Pohon Jati, Emas Hijau dan Jati Diri Bojonegoro

Admin, Published at 2021-10-19

Sumber: (ilustrasi) Photo By Detakpos.com/Wahyu Setiawan

Apa identitas yang menurut anda cukup melekat pada Bojonegoro? “Jati,” jawabku, saat ditanya dalam forum diskusi Kampus Terbuka beberapa hari lalu. Mengapa? Minimal ada enam fakta menarik dari pohon jati (Fakta Ketiga dan Keempat, akan membuat anda susah tidur, mending baca sambil ngopi-ngopi. Heuheu)

Fakta pertama, pohon jati merupakan “emas hijau” yang nilai ekonominya tidak kalah dengan nilai emas hitam (migas), yang juga dimiliki (kabupaten) Bojonegoro, yang saat ini sering dibangga-banggakan karena berhasil menambah pundi-pundi pendapatan daerah. Berbeda, jika emas hitam bersifat unrenewable – yakni sumber daya alam tak terbarukan alias pasti bakal habis, sementara emas hijau berupa pohon jati ini besifat renewable, yakni jenis sumber daya alam yang bisa diperbarui, sehingga 'bisa' dijaga terus keberlanjutannya (sustainable).

Jika emas hitam-migas menyebabkan polusi-emisi, sehingga tidak ramah lingkungan. Sementara pohon jati memeiliki kemampuan menyerap karbon dan partikel polutan, serta menghasilkan oksigen yang dibutuhkan mahluk hidup, seperti manusia dan mahluk hidup lainnya.

Fakta kedua, pohon jati adalah saksi sejarah perjalanan dan dinamika daerah, yang pada 25 September 1828 diberi nama Bodjanegara (Bojonegoro) ini. Gambaran hutan jati ini telah diceritakan dalam novel “Naga Bumi” karya Seno Gumira Adjidarma. Novel ini berlatar kisah pada abad VIII, yang mengisahkan petualangan “pendekar tanpa nama” yang menjelajah dari pulau Jawa, Kamboja, Myanmar hingga Tiongkok. Nah, dalam perjalanan ini, si-pendekar tanpa nama melewati hutan jati dan sungai di Bojonegoro.

Meskipun ini kisah fiksi, namun patut digarisbawahi bahwa saat menulis “Naga Bumi” ini, Seno Gumira telah melakukan penelitian sangat serius, sebagai bahan penulisan novel tersebut. Jika benar begitu, ini artinya, hutan jati di Bojonegoro bisa jadi sudah ada pada/sebelum abad ke-8 (Wangsa Sailendra).

Bahkan konon katanya, jaman dulu, jati dari Bojonegoro banyak dipakai sebagai bahan bangunan keraton, perumahan, benteng pertahanan, kapal niaga, kapal perang dan lainnya.

Pun jika kita baca sejarah kemiskinan Bojonegoro, sebagaimana dituliskan secara menarik oleh de Vries dan CLM. Panders dalam bukunya masing-masing. Berdasarkan catatan Panders, Bojonegoro pada tahun 1900-1942 merupakan daerah termiskin se-Karesidenan Rembang. Bahkan de Vries menyebut Bojonegoro sebagai daerah “sekarat” – sedang menuju kematian, akibat saking parahnya tingkat kemiskinan, kelaparan, penyakit dan bencana alam (banjir dan kekeringan).

Meskipun menjadi kabupaten sangat miskin, sampai digambarkan seperti tanah kematian, namun Pemerintah Belanda saat itu memiliki perhatian serius terhadap Bojonegoro. Diantaranya dibuktikan dengan pembangunan jalur transportasi kereta hingga sampai di sekitar hutan. Selain itu, Pemerintah Belanda juga membangun waduk dan kanal Solo Valley Werken, dengan nilai proyek pembangunan termahal setelah perang Jawa. 

Mengapa Pemerintah Belanda begitu serius memperhatikan Bojonegoro padahal daerah ini sangat miskin? Karena Bojonegoro memiliki sumber daya alam yang melimpah dan bernilai tinggi, diantaranya berupa hutan jati dengan kualitas jati terbaik di dunia. Kayu jati dari Bojonegoro diekspor ke eropa, dan memiliki nilai jual sangat mahal. Sehingga perdagangan (ekspor) kayu jati ini menambah pundi-pundi keuangan negara Belanda.

Fakta ketiga, nilai filosofi pohon jati - menurutku - cukup merepresentasikan kehidupan orang Bojonegoro. Pertama, dari sisi biji pohon jati. Pohon jati yang berkualitas dihasilkan dari biji yang baik, yakni biji jati yang sangat keras (menthes). Jadi mentalitas dan karakter orang Bojonegoro (semestinya) sudah ditempa sejak dini, minimal secara natural ditempa oleh karakter alam yang keras.

Kedua, pohon jati tumbuh perlahan. Ini seperti mengekspresikan bahwa kualitas hidup dipengaruhi oleh proses yang tidak instan. Artinya, untuk menghasilkan suatu tujuan hidup yang berkualitas maka dibutuhkan kesabaran, ketelatenan, serta kemampuan menahan diri dari berbagai godaan saat dalam berproses pengembangan diri. 

Semakin tua pohon jati, maka kayunya semakin berkualitas. Hal ini merepresentasikan nilai-nilai pendewasan dalam diri seseorang, dalam konteks ini masyarakat Bojonegoro.

Ketiga, kayu jati memiliki serat klambium sangat indah, beragam corak yang khas, yang sulit ditandingi oleh jenis kayu lainnya. Ini merepresentasikan kehidupan orang Bojonegoro yang memiliki karakter plural (beragam). Keberagaman ini menjadi identitas dari local wisdom (kearifan lokal), serta bisa jadi merupakan bentuk dari local genius – yakni kemampuan; keterampilan dan kecerdasan masing-masing entitas warga masyarakat Bojonegoro dalam menghadapi berbagai persoalan, meliputi dinamika politik, sosial-budaya, ekonomi hingga kemampuan merespon masalah kebencanaan di daerah.

Jejak-jejak dialektika sosial-budaya, ekonomi dan politik ini bisa ditelisik dari sejarah masa lalu Bojonegoro, mulai dari era Mataram kuno, Majapahit, Demak, Pajang, Mataram Islam hingga era saat ini.

Keempat, kayu jati tahan lama, tidak gampang menyusut karena cuaca, tidak gampang kena penyakit, tahan dari jamur ataupun thothor. Merepresentasi ketangguhan seseorang dalam menghadapi permasalahan, semisal ancaman, tekanan atau intimidasi serta bentuk-bentuk penindasan dan lainnya.

Kelima, pohon jati lebih bagus hidup di alam yang yang keras, tandus berbatuan. Seperti gambaran kondisi Bojonegoro, yang sebagian alamnya tandus, berbatuan. Selain itu, wilayah Bojonegoro ketika musim hujan, kerap dilanda bencana bajir, lalu saat musim kemarau tiba, kekeringan di mana-mana, cuaca sangat panas disertai bleduk atau angin yang lembab dan berdebu.

Dari kehidupan pohon jati ini, seperti merepresentasikan bahwa hidup dalam zona yang nyaman seringkali membuat orang terlena. Dan orang Bojonegoro yang selalu ditempa oleh kehidupan yang keras dan penuh ujian, jika ia lulus dari tempaan dan ujian tersebut, maka dalam dirinya terbentuk suatu kepribadian yang kuat, mental yang tangguh, serta punya karakter pejuang yang tahan banting, memiliki prinsip dan idealisme yang kuat.

Kita tahu bahwa dari Bojonegoro ini lahir dan tumbuh sosok-sosok pejuang yang hebat dengan idealisme yang kuat. Diantaranya Arya Penangsang, Aria Sosrodilaga, Raden Ayu Tirtonoto dan lainnya.

Aria Sosrodilaga adalah seorang sosok pejuang yang melawan penjajahan Belanda, memberontak dan merebut kekuasaan Bupati Jipang yang tidak berdaya dan selalu berpihak pada Belanda. Dalam perang Jawa, Aria Sosrodilogo merupakan salah satu panglima perang terkemuka Pangeran Diponegoro, yang berhasil menusir Belanda dan menguasai seluruh wilayah Bojonegoro hingga Rembang, Jawa Tengah.

Tokoh perempuan yang memiliki karakter yang kuat, yang berani melabrak pejabat Belanda yang sewenang-wenang, yakni Raden Ayu Tirtono. Raden Ayu ini adalah nenek sekaligus yang mengasuh Tirto Adhi Soerjo, seorang warga pribumi yang pertama kali mendirikan media massa dengan nama "Medan Prijaji", ini adalah media perjuangan - yang pendiri dan seluruh karyawannya adalah warga pribumi - yang memiliki kontribusi besar menumbuhkan semangat kemerdekaan Indonesia.

Selain Aria Sosrodilogo dan Raden Ayu Tirtono, banyak tokoh-tokoh yang lahir ataupun pernah tinggal/hidup di Bojonegoro yang memilki pengaruh besar dalam kancah nasional, seperti Tirto Adhi Soerjo yang barusan saya ceritakan, lalu ada Kartosuwiryo, Lestari, Mansour Fakih, dan lainnya.

Keenam, pohon jati memberi keteduhan. Pohon jati bisa tumbuh ratusan tahun, ia bisa menyerap karbon dan polutan, memberikan kesejukan di sekitarnya. Pohon jati juga melindungi pohon-pohon kecil yang ada di sekitarnya.

Hal ini merepresentasikan bahwa orang yang sejatinya baik adalah bisa memberikan manfaat bagi orang lain, terutama bagi orang yang lemah dan termarginalkan. Sebaliknya, sehebat, sekaya atau secerdas apapun seseorang jika ia tidak memberi kemanfaatan bagi orang lain, memberi kemanfaatan bagi lingkungan, maka hidupnya, sejatinya tidak berarti apa-apa.

Fakta keempat, ternyata di Bojonegoro, tepatnya di kawasan hutan Padangan, saat ini masih ada pohon jati yang ditanam pada tahun 1857, sekarang mungkin sudah berusia sekitar 164 tahun (dengan diameter kurang lebih 557 centimeter), usia tersebut hampir mendekati usia kelahiran nama “Bojonegoro”, yang lahir pada 25 September 1828 atau dengan usia saat ini sekitar 193 tahun.

Demikian fakta-fakta tentang pohon jati, berikut nilai filosofinya.

Terkhir, karena ada momentum hari jadi Kabupaten Bojonegoro ke-344 (versi 20 Oktober 1677), sebagai bahan refleksi, saya ingin mengutip kata-kata Ahmad Fuadi, penulis novel “Negeri 5 Menara”, bahwasanya: "History is not nostalgic art, but history is ibrah, lessons, that we can pull to the present, to prepare for a better future”.

Begitu, bukan?
***

*Penulis: Aw. Syaiful Huda, pegiat "Kampus Terbuka" dan peneliti PRCi (Poverty Resource Center Initiative).

 

Share Link: