pria yang cukup aktif dengan gerakan isu lingkungan ini.