Kampanye Peduli Lingkungan, 27 Komunitas Gelar Refleksi Hari Lingkungan Hidup dengan Diskusi dan Musik

Admin, Published at 2021-06-07

Sumber: Photo By Joko Riyadi

Bojonegoro - Sebanyak 27 komunitas dan organisasi masyarakat sipil di Bojonegoro yang tergabung dalam Aliansi Peduli Lingkungan menggelar malam refleksi Hari Lingkungan Hidup Sedunia melalui pertunjukan musik kontemporer dan diskusi lingkungan, pada Sabtu kemarin (5/6/2021).

Kegiatan yang diselenggarakan pada pukul 09.30 hingga selesai di Angkringan Kopi Tani ini dibuka oleh kelompok musik Thutak Thutuk Gathuk (TTG) dengan lagu-lagunya yang bertema lingkungan. Diantaranya lagu Sungai, Hujan, Aroma Nasi dan Laut Tanpa Pantai.

Panggung acara pun cukup sederhana, beberapa bagian panggung nampak dibuat dari batang dan ranting pohon yang mati dan kering, serta beberapa ornamen hiasan tambahan, sehingga memberi kesan estetik.

Pada sesi diskusi menghadirkan empat narasumber, diantaranya Aw Syaiful Huda, Direktur Bojonegoro Institute (BI); Dedi Mahdi, Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bojonegoro; Anita Firdaos, Koordinator World Clean up Day (WCD) Bojonegoro; dan Nur Cholis atau biasa dipanggil Pak 'Cho', Ketua Forum Peduli Bencana Indonesia (FPBI) Bojonegoro.

Aw Syaiful Huda, biasa dipanggil Awe mengatakan bahwa saat ini isu lingkungan perlu mendapat perhatian banyak pihak karena menurutnya ancaman kerusakan lingkungan hidup benar-benar di depan mata.

Awe mencatat ada beberapa tantangan dan ancaman kerusakan lingkungan hidup di Indonesia, diantaranya berdasarkan hasil kajian lingkungan hidup yang dilakukan Bappenas (2019) menyebutkan pada tahun 2040, pulau Jawa diprediksi akan kehilangan hampir seluruh sumber air bersih.

Ia juga menambah informasi, berdasarkan kajian Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) dalam sepuluh tahun terakhir sekitar 20 persen sampai 40 persen sumber mata air di Indonesia kering dan hilang, karena akibat degradasi daerah tangkapan air.

Sementara narasumber yang lain, Dedi Mahdi, Ketua AJI Bojonegoro memaparkan kondisi sungai Bengawan Solo yang tercemar oleh sampah rumah tangga dan berbagai limbah pabrik, seperti limbah alkohol, tekstil, popok, babi dan masih banyak lagi yang lain.

"Warga atupun komunitas peduli lingkungan harus proaktif mengkampanyekan isu lingkungan. Seperti soal pencemaran sungai, warga perlu proaktif melaporkan pada pihak-pihak yang terkait," jelasnya.

Menanggapi persoalan sungai, Pak 'Cho', panggilan akrab Nurcholis, Ketua FPBI Bojonegoro bercerita pengalamannya saat terlibat dalam penanganan banjir besar Bengawan Solo di tahun 2007. Menurutnya Kabupaten Bojonegoro rentan terjadi bencana banjir, baik banjir bandang maupun banjir akibat luapan sungai Bengawan Solo.

"Saat ini ada pergeseran, jika dahulu banjir lebih sering terjadi di wilayah bantaran aliran Bengawan Solo, sekarang bergeser banjir bandang di wilayah Bojonegoro selatan," ungkap Pak Cho.

Karenanya, selain perlu upaya pelestarian lingkungan juga perlu meningkatkan edukasi pada masyarakat atau literasi publik soal kebencanaan. Ia mengatakan bahwa dalam siklus bencana ada tiga, yakni pra bencana, saat bencana dan paska bencana.

"Siklus saat bencana atau lebih dikenal dengan tanggap darurat, waktunya sangat pendek. Tapi lebih banyak mendapat atensi para pemangku kebijakan. Mestinya dalam bagian pra bencana dan paska bencanalah yang seharusnya lebih mendapat perhatian lebih. Misalnya tahap pra bencana dengan edukasi dan peningkatan literasi publik terkait kebencanaan juga dimasukkan melalui kurikulum pendidikan. Kurikulum renang misalnya, atau di Kepramukaan bisa dibentuk Saka Bahari".

Sebab, berhasil dan tidaknya dalam Penanggulan Bencana  (PB), bergantung pada pra bencana. Banyak tidaknya atau besar kecilnya korban akibat bencana juga tergantung pada proses pra bencananya. "Dalam bencana bisa dirumuskan; Resiko sama dengan Ancaman dibagi Kemampuan," tambahnya.

Sementara itu, Anita Firdaos, Koordinator WCD Bojonegoro, mengajak semua masyarakat, anak-anak muda, pelajar dan mahasiswa, para pegiat peduli lingkungan untuk bersama-sama mengkampanyekan lingkungan hidup. Diantaranya dimulai dari diri sendiri dengan hal-hal kecil, misalnya dengan membuang sampah pada tempatnya, menanam pohon di sekitar lingkungan rumah dan lainnya. "Jika bukan kita, siapa lagi? Jika tidak sekarang, kapan lagi?".

Senada, Usfri, seorang pegiat lingkungan berharap adanya kesamaan perspektif semua pihak terhadap lingkungan hidup. "Kita semua, perlu menyamakan perspektif soal lingkungan. Karena jika perspektif kita sudah sama, dimana pun posisi kita, maka kita bisa mempengaruhi para pembuat kebijakan, baik di lingkungan pemerintah maupun swasta, tentang pentingnya menjaga kelestarian lingkungan hidup".

Adapun 27 komunitas dan organisasi yang tergabung Aliansi Peduli Lingkungan, antara lain PRC Initiative, AJI Bojonegoro, FPBI Bojonegoro, WCD Bojonegoro, Thutak Thutuk Gathuk (TTG), Kopi Tani, Jurnaba.co, JTV Bojonegoro, Bojonegoro TV, Bojonegoro Institute, Gemapala, Brigpala, Komunitas Air Bumi, Argopala, Turun Tangan Bojonegoro, IPAMA, PALASE, Smatigpala, RAPI, ACT-MRI, Korsa Bina Mulia, Smagris, Alas Institute, NU Backpacker, SEC, Karang Taruna Desa Prayungan dan lainnya.

Sebelumnya, Aliansi Peduli Lingkungan bersama-sama dengan Pemerintah Desa Prayungan serta didukung Dinas Peternakan dan Perikanan Bojonegoro, Dinas Ketahanan Pangan dan Peternakan Bojonegoro, Perum Perhutani KPH Bojonegoro, juga menggelar tebar ikan, tanam pohon dan bersih-bersih sampah plastik di Desa Prayungan pada siang harinya, sebagaimana dilansir Jurnaba.co (aw/prci).

Share Link: