Kelas Diskusi; Tentang Etika Lingkungan dan Kosmologi Jawa

Admin, Published at 2021-09-08

Sumber: Photo by Joko Riyadi

Tiga tahun lalu. Tepatnya 20 Agustus 2018. Seorang pelajar perempuan, yang baru berusia 15 tahun, melakukan protes seorang diri di depan gedung parlemen Swedia. Greta Thunberg, namanya. Ia membawa poster bertuliskan, "Bolos sekolah demi perubahan iklim".

Aksi Greta ini pun memantik perhatian publik. Foto-foto aksinya tersebar luas, menjadi viral, membuat decak kagum dan mengundang simpatik masyarakat dunia. Ia jadi sosok remaja ikonik yang menginspirasi remaja-remaja lain dari berbagai negara untuk melakukan aksi yang serupa; menyuarakan ancaman perubahan iklim (climate change).

Terbukti, pada tahun berikutnya, tepatnya 20 September 2019, jutaan orang yang didominasi anak-anak remaja (pelajar) turun ke jalan, melakukan demonstrasi terkait perubahan iklim. Di New York, Amerika Serikat, sebanyak satu juta siswa bolos sekolah, mereka demontrasi turun ke jalan menuntut perbaikan iklim. 

Saat pertama kali membaca berita tentang aksi Greta, perhatianku langsung tertuju pada tulisan pada poster yang dibawa Greta, "Bolos sekolah demi perubahan iklim". Kata-katanya menarik sekali. Singkat padat. Saya sendiri menangkap kata-kata tersebut, bukan semata bentuk ajakan bolos sekolah untuk melayangkan protes terkait perubahan iklim, tapi juga mengandung kalimat satir atau sindiran terhadap dunia pendidikan, yang tidak/belum berhasil - minimal punya kontribusi - mencegah kerusakan lingkungan dan krisis iklim, yang semakin parah.

Tidak sedikit orang menganggap dunia pendidikan - yang telah banyak menghasilkan kemajuan ilmu pengetahuan ini - jadi penyebab kerusakan lingkungan secara masif. Benar tidaknya, tentu debateble. Sebab penilaian mereka pun berdiri di atas argumentasi dan fakta-fakta yang ada. Diantaranya, mereka melihat para perusak lingkungan hidup kebanyakan merupakan orang-orang yang berpendidikan tinggi, memilki kemajuan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Bukan sebaliknya. 

Kemajuan dan perkembangan ilmu pengetahuan juga dinilai telah banyak menciptakan teknologi dan arus industrialisasi yang merusak lingkungan. Alam dieksploitasi secara berlebihan dengan dalih untuk pemenuhan kebutuhan manusia yang terus berkembang dan meningkat, tanpa memperhatikan keseimbangan ekosistem dan hak-hak lingkungan hidup, yang semestinya dilindungi dan dijaga kelestariannya.

Makna "kesuksesan" atau "kemajuan", sepertinya memang perlu didekonstruksi ulang, agar ia tidak menciptakan bias, ilusi. Apalah arti kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi dan ekonomi, jika kondisi lingkungan justru semakin rusak parah. Saya jadi teringat dialog antara Jared Diamond dengan salah seorang warga pribumi Papua, dalam bukunya, "Gun, Germs, and Steel". Mereka berdua berbincang-bincang tentang parameter kesuksesan (kemajuan) suatu bangsa; apakah mereka yang memiliki kemajuan di bidang industri dan teknologi, seperti orang Amerika-Eropa, meski kondisi lingkungan hidup mereka semakin kritis? ataukah mereka yang tidak maju secara teknologi dan industri, tetapi pintar menjaga keseimbangan dan kelestarian alam, seperti orang-orang Papua?

Sindiran dan kritik atas peran dunia pendidikan (ilmu pengetahuan) terhadap kerusakan lingkungan juga dilayangkan sastrawan Mario Vargas Llosa, sebagaimana tersirat dalam bukunya, "Sang Pengoceh".

***

Fenomena krisis iklim akibat kerusakan lingkungan hidup, sebenarnya sudah disuarakan sejak lama oleh para ilmuwan dan aktivis peduli lingkungan, menimbulkan perdebatan pro-kontra, hingga melahirkan berbagai pemikiran, hingga teori etika lingkungan. Walau begitu, intensitas dukungan masyarakat global belum semasif belakangan ini, dimana persoalan kerusakan lingkungan kini mulai mendapat perhatian lebih serius dari berbagai pihak.

Kesadaran masyarakat dunia terkait isu lingkungan terus meningkat dan semakin meluas. Bisa jadi ini karena dampak krisis iklim dan berbagai bencana ekologi yang semakin marak terjadi. Semakin nampak di depan mata. Apalagi diperkuat oleh fakta-fakta ilmiah yang tidak terbantahkan.

Suhu bumi terus meningkat, dengan rata-rata setiap tahun meningkat sekitar 1C° hingga 1.5 C°. Dampaknya pun dirasakan semua orang. Cuaca ekstrem, menimbulkan berbagai bencana ekologi. Fenomena gletser/es kutub yang terus mencair, sehingga semakin menipis. Air laut mengalami peningkatan, menyebabkan banjir rob, pulau-pulau kecil tenggelam serta bentuk-bentuk kerusakan lainnya.

Perubahan iklim yang semakin ekstrem ini berdampak buruk pada sektor pangan dan kesehatan. Berbagai bencana ekologi, perubahan suhu dan cuaca secara ekstrem, menyebabkan produktivitas sektor pertanian mengalami penurunan. Pergeseran musim yang terjadi secara tidak menentu, membuat para petani kesulitan menentukan waktu tanam secara tepat, termasuk di sini menentukan jenis tanaman yang akan ditanamnya. Perkembangan hama tanaman mengalami peningkatan dan makin sulit dikendalikan. Walhasil, banyak petani mengalami gagal panen.

Perubahan iklim juga berdampak terhadap ekosistem laut. Suhu laut meningkat, menyebabkan oksigen di lautan menurun. Ini kemudian berdampak pada penurunan produktivitas mahluk hidup yang ada di laut, seperti ikan dan terumbu karang. Kondisi ini jika terus berlanjut, maka akan memicu terjadinya krisis pangan dunia.

Dampak kerusakan lingkungan dan krisis iklim ini sudah banyak terjadi di Indonesia. Berdasarkan data Badan Penanggulangan Bencana Nasional (BNPB) pada tahun 2018, sekitar 96.6 persen bencana di Indonesia disebabkan faktor hidrometeorologi, yakni dipicu kondisi suhu dan cuaca ekstrem, akibat dampak kerusakan lingkungan dan krisis iklim.

Kerusakan lingkungan dan krisis iklim ini juga berpotensi menyebabkan krisis air di Indonesia. Hasil kajian lingkungan hidup yang dilakukan KLHK (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) menyebutkan, selama dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir, Indonesia kehilangan sumber mata air sekitar 20-40 persen. Jika tidak ada penanganan serius terkait persoalan kerusakan lingkungan, pulau Jawa pada tahun 2040 diprediksi akan kehilangan seluruh sumber mata air akibat degradasi daerah tangkapan air dan cuaca yang semakin tidak menentu.

Lalu, apa yang musti dilakukan?
***
Masalah kerusakan lingkungan dan fenomena krisis iklim, perlu dipahami bukan sebagai persoalan teknis semata – sehingga dalam penanganannya cukup dengan, misal melalui kegiatan tanam pohon, atau dengan membangun ini dan itu - Namun ada yang paling mendasar, yakni menyangkut paradigma atau cara pandang manusia terhadap lingkungan.

Arne Naess, pencetus konsep Deep Ecology, menyatakan bahwa krisis lingkungan dewasa ini hanya dapat diatasi dengan melakukan perubahan cara pandang dan perilaku manusia terhadap alam secara fundamental dan radikal. Krisis lingkungan global dewasa ini sebenarnya bersumber pada kesalahan fundamental-filosofis dalam pemahaman atau cara pandang manusia mengenai dirinya, alam dan tempat manusia dalam keseluruhan ekosistem. Pada gilirannya, kekeliruan cara pand ang ini melahirkan perilaku yang keliru terhadap alam (Endra Satmaidi; 2015).

Untuk itulah, maka dibutuhkan cara pandang, prinsip nilai, falsafah moral atau etika lingkungan yang dapat digunakan sebagai panduan manusia dalam berinteraksi dengan alam semesta secara bijak dengan memperhatikan keselarasan-keseimbangan dan keberlanjutan lingkungan hidup, yang terdiri manusia dan lingkungannya.

Cara pandang manusia terhadap lingkungan telah melewati proses panjang, membentuk beragam teori etika lingkungan; mulai dari paradigma antroposentrisme hingga ekosentrisme. Paradigma antroposentrisme, memandang manusia sebagai perhatian utama dan pusat semesta. Paradigma ini menyebabkan kerakusan manusia, hingga menimbulkan krisis lingkungan, darurat iklim serta berbagai bencana ekologi. Paradigma ini menempatkan manusia seolah-olah merasa paling dominan, paling memilki otoritas mengelola lingkungan. Akibatnya, manusia mengeksploitasinya secara berlebihan, tanpa memperhatikan hak-hak lingkungan dan keberlanjutannya.

Setelah pardigma antroposentrisme gagal dan dianggap sebagai biang keladi atas kerusakan lingkungan secara serius, kemudian lahir beberapa teori lingkungan. Salah satunya paradigma ekosentrisme, yang memandang manusia hanyalah salah satu bagian kecil dari ekosistem alam semesta. Paradigma ekosentrisme ini menempatkan manusia dan lingkungan secara sejajar. Manusia tidak boleh mendominasi dan abai terhadap hak lingkungan yang harus dijaga dan dilindungi.

Dari proses dialektika teori-paradigma lingkungan inilah etika lingkungan ter-ejawentahkan. Ia menjadi cara pandang, spirit nilai, falsafah moral atau standar ideal moral yang mengatur perilaku manusia terhadap lingkungan. Pelaksanaan etika lingkungan ini menjadi suatu hal yang urgen saat ini, agar kerusakan lingkungan hidup dapat segera dikendalikan. 

***

Nah, terkait dengan etika lingkunganini, sebenarnya masyarakat Jawa sudah mengenal dan memiliki nilai-nilai kearifan lokal (local wisdom) berupa falsafah hidup yang sudah terbukti berhasil dalam menjaga keseimbangan alam. Dalam pandangan orang Jawa, alam semesta disebut Jagad Gedhe (makro kosmos), sedangkan manusia hanyalah representasi dari Jagad Cilik (mikro kosmos). Keduanya, Jagad Gedhe dan Jagad Cilik ini saling terhubung, terikat dan tidak bisa dipisahkan (Tri Astutik Haryati; 2017).

Selain itu, menurut pandanganJawa, kehidupan dunia ini merupakan kesatuan eksistensi, yang meliputi alam empiris (terlihat oleh mata), manusia dan adikodrati  atau metaempiris (Magnis-Suseno dalam Tri Astutik Haryati; 2017). Ketiganya adalah satu kesatuan. Tidak bisa satu unsur dilepaskan eksistensinya dari unsur yang lain. Misalnya telah terjadi ada suatu peristiwa atau insiden. Maka berdasarkan pandangan Jawa, terjadinya peristiwa tersebut bukan semata disebabkan unsur lahiriah - karena ulah manusia atau fenomena alam saja - tetapi peristiwa tersebut bisa terjadi, dikarenankan adanya eksistensi adikodrati (yang bersifat transeden) yang berada di baliknya.

Tanpa ada eksistensi transeden tersebut, maka tidak akan ada eksistensi lahiriah (empiris). Inilah falsafah hidup orang Jawa yang mengajarkan dan menekankan agar manusia harus selalu berhati-hati, untuk menjaga keseimbangan hidup agar selaras dengan hukum alam, sebagaimana kosmologi Jawa tersebut. 

Demikianlah pandangan kosmologi Jawa, yang sangat mengedepankan penjagaan keseimbangan kehidupan di alam semesta, yang terdiri atas satu kesatuan utuh (unity), antara Jagad Cilik dan Jagad Gedhe, baik yang bersifat lahiriah (empiris) maupun yang bersifat metaempiris (transeden). Falsafah moral yang menekankan etika hubungan manusia dengan alam ini sudah terbukti berhasil dalam menjaga keseimbangan alam dan kelestarian lingkungan.

Namun sayang sekali, falsafah moral Jawa ini sudah mulai ditinggalkan sendiri oleh orang-orang Jawa. Bahkan kini, krisis lingkungan hidup di Jawa pun, mungkin bisa dibilang, kondisinya jauh lebih parah dibanding kawasan lain di Indonesia.

Dengan melihat kondisi kerusakan lingkungan yang makin parah, darurat iklim dan bencana ekologi yang belakangan ini makin menghawatirkan, maka hemat penulis, tidak ada salahnya kita mengaktualisasikan kembali falsafah hidup orang Jawa ini, menyelaraskan dan memadukannya dengan konsep etika lingkungan yang berkembang dewasa ini. Agar kehidupan dunia semesta menjadi harmoni kembali. Bumi menjadi tempat tinggal yang ramah bagi semua mahluk hidup, termasuk manusia, lingkungan bersama ekosistemnya. Rahayu.

*Penulis, Aw. Syaiful Huda, Peneliti Poverty Resource Center Initiative (PRCi), disampaikan dalam kelas diskusi "Kampus Terbuka" (Sabtu, 4/9/2021)
 

Share Link: