Urgensi Pembagunan Responsif Gender
Admin, Published at 2021-09-20
Sumber: Photo By Joko R.
Bojonegoro memiliki Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) tertinggi kedua di Jawa Timur. Namun pelaksanaan pembangunan daerah yang responsif gender masih jauh panggang dari api. Selain pemerintah abai, masyarakat juga belum sepenuhnya memahami pentingnya peran perempuan dalam pembangunan. Dibutuhkan ketegasan dan komitmen semua pihak untuk menjalankan pembangunan yang seimbang tanpa mengabaikan kepentingan perempuan.
Ketidakpedulian masyarakat terhadap pembangunan yang responsif gender bisa terlihat dari minimnya keterlibatan perempuan dalam proses pembangunan suatu daerah. Kita bisa melihat bagaimana perempuan sering tidak mendapatkan tempat dalam forum-forum diskusi, terpinggirkan dalam proses perencanaan pembangunan hingga tidak diikutsertakan membuat keputusan-keputusan.
Kondisi anggaran yang responsif gender dalam pembangunan Kabupaten Bojonegoro juga tak berjalan seimbang dengan besaran APBD yang dimiliki. Tidak heran jika di kabupaten ini para perempuan serta anak, yang menjadi bagian tak terpisahkan dari perempuan, sering tidak terpenuhi haknya dalam pembangunan.
Pengarusutamaan gender (PUG) merupakan strategi pembangunan nasional yang bertujuan mencapai dan mewujudkan keadilan gender. Dalam pengarusutamaan gender, negara memastikan bahwa setiap orang terpenuhi haknya, baik itu laki-laki, perempuan, anak, dan penyandang disabilitas serta kelompok rentan lainnya.
Pengarusutamaan gender di dalam pembangunan daerah sebenarnya telah diatur oleh Permendagri No. 15 tahun 2000. Permendagri itu mewajibkan setiap daerah menyusun kebijakan, program dan kegiatan pembangunan berperspektif gender dan harus dituangkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD), Rencana Strategis Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD), dan Rencana Kerja SKPD. Namun, nyatanya hingga 20 tahun sejak Permendagri disahkan, strategi pengarusutamaan gender masih tertatih-tatih untuk direalisasikan di daerah-daerah.
Kota-kota besar seperti Jakarta misalnya, telah menerapkan pembangunan responsif gender yang lebih baik. Kita bisa melihat provinsi itu telah memiliki tim Perencanaan Penganggaran Responsif Gender (PPRG). Tim khusus itu bertugas merencanakan program dan membuat anggaran kebijakan yang responsif gender.
Namun di Bojonegoro, mungkin juga di banyak kabupaten lainnya, belum ada tim khusus semacam itu. Di Bojonegoro sendiri baru ada tim focal point gender yang dibentuk oleh dinas-dinas di pemerintah kabupaten. Tugas tim focal point ini adalah menganalisa anggaran milik dinas apakah sudah responsif gender. Tetapi sayangnya tidak semua dinas memiliki tim focal point sehingga ketimpangan pembangunan masih terjadi di berbagai sektor.
Ketimpangan pembangunan yang setara antara pemenuhan hak laki-laki, perempuan, anak dan dan penyandang disabilitas serta kelompok rentan lainnya juga bisa dilihat program kegiatan yang dilaksanakan dinas-dinas di Kabupaten Bojonegoro. Dalam merancang program, dinas mengabaikan Kerangka Acuan Kerja (KAK) yang dibuat tim focal point. Padahal di dalam KAK tersebut sudah ada usulan anggaran yang responsif gender.
Minimnya keterlibatan perempuan dalam proses perencanaan pembangunan juga menjadi bukti ketimpangan pembangunan di level paling bawah. Kita bisa melihat jumlah partisipasi perempuan dalam forum perencanaan desa yang hanya 10-20 persen. Pada tingkat kabupaten, perwakilan perempuan direpresentasikan oleh partisipasi perempuan di dinas-dinas yang ada di pemerintahan.
Anggaran yang Timpang
Komposisi anggaran di Bojonegoro juga masih mengesampingkan hak perempuan dan anak bisa. Komposisi anggaran ini menjadi penting karena anggaran inilah yang nantinya digunakan untuk melaksanakan pembangunan berprinsip adil dan merata. Adil dan merata yang dimaksud tentu saja mencakup pemenuhan hak-hak perempuan dan anak dalam pembangunan.
Kita ambil contoh di Dinas Pendidikan dan Dinas Kesehatan Kabupaten Bojonegoro. Anggaran responsif gender di dua dinas tersebut sangat sedikit dan cenderung fluktuatif. Tahun 2018 alokasi anggaran untuk mendukung kegiatan pembangunan yang responsif gender hanya Rp 24 juta atau 0.03 persen dari besaran anggaran untuk sertor pendidikan. Sedangkan sektor kesehatan sebesar 0,8 persen atau hanya Rp. 3,17 juta.
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten Bojonegoro belum pernah menghitung besaran anggaran khusus untuk kepentingan perempuan dan anak sehingga kita tidak pernah tahu berapa komposisi anggaran yang responsif gender. Namun riset yang dilakukan Bojonegoro Institute di 10 desa menemukan, anggaran untuk kepentingan perempuan dan anak tidak mencapai 5 persen dari dana Anggaran Perencanaan dan Belanja Desa.
Perkuat Partisipasi Perempuan
Keterlibatan perempuan dalam pembangunan seharusnya tidak hanya dimulai dengan pengajuan usulan, namun perempuan juga dituntut untuk ikut menyusun anggaran pembangunan desa atau daerahnya. Lebih jauh lagi, perempuan juga selayaknya ikut dalam ranah pengawasan pembangunan.
Sektor pengadaan barang dan jasa menjadi salah satu titik krusial yang perlu melibatkan perempuan. Perempuan harus ikut mengawasi proses pengadaan barang dan jasa agar kepentingan mereka bisa direalisasikan sebaik-baiknya dalam pembangunan. Pemenuhan kebutuhan perempuan dalam pembangunan ini tentunya harus sesuai standar kualitas kebutuhan perempuan, tidak bisa asal-asalan.
Kita bisa ambil contoh di beberapa daerah di Indonesia. Di Jakarta misalnya, ketersediaan ruang laktasi agar ibu bisa menyusui anaknya di tempat umum terkesan dibangun sembarangan. Ruang laktasi dibangun tidak sesuai standar kesehatan dengan fasilitas seadanya. Di kabupaten Bojonegoro sendiri bahkan belum juga terwujud ruang laktasi meski program tersebut sudah lama direncanakan.
Kebutuhan lain misalnya ketersediaan pos pelayanan terpadu di desa-desa, dimana para perempuan lah yang paling tahu kebutuhan mereka. Masih ada lagi fasilitas umum yang seharusnya disediakan untuk mendukung kepentingan perempuan, seperti angkutan umum yang ramah untuk perempuan agar tidak terjadi pelecehan seksual, pembangunan trotoar yang lebih responsif gender dan lain-lain.
Perempuan juga bisa berperan menjadi pengawas yang kritis dalam pengadaan barang dan jasa. Seperti kita tahu, pengadaan barang dan jasa merupakan sektor yang paling banyak dikorupsi. Sekitar 30 persen dari kasus korupsi di Indonesia terjadi di sektor pengadaan barang dan jasa. Bojonegoro memiliki anggaran Rp 2,4 triliun untuk pengadaan barang dan jasa tahun 2020. Tentu ini bukan jumlah yang sedikit sehingga perlu diawasi dengan ketat.
Di sektor pendidikan dan kesehatan, perempuan juga bisa dilibatkan dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan terkait pengadaan barang dan jasa. Pendidikan dan kesehatan merupakan bidang yang sangat dekat dengan kebutuhan dasar perempuan sehingga sangat layak jika perempuan ikut terlibat aktif dalam pengadaan barang dan jasa di bidang tersebut.
Atasi Kendala
Peran perempuan dalam pembangunan memang masih harus terus diperjuangkan, tidak hanya oleh perempuan itu sendiri namun juga oleh laki-laki. Dari sisi internal perempuan itu sendiri seringkali masih ada hambatan, yaitu rasa tidak percaya diri, rendahnya kapasitas perempuan, keterbatasan wawasan tentang sektor publik ataupun pengadaan barang dan jasa pemerintah, dan kelemahan manajemen waktu.
Di sisi eksternal, budaya patriarki menjadi kendala utama, terutama di daerah-daerah. Pandangan bahwa perempuan tidak perlu berada di ranah publik, memberikan hambatan besar dalam perencanaan pembangunan dan penganggaran program. Apa yang menjadi kebutuhan perempuan masih sangat disepelekan.
Persoalan pembagian kerja dalam rumah tangga ikut menghambat peran perempuan di ranah publik. Penelitian yang dilakukan oleh Transparancy Internasional Indonesia (TII) bersama kelompok perempuan di Kabupaten Bojonegoro menemukan fakta bahwa beban kerja domestik masih didominasi perempuan. Komposisinya 82 persen pekerjaan domestik dikerjakan perempuan sedangkan laki-laki hanya mengerjakan 10 persen saja pekerjaan rumah tangga. Sisanya 8 persen dikerjakan bersama-sama.
Tidak seimbangnya pembagian peran domestik ini tentu tentu menyita banyak tenaga, pikiran dan waktu perempuan. Perempuan menjadi kehabisan waktu dan kelelahan untuk ikut berfikir tentang sektor publik. Perempuan juga menjadi sulit untuk menambah kapasitas ilmu dan pengetahuan mereka demi bisa terlibat dalam pembangunan.
Peluang perempuan dalam pembangunan perlu segera diciptakan, baik oleh perempuan itu sendiri maupun laki-laki. Perempuan diharapkan mulai sadar diri untuk peduli dan ikut terlibat dalam forum perencanaan pembangunan di level paling bawah, yaitu desa. Perempuan harus berani melibatkan diri dan meminta peran dalam pembangunan.
Semua itu sudah diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa. Dalam undang-undang tersebut diatur bahwa musyawarah desa harus melibatkan unsur perempuan. Maka stop menjadi perempuan yang acuh dalam pembangunan.
*Penulis Lilis Aprilliati, aktifis perempuan asal Kabupaten Bojonegoro (tulisan ini pernah dimuat di Radar Bojonegoro, 15 November 2020)