Ironi Stunting di Kabupaten Lumbung Pangan dan Kaya Migas

Admin, Published at 2022-02-01

Sumber: (Ilustrasi) Freepik.com

Kita tentu masih ingat, beberapa waktu lalu, pelatih Timnas Indonesia, Shin Tae-yong, sempat mengungkapkan tiga persoalan mendasar yang menyebabkan pemain Timnas Indonesia gagal terus di level Asia. Ternyata, salah satu dari tiga hal mendasar tersebut adalah persoalan asupan dan pola makan.

Menurut pengamatan pelatih asal Korea Selatan ini, banyak pemain Indonesia yang makan sembarangan, kurang memenuhi standar nutrisi gizi yang baik. Wahh, urusan makanan pun bisa berdampak pada prestasi lho!
 
Iya, memang. Permasalahan kesehatan, termasuk menyangkut status gizi masyarakat Indonesia, hingga saat ini masih jadi tantangan dan “PR” besar. Tidak tanggung-tanggung, angka stunting di Indonesia pun disebut-sebut menempati peringkat ke-empat dunia dan kedua di Asia Tenggara. Tentu saja ini bukan prestasi yang bagus. Namun justru sebaliknya.

Karena itu, momentum Hari Gizi Nasional, 25 Januari 2022 kali ini patut jadi wahana bersama-sama menumbuhkan kepedulian, membangun konsolidasi dan sinergi untuk mengatasi persoalan kesehatan dan gizi masyarakat.

Sekadar informasi saja, di Indonesia, setiap tanggal 25 Januari, diperingati sebagai Hari Gizi Nasional (HGN). Berdasarkan sejarahnya, Hari Gizi Nasional (HGN) ini diselenggarakan untuk memperingati dimulainya pengkaderan tenaga gizi Indonesia yang saat itu ditandai dengan berdirinya Sekolah Juru Penerang Makanan pada 25 Januari 1951. Dengan demikian, peringatan HGN pada 25 Januari 2022 ini sudah memasuki tahun ke-62.

Dan seperti kita ketahui bersama, status gizi menjadi salah satu instrumen penting menilai kualitas pembangunan kesehatan masyarakat. Balita yang mengalami masalah gizi, yang tidak segera tertangani dengan baik, dikhawatirkan dapat berdampak jangka panjang. Stunting dan gizi buruk misalnya, dikatakan bisa mempengaruhi tingkat Intelligence Quotient (IQ), tingkat produktivitas dan kapasitas kerja yang tidak optimal serta dampak-dampak negatif lainnya.

Untuk itulah, status kesehatan dan gizi masyarakat, terutama balita, perlu mendapat perhatian serius dari semua pihak, terlebih pemerintah, selaku pemangku kebijakan.

Pada Desember 2021 lalu, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes), Kementrian Kesehatan Indonesia, telah mempublikasikan hasil Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) tahun 2021. Tujuan pelaksanaan SSGI adalah untuk inventarisasi dan menghasilkan data perkembangan status gizi balita di Indonesia, seperti permasalahan stunting, gizi kurang, obesitas dan lainnya.

Laporan hasil SSGI juga dapat digunakan sebagai instrumen monitoring dan evaluasi capaian indikator intervensi spesifik maupun intervensi sensitif penanganan stunting, baik di tingkat nasional maupun di tingkat kabupaten/kota. Adapun laporan hasil SSGI 2021 ini pun untuk saat ini sudah bisa diakses di website Badan Litbangkes Kementerian Kesehatan.

Berdasarkan laporan hasil SSGI 2021 menunjukkan, angka stunting secara nasional mengalami penurunan sebesar 1.6 persen, yakni dari 27.7 persen pada tahun 2019 menjadi 24,4 persen di tahun 2021. Dari angka prevalensi stunting tahun 2021 ini, Indonesia bisa dibilang lebih baik dibandingkan Myanmar (35%), tetapi masih lebih tinggi dari Vietnam (23%), Malaysia (17%), Thailand (16%) dan Singapura (4%).

Laporan hasil SSGI 2021 juga menggambarkan kondisi terbaru angka prevalensi stunting masing-masing provinsi dan kabupaten/kota di Indonesia, termasuk dalam hal ini Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur. Hasil SSGI 2021 menunjukkan, angka prevalensi stunting Kabupaten Bojonegoro, sebesar 23,9 persen. Dengan demikian, kabupaten yang terkenal sebagai penghasil migas terbesar di Indonesia ini, berada di urutan tertinggi ke-13 dari 38 kabupaten dan kota di Jawa Timur.

Selain stunting, tingkat prevalensi balita ‘wasting’ di Kabupaten Bojonegoro juga masih cukup tinggi. Masih berdasarkan sumber data yang sama, dari laporan hasil SSGI 2021, tingkat prevalensi balita wasting di Kabupaten Bojonegoro pada tahun 2021 mencapai 9,5 persen, menempati urutan tertinggi ke-5 di Jawa Timur, setelah Kabupaten Pamekasan (14,9 persen), Kabupaten Jember (12,8 persen), Kabupaten Sumenep (9,9 persen) dan Kabupaten Pasuruan (9,7 persen).

Wasting adalah kondisi berat badan anak menurun, sangat kurus di bawah batas normal, dengan proporsi berat badan tidak ideal dibanding tinggi badan.

Rozy Afrial, Program Officer Nutrition International (NI) Indonesia, menuturkan beberapa penyebab masalah wasting, diantaranya asupan karbohidrat kurang, penyakit diare, demam, imunisasi tak lengkap, dan pemberian ASI (Air Susu Ibu) yang rendah. Selain itu, wasting juga bisa disebabkan masalah rendahnya edukasi bagi bumil (ibu hamil).

“Wasting agak sedikit berbeda dengan stunting. Anak stunting biasanya juga mengalami ‘wasting’ (kurus). Namun anak wasting bisa kembali mencapai berat normal jika cepat mendapat penanganan. Sementara Stunting itu masalah kronik dan tidak bisa dikembalikan (ireversible) yang disebabkan kekurangan asupan gizi penting yang sudah berlangsung cukup lama, semenjak dalam kandungan. Baru terlihat nyata setelah dua tahun,” ungkapnya.

Tingginya angka balita stunting dan wasting di Bojonegoro, sebagaimana digambarkan hasil SSGI 2021 di atas, ini tentu menjadi seubuah ironi. Mengapa? Sebab belakang ini Bojonegoro merupakan kabupaten terkaya, dengan nilai belanja APBD menempati urutan ke-3 dari kabupaten se-Indonesia. Begitu pula di bidang sumber pangan, kabupaten yang dijuluki “Kota Ledre” ini menjadi pengahasil padi terbesar ketiga di Jawa Timur. 

Dengan melimpahnya sumber daya (keuangan daerah yang besar) semestinya mampu mengakselerasi (mempercepat) penanganan kasus stunting dan wasting di daerah. Diantaranya, dengan membuat terobosan-terobosan kebijakan atau program, baik dalam bentuk intervensi gizi spesifik maupun intervensi gizi sensitive, atau dalam bentuk-bentuk intervensi lainnya/

Intervensi gizi spesifik merupakan intervensi dalam bentuk kegiatan yang langsung mengatasi penyebab terjadinya stunting, misalnya pemberian makanan tambahan bagi ibu hamil dan balita kurus, promosi dan pemantauan kondisi pertumbuhan anak, pencegahan infeksi, penyakit menular, status gizi ibu, kesehatan lingkungan dan lainnya.

Adapun yang dimaksud dengan intervensi gizi sensitif adalah intervensi dalam bentuk kegiatan yang berhubungan dengan penyebab tidak langsung stunting, seperti penyediaan air minum dan sanitasi yang baik, pelayanan gizi dan kesehatan yang maksimal, peningkatan kesadaran pengasuhan dan gizi serta kegiatan lainnya.

Selain beberapa intervensi tersebut, agar upaya mengatasi persoalan gizi dapat berjalan optimal, maka membutuhkan beberapa faktor pendukung, seperti ketersediaan basis data serta sistem pengelolaan data yang baik dan berkualitas, dukungan politik anggaran, program-program terobosan, misalnya membentuk forum rembug stunting atau permasalahan gizi hingga level RT/RW dan lainnya.

Pada prinsipnya, setiap anak Bojonegoro yang lahir merupakan generasi emas yang bakal meneruskan pembangunan kota yang kini tampak “hidup” karena dampak adanya industrialisasi migas. Sementara sektor migas merupakan sumber daya yang bersifat sementara (unrenewable), yang pasti akan habis. Pada sisi lain, para generasi emas tersebutlah yang akan memasuki dan merasakan masa-masa saat kegiatan industri migas hanya jadi cerita sejarah masa lalu daerahnya.

Sebab itu, sudah sepatutnya bibit-bibit unggul, generasi emas, yang akan memikul masa-masa berat tersebut dibekali sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas sejak dini, terutama dari aspek pendidikan dan kesehatan. Pada aspek kesehatan, termasuk menyangkut pemenuhan gizi seimbang sejak dalam kandungan. Ini seharusnya menjadi komitmen para pemangku kepentingan yang saat ini merasakan gemerlap dan bergelimangnya dana besar dari sektor migas yang diterima daerah.

Balita stunting dan wasting disebabkan faktor multidimensi, maka cara mengatasinya pun perlu melibatkan multipihak dan multisektor. Untuk itu diperlukan pendekatan menyeluruh (komprehensif) dari pemerintah. Adanya jalinan komunikasi yang baik, sinergitas lintas sektor serta kerja sama semua pihak, meliputi pemerintah, masyarakat sipil, akademisi atau lembaga pendidikan, tokoh masyarakat, hingga para pelaku usaha (private sector). Ini semua merupakan kunci keberhasilan dalam mengatasi stunting, wasting dan permasalah gizi lainnya. Begitu, bukan?

*Penulis: Aw Syaiful Huda - Pegiat Poverty Resource Center Initiative (PRCi)
 

Share Link: