Tangga Partisipasi Publik

Admin, Published at 2021-11-11

Sumber: Photo by Tulus Adarrma

Partisipasi ataupun partisipatif, adalah kata yang sering terdengar atau diucapkan oleh, terutama, para pemangku kebijakan (pejabat negeri kita). "Kami membutuhkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan", atau "Kami telah menyusun rencana pembangunan ini secara partisipatif", adalah contoh, kira-kira, kalimat yang sering terucapkan itu. Tentu saja saat mengucapkannya dengan ekspresi penuh percaya diri (haqqul yaqin), disertai pilihan kata-kata, narasi, yang diucapkan dengan notasi yang sangat power full, menggebu-gebu.

Saya membayangkan, saat kata-kata itu terucapkan, dan kita ada di depannya, maka tidak bisa tidak, kita pasti akan terharu, hanyut oleh perasaan yang selama ini kita tidak sadari; ternyata pejabat kita betapa begitu respect dengan suara, aspirasi, masukan, kritik kita selama ini. Sungguh, mata kita bisa berkaca-kaca dibuatnya. Iya, nggak?

Yups, memang begitulah. Manusia dikenal sebagai homo ludens - yakni mahluk yang pandai bermain-main, termasuk bermain kata-kata, menciptakan bahasa untuk bercakap-cakap serta menarik perhatian lawan bicaranya.

Partisipasi memang menjadi salah satu kunci demokrasi, yang menjunjung tinggi kedaulatan rakyat. Dalam sistem demokrasi, rakyat adalah 'bos besar', sedang pemerintah selaku otoritas yang diberi mandat mengelola negara) yang karenanya hanya memiliki peran menjalankan 'titah' (mandatory) dari si bos besar, yakni, diantaranya menciptakan keteraturan sosial, memenuhi hak-hak asasi manusia, serta menjalankan pelayanan masyarakat.

Dasar yang menyatakan bahwa rakyat sebagai 'bos' di negeri republik ini termaktub dalam pembukaan UUD NRI 1945 (alinea ke-4), kemudian dinyatakan secara eksplisit dalam Pasal 1 ayat (2) UUD NRI 1945. Karenanya, tidak mengakui kedaulatan rakyat ini berarti sama halnya dengan tidak mengakui keber-ada-an Indonesia, bukan?

Partisipasi menjadi salah satu unsur penting dalam penyelenggaraan tata pemerintahan yang baik (good governance), disamping juga ada syarat atau prinsip yang lain, seperti adanya transparansi (keterbukaan), akuntabilitas, keadilan dan kesetaraan. 

Tanpa adanya keterlibatan dan partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan tata pemerintahan, maka bakal sulit melahirkan-mewujudkan pemerintahan yang baik (good government), yakni yang menjalankan nilai dan prinsip dari transparansi, akuntabilitas, partisipasi, keadilan dan kesetaraan dalam pengambilan kebijakan, hingga pelaksanaan agenda pembangunan.

Entah, mungkin karena hanya sekedar untuk menunjukkan citra atau image sebagai bagian dari pemerintahan yang baik (good government), akhirnya kosa kata "partisipasi" ataupun "partisipatif" terkadang hanya seperti 'gula-gula', sangat sering diucapkan dalam pidato-pidato, seminar, wawancara atau bentuk-bentuk kegiatan lainnya. Namun sayang, seringkali antara ucapan dengan realita, bagaikan, kata pepatah; "masih jauh panggang dari api".

Nah, bagaimana sebenarnya partisipasi publik dalam tata pemerintahan? Pun bagaimana cara mengukur kualitas dari partisipasi publik?

Secara bahasa, partisipasi memiliki arti 'peran serta' atau 'keikutsertaan'. Namun dalam konteks kebijakan publik, partisipasi dapat diartikan sebagai bentuk keikutsertaan atau keterlibatan warga masyarakat dalam pengambilan keputusan, serta hal-hal lain yang berkaitan dengan agenda pembangunan, penyusunan perencanaan, penganggaran, hingga pengawan dan evaluasi pelaksanaan kegiatan pembangunan.

Pelibatan partispasi masyarakat dalam pengambilan kebijakan sangatlah penting, karena akan meningkatkan perencanaan pembangunan, kebijakan yang diambil pemerintah akan lebih tepat sasaran sesuai dengan permasalahan, masukan dan kebutuhan masyarakat. Sebagaimana dikatakan Paulo Friere, bahwa interpretasi dari partisipasi adalah suatu cara untuk menekankan pencapaian keadilan sosial (Sri Hidayati Djoeffan: 2002).

Hanya memang, partispasi memiliki pengertian yang cukup luas, melahirkan bermacam interpretasi serta berbagai bentuk partisipasi. Namun ada suatu konsep teori yang menurutku cukup menarik untuk diulas, yakni teori tangga partisipasi, yang dirumuskan oleh Sherry R. Arseins (1971). Hemat saya, teori tangga partipasi Arseins ini pun juga untuk menjawab pertanyaan di atas, terkait bagaimana kita mengukur tingkat derajat atau kualitas partipasi dalam suatu penyelenggaraan tata pemerintahan - pengambilan kebijakan publik.

Berikut 8 (delapan) tangga partisipasi publik menurut Arseins (ditulis dari tangga paling bawah ke paling atas):

Tangga pertama; partisipasi manipulasi (manipulation). Ini adalah tingkat partisipasi paling rendah, bahkan sebenarnya tidak ada, karena masyarakat yang diundang sudah dikondisikan sebelumnya (pihak yang diundang hanya pihak yang pro atau setuju). 

Pemangku kebijakan (pemerintah pusat/pemerintah daerah/ pemerintah desa) memilih sebagian dari masyarakat, lalu diundang dan seolah-olah diminta berpendapat, namun mereka benar-benar tidak tahu menahu tentang apa yang barusan dibahas. Terlebih lagi jika nama-nama masyarakat hanya dicatut atau dipakai untuk melegitimasi saja, sementara yang bersangkutan tidak tahu apa-apa, maka ini benar-benar masuk kategori partipasi manipulasi dalam artian yang sebenar-benarnya.

Tangga kedua; partisipasi yang hanya bersifat sebagai terapi (therapy). Yakni suatu bentuk kegiatan (seperti forum, pertemuan, dll) yang dibuat oleh pemangku kebijakan dengan tujuan sekedar menenangkan masyarakat agar tidak marah. Pemangku kebijakan hanya berpura-pura melibatkan masyarakat dalam suatu bentuk kegiatan, hanya sekedar mengubah pola pikir masyarakat tanpa ada tujuan mendapatkan masukan atau aspirasi dari mereka.

Arseins memasukkan "tangga pertama" dan "tangga kedua" ini dalam kategori non-partisipasi (tidak ada partisipasi).

Tangga ketiga; partiasipasi yang hanya dalam bentuk pemberitahuan (informing). Pemangku kebijakan hanya sekedar menyampaikan pemberitahuan saja kepada masyarakat, seperti memberikan informasi terkait perencanaan pembangunan atau lainnya, masyarakat tidak diberi kesempatan memberikan 'umpan balik', atau memberi masukan terkait rencana tersebut.

Tangga keempat; partisipasi yang hanya bersifat konsultasi (consultation). Pemangku kebijakan memberikan informasi dan mengundang masyarakat untuk berbagi pendapat, tetapi tidak ada jaminan pendapat atau usulannya akan didengar, sebab pemangku kebijakan tetap jalan dengan rencana yang dibuatnya sendiri. Forum pun hanya sekedar dengar pendapat saja, atau hanya sekedar untuk memetakan arah pikiran masyarakat. Tidak lebih.

Tangga kelima; partisipasi yang hanya untuk tujuan penentraman (placation). Pemangku kebijakan mengambil beberapa perwakilan masyarakat yang dapat dipengaruhi (pro pemerintah) untuk masuk ke dalam suatu tim/ badan yang dibentuk, sehingga mengesankan bahwa para perwakilan tersebut bisa ikut terlibat atau bisa mengakses pengambilan kebijakan-keputusan publik. 

Meskipun mungkin saran/usulan masyarakat yang disampaikan melalui perwakilan ada yang diperhatikan para pemangku kebijakan, namun karena posisi tawar (bargaining power) lemah (karena sudah diatur sejak awal), maka tidak semua saran/usulan dilaksanakan.

Arsein memasukkan "tangga ketiga", "tangga keempat" dan "tangga kelima" ini dalam ketegori "Tokenism", yakni suatu tingkat partisipasi dimana masyarakat didilibatkan (diundang), diberi kesempatan menyampaikan pendapat, tetapi tidak ada jaminan bahwa saran/usulan masyarakat bakal dijalankan. Jika saran/usulan menguntung pemangku kebijakan, maka akan dipakai, jika tidak ya dabaikan begitu saja.

Tangga keenam; partisipasi yang bersifat kemitraan (partnership). Artinya pemangku kebijakan mengajak masyarakat duduk bersama dalam satu meja, membahas berbagai masalah dan mencari jalan keluarnya dengan bersama-sama. Pemangku kebijakan mengajak masyarakat untuk merumuskan kebijakan, membuat kesepakatan-kesepakatn bersama, serta menyusun perencanaan program kegiatan hingga pelaksanaannya. 

Tangga ketujuh; pendelegasian kewenangan (delegated power). Pemangku kebijakan mendelegasikan kewenangannya kepada masyarakat untuk merumuskan kebijakan, menyusun perencanaan hingga keputusan-keputusan strategis. 

Dalam hal ini, pemangku kebijakan hanya berfungsi sebagai fasilitator forum, mengadakan ruang negosiasi antar para pihak, yang mana posisi masyarakat tetap sebagai pemegang kendali utama atas keputus-keputasan yang diambil dalam forum.

Tangga kedelapan; masyarakat sebagai pemegang kendali seluruh proses pengambilan keputusan (citizen control). Ini merupakan tangga tertinggi dari partisipasi publik. Pada tingkatan tangga partipasipasi ini, masyarkat benar-benar memiliki kekuatan penuh terhadap seluruh proses pengambilan keputusan serta hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat, misalnya terkait perencanaan pembangunan, hingga mengevaluasi kinerja pemerintah.

Arseins memasukkan "tangga keenam", "tangga ketujuh", dan "tangga kedelapan" ini dalam kategori "Citizen Power". Artinya masyarakat memiliki ruang partisipasi secara luas, memegang kendali penuh terhadap pengambilan keputusan, penyusunan perencanaan hingga dapat mengontrol dan mengevaluasi kinerja pemerintah, sehingga pembangunan benar-benar berjalan sesuai dengan keinginan, aspirasi dan kebutuhan masyarakat.

Demikian tingkatan ‘derajat’ partipasi publik menurut teori tangga partisipasi publik yang dirumuskan Arseins. Semoga ini bisa memandu kita untuk melihat, menilai, praktik dari penerapan partisipasi publik selama ini, dan mendorongnya untuk mencapai tangga partispasi tertinggi. Nah, sudah sampai manakah tingkat partisipasi publik yang dijalankan para pemangku kebijakan di wilayah anda?

*Penulis: Aw Syaiful Huda, peneliti PRCi dan pegiat Kampus Terbuka.

Share Link: