Komunitas Perempuan Bojonegoro Dorong Pendidikan Inklusif di Bojonegoro
Admin, Published at 2022-02-04
Sumber: Photo By Joko R.
Bojonegoro, 25 Januari 2022 – Bojonegoro Institute dan IDEA melalui Program SPEAK (Strengthening Public Services through the Empowerment of Woman-Led Advocacy and Audit Social Networks) dengan dukungan pendanaan dari Uni Eropa dan Hivos, menyelenggarakan kegiatan diskusi dan media briefing “Peran Perempuan Wujudkan Pendidikan Inklusif di Daerah Penghasil Migas,” pada hari Kamis (3/2/2022) lalu.
Kegiatan yang bertujuan membangun kolaborasi dalam rangka mendorong pendidikan inklusif di Bojonegoro ini, melibatkan aliansi Suara Perempuan Penggerak Komunitas (SPeaK), Poverty Resource Center Initiative (PRCi) dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bojonegoro.
Menurut penuturan Aw Syaiful Huda, Direktur Bojonegoro Institute, sejak 2018 hingga saat ini, Program SPEAK telah melatih dan mendorong 35 perempuan di Bojonegoro untuk melakukan pengawasan terhadap pelayanan publik secara partisipatif. Salah satu isu yang mereka pilih dan akan mereka kawal bersama adalah terkait pelaksanaan pendidikan inklusi di daerah.
Bagi Awe, panggilan akrabnya, penyelenggaraan pendidikan inklusif di daerah, diantaranya, dapat diwujudkan dengan penyediaan fasilitas sekolah yang aksesibel bagi anak berkebutuhan khusus ataupun peningkatan kapasitas para pemangku kepentingan di dunia pendidikan agar mampu menciptakan suasana sekolah yang ramah bagi anak didik berkebutuhan khusus.
“Kepala sekolah, tenaga pendidik, serta para stakeholder yang berada dalam institusi pendidikan, perlu memiliki pengetahuan, keterampilan dan kesadaran untuk membangun dunia pendidikan yang memiliki sensitivitas terhadap kondisi dan kebutuhan anak didik, terlebih bagi yang memiliki kebutuhan khusus, seperti anak perempuan dan disabilitas,” tuturnya.
Senada dengan Awe, perwakilan dari aliansi Suara Perempuan Penggerak Komunitas (SPeaK) , Rizkun menyebutkan, bahwasanya dunia pendidikan memiliki peran strategis dalam membentuk kepribadian, menanamkan nilai-nilai budaya positif, seperti saling menghargai, saling memahami terutama terhadap anak berkebutuhan khusus, seperti perempuan, penyandang disabilitas dan lainnya.
Menurut Rizkun, pelajar perempuan mengalami siklus menstruasi, karena itu diperlukan lingkungan pendidikan yang memberikan perhatian dan sensitivitas bagi anak perempuan tersebut. Misalnya memberikan rasa kenyamanan, pelayanan konseling, seperti kebutuhan suplemen nutrisi zat besi dan lainnya.
Perempuan yang juga aktif di Korp PMII Putri (KOPRI) ini pun menambahkan, hal lain yang patut diperhatikan dan perlu ditangani secara serius di lingkungan pendidikan adalah praktik perundungan (bullying) di sekolah. Rizkun memaparkan, berdasarkan laporan Program for International Student Assessment (PISA) tahun 2018 menunjukkan, praktik bulliying di lingkungan sekolah masih cukup tinggi, disebutkan 4 (empat) dari 10 (sepuluh) siswa di Indonesia mengalami perundungan.
Di Kabupaten Bojonegoro sendiri, kasus bulliying juga makin meningkat. Menurut data yang diperoleh dari Pusat Perlindungan Perempuan dan Anak (P3A) Bojonegoro, sebanyak 10 % anak di Bojonegoro mengalami bulliying. Bulliying paling banyak dialami di sekolah dan media sosial. Pada periode 2010-2015 terdapat 33 kasus bullying pada remaja di Kabupaten Bojonegoro (P3A Bojonegoro, 2015).
“Siswa yang mengalami perundungan pun memiliki kemungkinan bolos sekolah lebih tinggi, sehingga sangat berpengaruh terhadap pencapaian potensi maksimalnya,” ungkapnya.
Lilis Apriliati, Budget and Advocacy Officer Program SPEAK Kabupaten Bojonegoro menuturkan, keluhan dan aspirasi mengenai perlunya pendidikan inklusif di daerah disampaikan sendiri oleh perwakilan penyandang disabilitas di Bojonegoro yang aktif mengikuti pelatihan audit sosial maupun pada pelatihan mekanisme aduan warga pada bulan Februari 2021 lalu.
Untuk itu, Lilis pun berharap agar kedepannya, ruang partisipasi kelompok rentan, seperti perempuan dan disabilitas dalam penyusunan perencanaan pembangunan, perumusan program kegiatan pembangunan daerah semakin diperkuat, bahkan dibuka seluas-luasnya. Terlebih lagi yang ada keterkaitan dengan pelaksanaan pendidikan inklusif di daerah.
“Para pemangku kebijakan, Perangkat Daerah, perlu duduk bersama dengan kelompok disabilitas maupun perempuan untuk menyusun strategi, program dan kegiatan yang bisa memperkuat pelayanan pendidikan inklusif di daerah,” pungkasnya.