Eps. 09 Ngobrol Tentang Hukum dan Perkembangan Demokrasi Indonesia Saat Ini

Admin, Published at 2021-07-04

“Barang siapa tidak tahu bersetia pada azas, dia terbuka terhadap segala kejahatan; dijahati atau menjahati,” demikian kalimat kutipan dari buku Anak Semua Bangsa, karya Pramodya Ananta Toer, seorang sastrawan Indonesia yang pernah masuk nominasi peraih Nobel Sastra.

Kutipan ini, sepertinya cukup relevan jadi bahan pengantar untuk membuka ruang refleksi dan ruang diskusi kita semua; merespon berbagai fenomena yang berkembang di Indonesia belakangan ini. Mulai dari dinamika sosial-ekonomi, hukum dan politik, hingga menyoal demokratisasi yang stagnan, bahkan cenderung mengalami kemunduran. Sesuai laporan The Economist Intelligence Unit (EIU), yang merilis skor Indeks Demokrasi Indonesia pada tahun 2020 sebesar 6.30 poin, turun dibanding tahun sebelumnya, dengan skor 6.48 poin.

Skor Indeks Demokrasi di tahun 2020 ini, merupakan skor terendah Indonesia dalam kurun waktu 14 tahun terakhir. Dari 4 (empat) kategori, yaitu demokrasi penuh (full democracies), demokrasi belum sempurna (flawed democracy), rezim hibrida (hybrid regimes), dan rezim otoritarian (authoritarian regimes), Indonesia masih senantiasa masuk dalam kategori negara demokrasi yang belum sempurna (flawed democracies). Secara global, Indonesia menduduki peringkat ke-64 dari 167 negara yang dinilai. Sedangkan untuk kawasan Asia Tenggara, peringkat Indonesia berada di bawah Malaysia, Timor Leste dan Filipina.

Ada beberapa fator yang menyebabkan Indeks Demokrasi Indonesia menurun. Diantaranya persoalan kebebasan berpendapat dan berekspresi yang dinilai mulai terancam, persoalan penegakan hukum yang belum membaik, pelemahan pemberantasan korupsi, hingga persoalan penguatan oligarki politik, dan lain sebagainya.

Untuk persoalan kebebasan berpendapat dan berekspresi. Salah satu contohnya adalah pelaksanaan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), yang justru dianggap lebih banyak memakan korban masyarakat biasa. Sebagaimana laporan Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) yang mencatat, sejak 2008-2018, UU ITE lebih banyak digunakan oleh pejabat negara sebagai pihak pelapor, sekitar 35.92%, termasuk di dalamnya adalah kepala daerah, kepala instansi/ departemen, menteri, dan aparat keamanan. Sementara pelapor dari pihak awam hanya sekitar 32.24%.

Demikian juga yang jadi pihak terlapor, mayoritas adalah masyarakat awam (29,4%), lalu aktivis (8,2%), pelajar dan mahasiswa (6,5%), guru dan dosen (6,1%), dan jurnalis (5,3%). Sementara pihak terlapor dari kalangan pejabat, aparat keamanan dan anggota partai sangat lah kecil, untuk masing-masing angkanya tidak sampai di atas 2%. Fakta ini tentu saja menggambarkan kondisi yang paradoks. UU ITE yang pada awalnya diinisiasi dan dirumuskan untuk melindungi warga masyarakat, terutama berkaitan dengan kejahatan dunia maya, atau menjadi payung hukum dunia virtual (Cyber Law), malah justru jadi momok bagi masyarakat sipil, karena adanya beberapa 'Pasal Karet' yang menimbulkan multitafsir dan lebih banyak menjerat masyarakat awam.

Nah, episode PRCi Podcast ke-09 ini menghadirkan Mas Muhammad Roqib, biasa dipanggil Mas Roqib, ia seorang dosen hukum tata negara di Universitas Muhammadiyah Gresik. Selain dosen, ia juga aktif sebagai pegiat Literasi Yayasan Kampung Ilmu di Purwosari, Bojonegoro. Dan saat ini, Muhammad Roqib juga masih tercatat sebagai Majelis Pertimbangan Organisasi (MPO) Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bojonegoro.

Tema obrolan kali ini seputar hukum, demokrasi, hingga cerita pengalaman narasumber sebagai jurnalis dan akademisi. Topik ini dipilih agar menambah referensi ataupun wawasan kita soal hukum, serta soal perkembangan dan tantangan demokrasi Indonesia saat ini. Dan ini juga bisa dibilang bagian dari upaya memahami dan bersetia pada 'azaz' (asas), sebagaimana disinggung dalam kutipan di atas.


Selamat mendengarkan...

Share Link: