Dari Arti Nama Bojonegoro dan Tentang Harapan yang Disematkan

Admin, Published at 2021-06-30

Berdasarkan buku Sejarah Kabupaten Bojonegoro yang dulu sempat saya baca saat masih kuliah dan aktif di komunitas Sindikat Baca, nama Bojonegoro diambil dari bahasa Kawi; Bodja dan Negara. Bodja memiliki makna "makanan" atau "yang memberi makan". Sehingga jika digabungkan Bodjanegara, bisa dimaknai; daerah yang memiliki sumberdaya pangan yang melimpah, sehingga ia berkontribusi terhadap kebutuhan pangan dalam negeri (nasional).

Namun, saya mencoba memberi 'ameliorasi' (perluasan makna) pada kata "Bodja" ini. Improvisasi saja; Gothak gathuk masyook, eh, mathuk! Bahwasanya makna Bodja tidak hanya bermakna "makanan" atau "yang memberi makan", tetapi kata tersebut bisa bermakna luas; "yang memberi kehidupan dalam bentuk sumber daya pangan dan energi". Sehingga Bodjanegara atau Bojonegoro memiliki makna implisit; daerah/kabupaten di Indonesia yang berkontribusi besar terhadap kebutuhan pangan dan energi dalam negeri.

TERBUKTI dari berkah namanya tersebut, kini Bojonegoro menjadi salah satu kabupaten di Indonesia, yang memiliki potensi sumber daya alam yang melimpah, baik sumber daya alam terbarukan (Renewable), maupun sumber daya alam tak terbarukan (Unrenewable). Untuk potensi sumber daya terbarukan, Bojonegoro termasuk salah satu daerah penghasil padi terbesar di Jawa Timur. Pada tahun 2020, produksi padi di Bojonegoro mencapai sekitar 737.397 ton GKG (Gabah Kering Giling), menempati peringkat tertinggi ke-3 di Jatim.  Bahkan, sebenarnya produksi padi di Bojonegoro masih sangat berpotensi bisa dimaksimalkan lagi. Karena meskipun saat ini nilai produksi padinya berada diurutan ketiga, di bawah Lamongan dan Ngawi, namun untuk tingkat produktifitas lahan terbilang masih rendah. Jadi masih sangat mungkin bisa digenjot lagi, hingga tingkat produktifitas lahan sampai pada tingkat maksimal.

Dari gambaran ini, maka cukup wajar jika Bojonegoro disebut-sebut sebagai lumbung pangan, sebagai daerah/kabupaten yang berkontribusi besar terhadap kebutuhan pangan nasional. Bisa dirunut dari kontribusinya terhadap tingkat produksi padi di Jawa Timur. Dan kita pun tahu, saat ini Jawa Timur merupakan penyumbang produksi padi tertinggi No. 1 di Indonesia.

Disamping padi, Bojonegoro juga memiliki potensi sumber daya alam yang terbarukan berupa hutan. Kabupaten yang sekarang dihuni sekitar 1.3 juta jiwa penduduk ini, kurang lebih 40% wilayahnya merupakan kawasan hutan, baik hutan produksi maupun hutan lindung. Luas hutan Bojonegoro mencapai sekitar 95.8 ribu hektar, menempati urutan terluas ke-4 di Jawa Timur. Bahkan dari catatan Profesor de Vries dalam bukunya; Pertanian dan Kemiskinan di Jawa (1985), kita akan tahu pada masa kolonial Belanda dulu, Bojonegoro sudah dikenal sebagai daerah penghasil komoditas kayu jati terbaik dunia, yang memiliki nilai ekspor tinggi.

Selain wilayahnya yang sebagian besar kawasan hutan, wilayah Bojonegoro juga dilalui aliran sungai Bengawan Solo, mulai dari wilayah paling barat (Kecamatan Ngraho) hingga wilayah paling timur (Kecamatan Baureno). Bojonegoro juga memiliki sungai lain, yang diberi nama Kali Gandong. Kedua sungai ini, tentu saja merupakan potensi sumber daya alam yang memiliki peran strategis dalam pemenuhan kebutuhan manusia. Diantaranya pemanfaatan air dari dua sungai tersebut untuk pertanian, suplai air baku PDAM, dan lain sebagainya.

Adapun potensi sumber daya alam yang tak terbarukan (Unrenewable) yang dimiliki Bojonegoro adalah minyak dan gas bumi. Ada 4 (empat) lapangan minyak dan gas bumi (Migas) di Bojonegoro; Lapangan Banyuurip-Blok Cepu, Lapangan Sukowati-Blok Tuban, Lapangan Gas Jambaran-Tiungbiru dan Lapangan Minyak Sumur Tua Wonocolo. Selain empat lapangan migas ini, ada lagi dua lapangan/blok migas yang saat ini masih tahap siesmik; Blok Blora (perbatasan Bojonegoro-Blora) dan Blok Nona (perbatasan Bojonegoro-Lamongan).

Namun, dari lapangan migas yang saat ini sudah berproduksi saja, Bojonegoro sudah tercatat sebagai daerah penyumbang lebih dari seperempat produksi minyak bumi dalam negeri. Sementara yang lain, seperti pengembangan-pembangunan Lapangan Gas Bumi Jambaran-Tiungbiru yang saat ini sedang berlangsung, diestimasi nanti bisa memiliki kapasitas produksi mencapai 192 juta kaki kubik per hari.

Jadi benar, orang bijak bilang, "Nama adalah doa". Sehingga dari nama tersebut, kini Bojonegoro bermetamorfosis menjadi daerah yang memiliki resource yang cukup melimpah untuk menopang kegiatan pembangunannya. Saat ini, APBD Bojonegoro terbesar No. 3 dari kabupaten se-Indonesia, yang jumlahnya sekitar 415 kabupaten.

Kondisi Bojonegoro saat ini, tentu saja berbeda, terbalik dengan apa yang dideskripsikan oleh Prof de Vries, yang mengibaratkan kondisi Bojonegoro (sekitar 1940-an) seperti daerah yang sedang sekarat, sedang menuju kematian, karena sering dilanda bencana alam, sehingga warga masyarakat mengalami kelaparan dan kemiskinan yang cukup lama dan sangat parah. 

***
Akan tetapi dengan potensi sumber daya yang dimiliki Bojonegoro saat ini, bukan jaminan atas kesejahteraan warga masyarakat daerah yang dikenal dengan sebutan Kota Ledre ini. Bahkan yang terjadi bisa sebaliknya, ia bisa jadi kutukan sumber daya alam (the resource curse), jika salah mengelola. Fenomena daerah yang tiba-tiba kaya, lalu tiba-tiba jadi miskin kembali tidak lah sedikit. Sebut saja Nauru, atau di Indonesia dulu ada Aceh Utara yang pernah menjadi daerah penghasil gas bumi terbesar di dunia.

Apalagi hingga saat ini, tingkat kemiskinan di Bojonegoro masih cukup tinggi. Angka kemiskinan di Bojonegoro masih tertinggi peringkat ke-11 dari 38 kabupaten dan kota di Jawa Timur. Human Development Index (HDI) atau Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kabupaten Bojonegoro masih sangat rendah, sebesar 69.04 poin, menempati peringkat ke-26 di Jawa Timur. Dari nilai IPM ini, kita pun jadi tahu bahwa kemampuan daya beli (ekonomi) masyarakat, rata-rata lama sekolah dan angka harapan hidup masyarakat masih sangat rendah. Belum lagi persoalan lain, seperti kesenjangan gender, Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB) yang masih tinggi dan lain sebaginya.

Oleh karenanya, dengan kemampuan finansial (belanja daerah) sangat besar yang saat ini dimiliki Bojonegoro, harapannya bisa dimaksimalkan untuk mengakselerasi pembangunan di segala bidang, terutama yang berkaitan dengan pemenuhan hajat hidup orang banyak. Selain itu, landscap pembangunan daerah juga perlu memperhatikan aspek keberlanjutan (sustainable development). Termasuk bagian dari upaya menjaga keberlanjutan pembangunan adalah dengan memperhatikan dan menerapkan environmental ethic (etika lingkungan) dalam pembangunan; menjaga ekosistem lingkungan agar tetap lestari; hutan, sungai, air, udara perlu dijaga. Tingkat produksi oksigen perlu lebih besar daripada produksi karbondioksida. Adanya ancaman pulau Jawa akan mengalami krisis air, dimana seluruh sumber air bersihnya terancam akan kering dan hilang pada tahun 2040, juga perlu segera direspon dan diantisipasi, melalui kepedulian dan aksi bersama. Semoga.


Penulis: Aw. Syaiful Huda

Share Link: