Catatan Peristiwa Wabah di Jawa Tahun 1910-1912
Admin, Published at 2020-04-06
Sumber: Asri Kacung
Coronavirus atau Covid-19 telah menyebar ke belahan dunia dan menyebabkan pandemi global. Berdasarkan data worldometers.info menyebutkan terdapat 208 negara dan wilayah di dunia yang terdampak virus ini, per Senin (6/4/2020) siang hari. Disebutkan pula, dari sejumlah negara tersebut, terdapat 1.274.346 kasus positif Covid-19 dengan rincian sebanyak 264,838 orang dinyatakan sembuh dan sebanyak 69.479 orang dinyatakan meninggal dunia.
Di Indonesia, menurut data yang dihimpun pemerintah pusat per Minggu (5/4/2020) pukul 12.00 WIB, terdapat 2.273 pasien Covid-19, dengan rincian sebanyak 164 pasien dinyatakan sembuh dan sebanyak 198 pasien dinyatakan meninggal dunia. Provinsi DKI menempati posisi teratas dengan angka kasus positif Covid-19 sebanyak 1.124 kasus, lalu disusul Jawa Barat sebanyak 252 kasus, Provinsi Jawa Timur sebanyak 188 kasus, Provinsi Banten sebanyak 177 kasus, Provinsi Jawa Tengah sebanyak 120 kasus dan lainnya tersebar di berbagai provinsi/wilayah di Indonesia.
Berdasarkan data per Minggu (5/4/2020) Pukul 15.40 WIB di atas, Pulau Jawa menempati peringkat tertinggi jumlah kasus positif Covid-19. Hal ini sangat menghawatirkan banyak pihak, mengingat populasi penduduk di Pulau Jawa merupakan terpadat di Indonesia. Jika tidak ada intervensi kebijakan, strategi mitigasi dan pencegahan penyebaran virus secara cepat dan tepat, maka penyebarannya bisa masif dan lebih meluas lagi, serta dapat menyebabkan chaos dan situasi yang semakin sulit. Apalagi dari sebuah catatan yang ditulis oleh N. H. Swellengrebel dari Institute Kedokteran Tropik, Amsterdam, menunjukkan bahwasanya di Jawa pernah terjadi pandemi (wabah) yang dikenal dengan nama The Black Death atau penyakit Pes, pada tahun 1910-1912, yang merenggut banyak korban jiwa - ada yang menyebutkan sebanyak 120 ribu jiwa saat itu.
Berikut ini catatan N. H. Swellengrebel yang telah dialihbahsakan oleh Asri Kacung, Peneliti Poverty Resouce Center Initiative (PRC-Initiative);
WABAH DI JAWA TAHUN 1910-1912*
(Disampaikan N. H. Swellengrebel pada kuliah di London School of Hygiene and Tropical Medicine, pada tahun 1950)
Saya tahu bahwa anda semua telah menyelesaikan studi dalam bidang kedokteran tropis dan kebersihan di sekolah ini. Jadi, tentu saja, tidak terlalu melenceng jika saya kira ada sedikit fakta dan pandangan yang belum anda dengar. Saya pikir agak sia-sia juga untuk mencoba menambahkan satu fakta kecil, atau satu pandangan yang tidak penting, ke tumpukan pengetahuan yang tersimpan di otak Anda, atau di buku catatan anda.
Baiklah, saya pikir begitu, dengan tema kuliah kali ini, wabah. Anda tahu dari sudut pandang kedokteran, dan Anda juga tahu apa yang dikatakan petugas kesehatan masyarakat tentang wabah itu. Aspek dualistik yang menawarkan: wabah pneumonia yang selalu fatal, dan wabah bubonik (wabah maut hitam) dengan tingkat kematian 80% atau lebih kecil; penyakit yang terus menular, menyebar langsung dari manusia ke manusia, dan penyakit yang tidak menyebar dari manusia ke manusia, tetapi dari hewan pengerat ke manusia, dengan perantara kutu tikus.
Anda paham semua itu. Anda bahkan dapat memperbaiki gagasan saya yang agak kuno dengan mengatakan kepada saya bahwa wabah pneumona tidak lagi benar-benar fatal, berkat antibiotik tertentu - dan dengan membuktikan bahwa mungkin wabah maut hitam dapat ditularkan dari manusia ke manusia. Tetapi Anda akan mengakui, saya percaya, bahwa penularan, dalam hal itu, bukan penularan langsung, tetapi karena penularannya melalui kutu; kutu manusia; setidaknya orang-orang di Maroko memberi tahu kita.
Tapi, mungkin, Anda tidak tahu apa yang dilakukan orang, tepatnya, ketika wabah menyerang negara mereka - anda berpikir anda tahu: bukankah anda membaca laporan yang dimulai seperti ini: 'Ketika kasus pertama terdeteksi pada seorang kuli yang bekerja di dermaga, langkah-langkah paling ketat segera diambil, dll.' Sebagai penghormatan atas pengetahuan Anda, saya akan mengatakannya secara berbeda dengan menyebut: Mungkin Anda tidak tahu apa yang dilakukan orang, tepatnya, ketika wabah mencapai pulau Jawa, pada kuartal ketiga tahun 1910.
Yah, mereka tidak melakukan apa-apa - untuk alasan sederhana bahwa mereka tidak menyadari sesuatu yang tidak diinginkan sedang terjadi. Wabah? Tidak pernah ada wabah di Jawa, atau di mana pun di Indonesia. Benar, ada beberapa kasus di Sumatra, di daerah petani tembakau. Tapi itu hilang karena sihir. Ada seorang peneliti eksentrik di sana, datang langsung dari Belanda, yang belum pernah ke Indonesia sebelumnya. 'Apa yang terjadi sekali mungkin terjadi dua kali', katanya, dan dia memperingatkan terhadap bahaya wabah. Dia bahkan mengunjungi Bombay, untuk menghadiri sebuah kongres. Semua yang dia lihat dari wabah di sana benar-benar memenuhi kepalanya. Dia kembali ke Sumatra mengoceh tentang tikus dan kutu, dan dia sama sekali tak bisa ditahan. Dan, akhirnya, bukankah seorang profesor di Universitas Utrecht mengatakan bahwa wabah tidak dapat memasuki Jawa, karena tidak ada Rattus norvegicus di sana untuk membuka pintu bagi masuknya penyakit?
Tidak ada seorangpun yang memikirkan wabah pada Oktober 1910. Apakah di sana, tidak ada yang memperingatkan mereka bahwa sesuatu yang luar biasa sedang terjadi? Sesuatu seperti peristiwa yang digambarkan oleh novelis Prancis Albert Camus dalam bukunya La Peste? Mungkin Anda telah membaca deskripsinya tentang epidemi wabah di kota Oran di Aljazair. Di sana, orang-orang tentu saja diperingatkan oleh peristiwa luar biasa; tikus pada sekarat dalam jumlah tak terkira sehingga pemerintah kota hampir tidak bisa mengatasi untuk menghilangkan bangkainya.
Tidak ada yang seperti itu di Jawa. Tidak ada tikus mati yang ditemukan. Bahkan di kemudian hari, ketika wabah berhasil didiagnosis, ketika korban kasus wabah manusia menjadi sangat banyak, dan ketika semua orang waspada terhadap tanda-tanda kematian yang tidak terduga pada tikus, tumpasnya tikus begitu mencolok tapi tertutupi dengan ketidakkelihatannya.
Apa lagi yang tersisa untuk memperingatkan pihak berwenang? Orang mati karena demam? Begitu banyak orang meninggal karena demam. Jauh setelah kehadiran wabah telah menjadi pengetahuan umum, ada daerah wabah terkenal, yang disebut Sisir. Semua orang yang sekarat karena demam limpa mereka diperiksa, setelah mati, diambli dengan jarum suntik. Apusan dibuat dari bahan yang dikumpulkan dalam lubang jarum. Di laboratorium apusan difiksasi, dan diwarnai dengan biru metilen. Jika tidak ada bakteri lain yang ketemu, Coccobacilli yang menunjukkan pewarnaan bipolar yang sedikit asimetris dianggap sebagai bakteri wabah. Itu adalah metode sederhana dan yang ada, hanya diizinkan untuk mengidentifikasi kasus-kasus tertentu, ketika kasus yang pertama telah didiagnosis dengan teliti dengan pemeriksaan bakteriologis dan patologis yang lengkap. Nah, di daerah Sisir, saya ingat betul bahwa pasien demam yang sekarat dalam waktu empat hari menunjukkan paling banyak sporulasi menakjubkan yang pernah saya lihat dari Plasmodium Falciparum (umumnya penyebab malaria-penerj). Wabah bakterial lebih sering terjadi pada pasien yang belum meninggal hingga hari keempat atau kelima, atau lebih lama. Jadi, apa seorang pasien meninggal akibat demam menjadi masalah di daerah itu? Itu adalah hal paling umum di dunia, dan itu tidak mengingatkan akan wabah.
Tentu saja, keadaan ini tidak berlangsung selamanya. Diagnosis yang benar adalah, tidak diragukan lagi, tertutupi oleh prevalensi luar biasa dari kasus-kasus parah, dengan fatalitas kasus 90%, atau lebih, dan durasi penyakit yang singkat, yang tidak menyisakan waktu bagi Bubo (pembengkakan kelenjar getah bening-penerj) untuk terjadi dan berkembang. Hal Itu juga tertutupi oleh fakta bahwa sebagian besar korban ditemukan di antara orang-orang awam. Orang Indonesia yang makmur jarang terpengaruh, orang kulit putih hampir tidak pernah. Meski begitu, orang-orang awam secara materi membantu dalam melakukan evaluasi yang benar tentang keadaan dengan menjadi ketakutan, dan menunjukkannya - meski jarang - dengan mengungsi dari desa mereka. Cacar, malaria, kolera tidak membuat mereka takut, meskipun morbiditas dan mortalitas akibat penyakit ini jauh lebih tinggi daripada wabah yang pernah ada, bahkan pada situasi terburuk. Tetapi dengan penyakit-penyakit lain tersebut masyarakat sangat mengenal, padahal sekarang ini ada penyakit baru, yang sama sekali tidak diketahui oleh mereka. Justru masyarakat biasa merupakan orang pertama yang mendiagnosis wabah, bukan sebagai wabah, tetapi sebagai penyakit baru yang menakutkan, membutuhkan tindakan luar biasa untuk mengusirnya, sebagai gambar iblis yang dilukis di dinding rumah untuk dilindungi.
Dengan bentuk peringatan tersebut, dan dibantu oleh terjadinya kasus-kasus Bubo (pembengkakan kelenjar getah bening) yang khas, otoritas kesehatan akhirnya berhasil mendiagnosis kasus-kasus wabah. Pada saat itu penyakit itu telah menyerang seluruh Jawa bagian timur, sekitar seperempat dari luas pulau itu. Apakah penularan masif itu terjadi segera atau membutuhkan waktu untuk menyebar dalam lima atau enam bulan ketidaktahuan kehadirannya saat pertama memasuki negara itu, akan tetap selamanya tidak diketahui. Namun secara umum dipercaya bahwa pelabuhan utama Jawa timur, Surabaya, memungkinkan sebagai sebab wabah untuk masuk ke Pulau.
Setelah keberadaan wabah di pulau itu dipastikan, pertanyaannya adalah bagaimana cara membatasinya pada daerah yang sudah dijangkitinya, dan bagaimana, pada akhirnya, untuk menghilangkannya.
Karena itu adalah penyakit baru, tidak ada yang tahu apa pun tentang cara menangani wabah, kecuali fakta-fakta yang diterbitkan dalam literatur internasional. Pengetahuan praktis tidak ada. Laporan Komisi Wabah India, yang diterbitkan dalam Journal of Hygiene, yang tentu sangat familiar bagi anda, adalah sumber informasi utama.
Hal Ini menimbulkan kontroversi serius. Satu kelompok dibentuk oleh Petugas Kesehatan, ahli kebersihan lingkungan, dengan de Vogel memimpin mereka, yang setiap malam mempelajari Laporan Wabah India seperti Alkitab. Pihak lain adalah dokter umum yang mengunjungi pasien di desa dan rumah.
Satu pihak meyakini bahwa semua Laporan Wabah India dipercaya sebagai kebenaran Injil, dan bertindak sesuai dengan itu. Bagi mereka wabah adalah penyakit tikus; manusia tidak begitu penting. Wabah tikus adalah batang atau geragih yang tersembunyi, tumbuh dengan sempurna di bawah tak terlihat. Wabah manusia adalah cabang, menyulut keluar dan menyingkap tumbuhnya geragih yang tersembunyi. Kasus wabah di manusia tidak timbul sendirian, mereka semua memiliki penyebab umum: wabah tikus.
Namun demikian, mereka tahu bahwa manusia dapat menjadi bagian dalam penyebaran penyakit yang dapat dilakukan dengan tiga cara.
Pertama, dengan mengembangkan pneumonia sekunder dalam periode wabah sepsis (infeksi menyeluruh melaui salurah darah-penerj) sehingga memulai epidemi wabah pneumonia. Kasus-kasus wabah sepsis sama sekali tidak jarang; setidaknya kasusnya diyakini demikian, karena durasinya yang singkat dan tidak adanya gejala Bubon (pembengkakan kelenjar getah bening). Dengan demikian, bahaya wabah pneumonia tidak dapat dikecualikan. Pencegahannya membutuhkan langkah-langkah karantina, berdasarkan asumsi bahwa wabah adalah penyakit menular. "Bukan Wabah Bubon", kata petugas kesehatan, "Tetapi bisa jadi begitu. Jangan ambil risiko". Saya dapat langsung mengatakan bahwa bahaya wabah pneumonia ini, pada akhirnya, terbukti tidak penting. Epidemi kecil dari penyakit itu menjalar sekarang dan kemudian. Para pasien dan keluarga mereka diisolasi dengan hati-hati di kamp-kamp kecil, dilingkupi oleh kawat berduri, disiapkan untuk menerima mereka. Tidak ada penyebaran lebih lanjut.
Kemungkinan kedua pasien wabah menjadi sumber infeksi langsung kepada rekan-rekannya tidak dipertimbangkan pada saat itu. Saya mendasarkan pada penyebaran dari manusia ke manusia oleh kutu manusia. Eksperimen yang dilakukan oleh Komisi Wabah India seharusnya mengecualikan kemungkinan ini. Di zaman sekarang, akan ada peneliti yang meragukan apakah eksperimen yang dilakukan Komisi itu cukup meyakinkan. Namun demikian, pengabaian hal ini oleh Otoritas Kesehatan di Jawa tidak penting: (1) karena dibandingkan dengan kondisi di Eropa atau Maroko, kutu manusia jarang; (2) karena langkah-langkah lain, dengan mempertimbangkan kutu-tikus saja, bagaimanapun, menangkal penyebaran wabah oleh kutu manusia - seandainya hal semacam itu benar-benar terjadi.
Kemungkinan ketiga Manusia bisa menyebarkan wabah diajukan oleh Komisi Wabah India, dan, oleh karena itu, mendapat perhatian penuh dari Otoritas Kesehatan di Jawa. Hal Ini adalah jenis transportasi kutu tikus yang terinfeksi dari satu desa ke desa lain. Namun, bukan dari kutu tikus yang dibawa pada tubuh inang alami mereka, berbagai jenis tikus, tetapi pada tubuh manusia, yang membawa kutu tikus yang terinfeksi di pakaiannya atau barang bawaanya. Pada saat tindakan karantina yang ketat harus diabaikan, kemungkinan manusia yang membawa kutu tikus tetap menjadi objek yang sangat diperhatikan. Ini mendorong otoritas kesehatan untuk menjaga Cordon Sanitaire (pembatasan pergerakan warga-penerj) dengan mengisolasi seluruh Daerah Malang, untuk waktu yang lama di pusat utama wabah. Lokasi itu hanya memiliki dua tempat untuk keluar atau masuk saja. Mula-mula semua orang yang meninggalkan lokasi ini akan ditahan selama lima hari, dan pakaian serta koper mereka menjadi sasaran desinfeksi bakteriologis. Kemudian hari mereka akan ditahan tidak lebih dari waktu yang diperlukan untuk membunuh ektoparasit dalam pakaian dan barang bawaan mereka.
Namun, objek utama perhatian Petugas Kesehatan adalah populasi hewan pengerat. Mereka diyakinkan akan kebenaran ajaran Komisi Wabah India. Tikus, bagi mereka, adalah sumber utama wabah. Jadi, terlepas dari biaya, mereka mengorganisir perburuan tikus dalam skala besar.
Seluruh masyarakat didorong untuk mengulurkan tangan, dengan imbalan setengah sen untuk setiap tikus yang dikirim di kantor Komisaris, Kepala Divisi, atau bawahannya. Sekarang segalanya mulai tampak seperti deskripsi Camus yang saya maksud tadi. Namun, dengan perbedaan bahwa, tumpukan tikus, yang terkumpul di dekat berbagai kantor, tidak terbunuh oleh wabah tetapi oleh manusia. Sebuah organisasi yang rumit harus dirancang untuk membakar semua tikus mati ini. Kemudian kebijakan diubah, uang setengah sen itu dibayarkan atas dasar yang dikirimkan saja, bukan dari keseluruhan bangkai tikus, tetapi hanya dari ekornya. Demi kenyamanan, penerima imbalan hadiah diminta untuk mengirimkan ekor dalam paket 100 biji, diikat dengan rapi dengan seutas rotan, ia nantinya akan mendapatkan dua shilling dan 10 peni. Pada awalnya paket-paket ekor tikus tersebut diperiksa dengan seksama kualitas dan kuantitas isinya. Tetapi pejabat bawahan yang menerima paket, segera belajar untuk menerka-nerka nilai mereka berdasarkan ukuran dan perkiraan berat. Kelalaian ini menimbulkan segala macam penipuan. Bahkan ada seorang pengrajin Cina yang picik yang membuat ekor imitasi yang indah. Dia menjualnya satu shilling per paket, diikat dalam dengan satu lapisan luar ekor tikus asli. Dengan begitu dia membuang kecurigaan saat pemeriksaan; sesuai dengan tujuan yang ia inginkan.
Tim khusus dipekerjakan dalam menangkap tikus di desa-desa yang dilanda wabah. Tikus-tikus ini dikirim di laboratorium wabah di kota Malang. Di sana mereka diperiksa untuk tanda-tanda infeksi wabah, dengan tujuan memastikan tingkat wabah tikus. Investigasi ini juga meluas ke desa-desa yang bebas dari wabah, untuk melacak arah penyebaran wabah tikus sebelum menyebar jadi wabah manusia.
Penyelidikan ini, berlanjut selama beberapa bulan, dan terdiri dari ribuan tikus, dilakukan dengan cara yang anda semua sangat paham, tidak diragukan lagi. Tikus-tikus tersebut diletakkan berdampingan di atas meja panjang, difiksasi kaki depan dan belakang, celah perut dibuka, apusan pulpa lien dibuat, difiksasi, diwarnai dengan metilen biru, diperiksa adanya pewarnaan Bipolar Coccobacilli. Kasus positif menjadi sasaran pemeriksaan bakteriologis lengkap.
Pekerjaan laboratorium bakteriologis ini menimbulkan kekecewaan, saya bisa mengatakan dengat sangat mengejutkan: tidak ada satu pun dari ribuan tikus yang ditemukan terinfeksi oleh wabah. Juga tidak pernah ada tikus yang dibawa ke laboratorium yang dilaporkan ditemukan mati. Semua tikus yang diperiksa telah dibunuh oleh manusia.
Sekarang saya menyebutkan kembali keberadaan dua pihak yang bersaing: partai Petugas Kesehatan, dan partai dokter umum. Sampai sekarang saya hanya memberi tahu Anda tentang kelompok pertama. Tetapi tidak adanya wabah tikus memberi kesempatan pada pihak lain. Mereka beralasan seperti ini:
'Lihat ini', mereka menuding kepada Petugas Kesehatan, 'Kami tidak menyangkal bahwa Komisi Wabah India benar di India. Tetapi Anda salah dalam menerapkan kesimpulan mereka ke Jawa. Anda sendiri telah membuktikan bahwa wabah tidak ada pada tikus di negara ini. Kami mengunjungi pasien wabah di rumah mereka, Anda tidak. Jadi kita tahu semua kekhasan dari bagaimana wabah terjadi di rumah-rumah Jawa ini, dari bagaimana wabah itu menyebar dalam satu keluarga dan dari satu keluarga ke keluarga lain, dan bagaimana wabah itu menyerang setiap pasien. Semua pengetahuan yang Anda miliki bukan sarana untuk mengumpulkan, karena Anda melakukan hal-hal lain yang harus dilakukan selain mengunjungi pasien di rumah mereka - apakah hal-hal lain ini layak dilakukan, tidak akan kita diskusikan saat ini. Dan pengetahuan itu telah meyakinkan kita bahwa wabah di Jawa, tidak seperti wabah di India, ini merupakan penyakit menular. Deteksi dini pasien dan isolasi (karantina) awal pasien dan keluarganya adalah metode untuk menghentikan epidemi. Perburuan tikus tidak lain adalah permainan mahal anak-anak. ' Publik semua mendukung sudut pandang dokter umum. Hal Itu memuaskan perasaan sentimental kemanusiaan mereka; para dokter mempertaruhkan nyawa mereka (jadi mereka pikir) mengunjungi keluarga yang tertekan dan membungkuk pada pasien yang terserang wabah, melihat wajah mereka yang memerah, dengan ekspresi kegelisahan yang aneh, yang oleh sebagian orang diyakini sangat karakteristik dalam wabah. Anda akan segera memahami bahwa Otoritas Kesehatan sangat memalukan waktu itu.
Dan sekarang saya harus mengingatkan dalam benak Anda bahwa orang yang eksentrik, peneliti dari Belanda, yang, enam tahun sebelumnya, telah meramalkan munculnya wabah di Indonesia, berdasarkan beberapa kasus di Sumatra Timur yang hilang sebelum benar-benar disadari bahwa penyakit itu memang terjadi adanya.
Pria itu, bernama van Loghem, telah melakukan penelitian yang paling tidak menjanjikan di Sumatra Timur. Dengan tidak adanya wabah saat itu ia telah mengambil subjek tikus sebagai penelitian terbaik. Dia menunjukkan bahwa beberapa tikus Sumatera bagian timur yang diidentifikasi oleh ahli zoologi Leyden sebagai Rattus Norvegicus sama sekali bukan R. Norvegicus. Benar, ekor mereka lebih pendek dari tubuh mereka, dan mereka memiliki enam pentil di bagian dada; tetapi tengkorak mereka tidak seperti R. norvegicus dan lebih seperti R. Rattus Alexandrinus. Selain itu, tikus ini, yang kemudian diidentifikasi sebagai R. Brevicaudatus, yang tidak tinggal di liang dekat tempat tinggal manusia seperti R. Norvegicus. Mereka tinggal di lubang di mana mereka memakan hasil ladang. Hanya ketika tanaman dipanen, ladang dibiarkan kosong, tikus-tikus beralih ke rumah penduduk mencari makanan.
Tentu saja, tidak ada yang tertarik pada sistem mamaliologis ini. Itu terjadi beberapa tahun sebelum wabah meletus di Jawa.
Ketika kabar tentang bencana yang menimpa Jawa sampai di Belanda, van Loghem menawarkan jasanya kepada Pemerintah. Tentu saja mereka menerima tawarannya; dia adalah satu-satunya orang yang tahu tentang wabah, dengan kunjungannya ke Bombay pada tahun 1908. Dia datang ke Jawa pada musim semi 1911, sebagai pendukung setia mazhab India sebagaimana de Vogel. Di Malang dia berhadapan langsung dengan para dokter umum, yang memiliki pandangan yang sangat berlawanan.
Para dokter itu memberi tahu dia tentang kisah di mana Departemen Kesehatan yang nahas terjadi, juga tentang kepastian praktis bahwa tikus tidak ada hubungannya dengan wabah, sejauh yang diyakini Divisi Malang. Van Loghem memberi tahu mereka tentang pengalaman sederhanya selama kunjungannya ke Madiun, kota paling barat di Jawa Timur, di mana beberapa kasus wabah muncul dengan interval yang bervariasi. Di sana ia telah ditunjukkan sebuah rumah di mana seorang pasien meninggal karena wabah malam sebelumnya. Di baleh-baleh (sofa lokal, terbuat dari bambu), dari situ mayat baru saja diangkat, ia menemukan bangkai tikus, kemudian diidentifikasi sebagai tikus yang mati karena wabah. Dua puluh dua kutu tikus (Xenopsylla Cheopis) dikumpulkan: pada tubuh tikus dan pada baleh-baleh di sebelahnya.
Para dokter tidak terkesan. "Mungkin itu di Madiun," jawab mereka, "Di sini di Divisi Malang, di mana ada lebih banyak wabah, kita tidak menemukan hal semacam itu." Untuk memperkuat sudut pandang mereka, mereka membawa van Loghem ke laboratorium wabah. Mereka menunjukkan kepadanya barisan panjang tikus, terbentang panjang di atas meja kayu untuk diperiksa. "Lihat itu, Tuan van Loghem," kata mereka, "Anda mungkin melihat hal yang sama setiap pagi selama berminggu-minggu, dan tidak pernah ada tikus wabah yang ditemukan." "Semua dari desa yang dilanda wabah?" tanya Van Loghem. "Semua dari desa yang dilanda wabah," sekali lagi mereka menegaskan. "Semua dari tempat tinggal manusia?" van Loghem bertanya lebih lanjut. " Semuanya," jawabannya.
Van Loghem mendekati meja. Dia mengambil pinset. Ia memegang ujung salah satu ekor yang tergantung di tepi meja. Dia mengangkatnya dan meletakkan ekornya memanjang di atas tubuh tikus yang memiliki ekor tersebut. ekornya tidak mencapai moncong tikus. Dia mengulangi manipulasi yang sama dengan yang lain, dan yang lain lagi, dengan hati hati kali ini memilih yang betina; hasil yang sama. Akhirnya, ia memeriksa beberapa betina yang menunjukkan puting dada yang berkembang dengan baik; Dia menghitung tiga pasang. Lalu dia mengajukan dua pertanyaan lagi: 'Padi masih di ladang? '' Oh, ya, panen tidak akan terjadi sampai bulan Mei. ' 'Dan lumbung beras, apakah penuh? '' Tidak, mereka kosong. Orang-orang kekurangan beras sekarang. '
Kemudian van Loghem mendongak, "Ini semua tikus sawah. Dan mereka telah didapatkan di sawah." Kemarahan besar terjadi di antara para dokter; Van Loghem salah besar, semua tikus ditangkap di dalam tempat tinggal manusia. "Apakah Anda menangkapnya sendiri, atau apakah Anda melihat mereka tertangkap di sana?", tanya van Loghem. Tentu saja tidak. Bagaimana mereka dapat menemukan waktu senggang untuk melakukan hal semacam itu, ketika seluruh waktu mereka dihabiskan untuk mengunjungi orang sakit? Tetapi mereka akan mendapatkan jawaban memuaskan dengan memanggil ketua kelompok penangkap tikus.
ketua kelompok penangkap tikus masuk, sangat ketakutan karena dia yakin bahwa dia telah ketahuan mengambil bagian dari uang yang semestinya untuk hadiah. Ketika akhirnya dia yakin bahwa tidak ada yang meragukan karakternya yang tidak bercela, dia siap menjawab pertanyaan. Akan saya sampaikan kepada Anda ringkasan investigasi itu sebagai berikut:
“Apakah semua tikus ini ditangkap di rumah?”
“Ya, semuanya.”
“Apakah sulit untuk menangkap mereka di sana?”
“Sangat sulit.”
“Jadi, bagaimana Anda berhasil menangkap begitu banyak?”
“Karena anak buah saya bekerja siang dan malam.”
“Kapan Anda menangkap sebagian besar dari mereka, pada malam hari atau siang hari?”
“Kadang di malam hari, kadang di siang hari.”
“Bagaimana Anda menangkapnya? Ketika mereka berlarian, atau di sarang mereka?”
“Saat mereka berlari.”
“Saya melihat sejumlah anak-anak tikus di antara tangkapan ini. Apakah mereka juga berlarian?”
“Tidak, kami menangkap mereka dengan menggali lubang mereka.”
“Di mana lubang-lubang ini?”
“Kami menemukan mereka di jalan tanah kecil (pematang) di antara sawah.”
“Tapi itu bukan di dalam rumah?”
“Itu dekat rumah.”
“Apakah tikus-tikus lain juga ditangkap di dalam liang mereka?”
“Tidak, mereka biasanya lari ketika lubang itu digali, dan mereka dipukul saat berlari.”
“Tapi itu tidak terjadi di dalam rumah?”
“Itu terjadi di dekat rumah.”
“Apakah sangat dekat rumah?”
“Desa itu terlihat sangat jelas. (Dari sini saya menambahkan bahwa selalu ada setidaknya tiga desa yang terlihat-dari rumah, apa pun posisi yang dilakukan seseorang di sawah).”
“Apakah ada tikus hari ini yang tertangkap di mana pun kecuali di liang di sawah?”
“Mereka semua ditangkap di sana.”
“Tapi saya bilang untuk menangkap tikus di dalam tempat tinggal manusia. Kenapa kamu tidak melakukannya?”
“Ya, saya menangkap mereka semua di dekat tempat tinggal manusia.”
“Tapi itu tidak sama: saya bilang untuk menangkap mereka di dalam rumah.”
“Tidak ada tikus di dalam rumah.”
Wawancara itu jauh lebih lama. Selain itu, diselingi dengan pengulangan berulang-ulang bahwa dia tidak mengambil uang apa pun. Ini hanya ringkasan. Tetapi hasilnya adalah ini, bahwa tidak ada tikus yang diperiksa sampai saat itu telah terjebak di dalam tempat tinggal orang yang menderita wabah, atau di rumah-rumah lain di desa-desa yang dilanda wabah, atau di rumah-rumah dengan deskripsi lain. Semua tikus yang diperiksa adalah tikus sawah, yaitu tikus-tikus yang menggali di ladang, dan ditunjukkan oleh karakter morfologis mereka, bahkan sebelum kepala penangkap tikus melakukan konfirmasi.
Para dokter sama sekali tidak yakin. Mereka mengakui bahwa temuan negatif wabah tikus tidak meyakinkan seperti yang mereka percayai. Tapi mereka tetap berpegang teguh pada keyakinan mereka bahwa tikus tidak ada hubungannya dengan wabah di divisi Malang. Hanyaa ada tikus sawah di sana, dan mereka dikecualikan dari wabah. Mengenai wabah pada tikus rumah, tidak ada gunanya membicarakannya, karena tidak ada tikus rumah — bukankah kepala penangkap tikus mengatakannya sendiri?
van Loghem berpendapat bahwa pernyataan-pernyataan pejabat itu jelas terbukti tidak dapat diandalkan sejak awal, dan bahwa tidak ada alasan untuk percaya bahwa dia lebih dapat diandalkan dalam kondisi saat ini. Jadi, diputuskan hari berikutnya untuk mengunjungi desa Karangloo yang baru saja terinfeksi, untuk meyakinkan van Loghem bahwa tidak ada tikus rumah - atau dokter yang benar.
Keesokan harinya mereka sudah berada di depan sebuah rumah yang baru saja dievakuasi oleh penduduk karena salah satu dari mereka meninggal karena wabah. Mereka harus tinggal di kamp karantina selama lima hari. Pakaian dan tempat tidur mereka telah didesinfeksi.
Semua perabotan sekarang dikeluarkan dari rumah, sementara itu di luar dikelilingi oleh barisan orang-orang yang dipersenjatai dengan tongkat untuk membunuh tikus yang melarikan diri - tetapi tidak ada.
Selanjutnya rumah itu dihancurkan berkeping-keping. Hal Itu bukan masalah serius di rumah Jawa pada saat itu. Rumah itu terdiri dari balok bambu, tegak dan horisontal. Atapnya ditutupi oleh daun kelapa, dan dindingnya terdiri dari anyaman anyaman bambu. Tidak ada paku yang digunakan, semua direkatkan dengan tali rotan. Seseorang dapat menghancurkannya seperti rumah boneka, dan mendirikannya kembali di tempat yang sama, atau yang lain, asalkan seseorang mampu menggali lubang di tanah untuk menahan balok bambu vertikal.
Banyak sekali laba-laba yang terganggu. Anda tahu mereka, yang besar, Heteropoda Venatoria sebesar 4,5 inci melintang, termasuk kaki -tetapi tidak ada tikus.
Di sana terbentang rumah, balok bambu dan kotak anyaman bambu. Para dokter gembira. Van Loghem kecewa. Apakah benar-benar tidak ada tikus rumah? Dia yakin pasti ada. Dia sangat percaya bahwa pekerja riset India benar. Dan dia tidak bisa membayangkan bahwa epidemiologi wabah di Jawa bisa jadi begitu berbeda dari India.
Ada balok bambu tebal tergeletak di kakinya. Anda tahu, balok seperti itu berlubang, lubang di dalam balok itu dibagi menjadi kompartemen oleh partisi (ros bamu). Balok tertentu itu dipotong sedemikian rupa sehingga lubang ditutup oleh dinding partisi yang terletak di kedua ujung balok bambu. Van Loghem memperhatikan sepotong kain merah mencuat dari balok. Melihat lebih dekat, dia melihat bahwa kain itu menonjol dari lubang yang menembus dinding partisi. Dia menariknya dan keluar, bersama dengan beberapa butir kacang.
Kemudian balok ini dipotong memanjang menjadi dua. Di sana dua bagian terbelah, masing-masing memperlihatkan partisi dan kompartemen yang mereka pisahkan. Semua partisi ditusuk; di beberapa bagian tidak ada yang tersisa kecuali tepi luar. Semua kompartemen dipenuhi dengan potongan-potongan kain, dengan kacang tanah, biji kapas, biji-bijian jagung dan lainnya - dan bangkai tikus. Satu bangkai cukup baru, dua lainnya dengan perut bengkak, sisanya mumi. Di waktu kemudian terbukti dari bangkai itu terdapat isolasi wabah bakteri dari yang pertama, juga dari bangkai hitam yang merupakan limpa dari salah satu dari dua atau lainnya. Ketiganya adalah betina, spesimen baru memiliki ekor yang jelas lebih panjang dari tubuh, dan empat puting dada. Anda akan menyebutnya R. Alexandrinus. Kami menyebutnya R. Diardii di sana. Ini adalah tikus rumah, juga tikus kapal, tetapi bukan tikus sawah. Yang lain terlalu sulit untuk diidentifikasi.
Semua balok bambu dibelah. Hanya balok horisontal besar yang menopang atap, dan di atas atap, berisi sarang tikus dan bangkai tikus; ada delapan belas bangkai tikus, lima belas mumi. Para dokter keberatan untuk memasukkan mumi dalam hitungan. Mereka mengatakan tikus-tikus ini pasti telah mati beberapa minggu sebelum wabah muncul di Karangloo. Mungkin mereka benar. Kemudian, di Semarang, menunjukkanbahwa wabah tikus mendahului wabah manusia dengan selang waktu lima bulan sebelumnya. Tetapi de Raadt membuktikan bahwa mumifikasi bangkai komplit setelah satu minggu. Kemudian seseorang dapat mengambil mumi di ujung ekor dan itu akan terlihat jelas, kaku, sekeras selembar karton.
Mulai saat itu pengamatan serupa dilakukan di desa-desa lain, setelah diketahui di mana mencari bangkai tikus dan sarang mereka. Menjebak perangkap yang diberi umpan dengan hati-hati juga mengungkapkan keberadaan tikus hidup, terutama di desa-desa yang bebas dari wabah. Tikus pes, juga yang hidup, mulai menemukan jalan mereka dalam jumlah yang terus meningkat ke laboratorium, yang van Loghem telah membawa peralatan bakteriologis penuh, dan yang sekarang bekerja dengan kecepatan tinggi. Tikus dengan ekor pendek dan betina dengan enam puting dada, satu-satunya sebelum kedatangan van Loghem, tidak lagi terlihat di meja pembedahan. Hanya ada ekor panjang dan betina dengan empat puting dada.
Anda akan memahami bahwa, karena pengalaman ini, saya tidak percaya pada tidak adanya tikus wabah dalam epidemi wabah hitam.
Itu adalah sesuatu untuk membungkam pihak lawan, orang-orang kafir terhadap riset India. Tetapi ada hal yang lebih besar bahwa hari-hari yang sibuk telah membawa solusi bagaimana menghadapi wabah. Segera van Loghem meyakinkan de Vogel bahwa ini adalah masalah bagaimana membangun rumah untuk mencegah tikus bersarang di dalamnya.Itu tidak akan saya bahas dalam ruang lingkup kuliah saya ini. Saya hanya ingin menambahkan bahwa pemeriksaan tikus rumah harus dibar