Ironi Kemakmuran (Bag 2); dari Sejarah Masa Lalu, Merajut Sejarah Masa Depan
Admin, Published at 2021-07-19
Sumber: Lukisan Josias Cornelis Rappard (Dibuat tahun 1881-1883)
History is not nostalgic art, but history is ibrah, lessons, that we can pull to the present, to prepare for a better future
-Ahmad Fuadi-
Mengapa saya tertarik ‘membaca’ sejarah kemiskinan dan pertanian di Bojonegoro, hingga mengkaitkan logo kabupaten dengan persoalan pertanian (dalam tulisan sebelumnya)? Kutipan dari novel, Negeri 5 Menara, yang ditulis Ahmad Fuadi di atas, mungkin sedikit memberikan jawaban. Namun kalau agak teoritis, mungkin pembacaan sejarah ini bisa dimaknai sebagai salah satu upaya menyelami sejarah masa lalu Kabupaten Bojonegoro - mulai dari aspek lingkungan, dimensi sosial, budaya hingga politik - dengan harapan saya bisa menemukan gambaran utuh mengenai masalah-masalah atau rentetan persoalan yang menyebabkan petani atau sektor pertanian kita sulit keluar dari kubang kemiskinan.
Seperti yang baru-baru ini terjadi misalnya, ketika para petani mampu meningkatkan jumlah produksi padinya, justru tingkat kesejahteraan mereka malah menurun, sementara pada sisi yang lain kita mendapati kebijakan impor beras oleh pemerintah berjalan setiap tahun, dengan alasan untuk menutup devisit beras dalam negeri. Paradoks sekali, bukan?
Dengan membaca sejarah kemiskinan Bojonegoro, kita menyelami akar masalah, mendekatkan pada suatu pengetahuan yang utuh dan holistik tentang berbagai persoalan mendasar (fundamental) yang selama ini jadi penghambat akselerasi pembangunan sektor pertanian. Jadi, menghadirkan sejarah masa lalu, untuk memahami masalah (pertanian dan kemiskinan) saat ini, kemudian menjadikannya sebagai bahan merajut sejarah masa depan pertanian di daerah. Sebab, dari sisi fungsinya, sejarah bisa jadi inspirasi, bisa jadi cambuk motivasi untuk menentukan 'titik balik' menuju perubahan kondisi yang ideal, yang dicita-citakan bersama.
Karena untuk mewujudkan kemajuan sektor pertanian, dibutuhkan sense of urgency, yakni pandangan yang menganggap pembangunan sektor pertanian ini sangat urgen (penting dan mendesak) sehingga menumbuhkan kesadaran dalam bentuk perhatian dan perlakuan serius para pihak, terutama para pemangku kebijakan, pada sektor pertanian. Dari sejarah, kita bisa tarik benang merah antara peristiwa masa lalu dengan kondisi sekarang.
***
Dari sumber bacaan-literasi yang saya baca, faktor yang menyebabkan sejarah panjang kemiskinan Bojonegoro di masa lalu, bisa dikelompokkan jadi dua: yakni faktor alam dan non-alam. Faktor alam, diantaranya kerap dilanda bencana banjir saat musim hujan, baik banjir bandang maupun banjir luapan Bengawan Solo, mengakibatkan tanaman pertanian rusak, para petani mengalami gagal panen berkali-kali. Sedangkan kita tahu, mayoritas penduduk Bojonegoro dari dulu hingga sekarang adalah bertani. Jadi kalau mereka sering mengalami gagal panen, maka kita membayangkan sendiri bagaimana kondisinya.
Banjir kerap kali menyebabkan banyak infrastruktur jalan, jembatan hingga rumah-rumah penduduk mengalami kerusakan dan hancur. Genangan air banjir pun juga menimbulkan masalah kesehatan, berbagai penyakit muncul menyerang warga, sedangkan tenaga dan fasilitas kesehatan saat itu masih sangat terbatas.
Selain bencana banjir, wilayah Bojonegoro kerap dilanda kekeringan saat musim kemarau. Dalam setahun selama 6-7 bulan bisa tidak ada setetes air hujan pun yang turun. Padahal, mayoritas lahan pertanian di Bojonegoro masih mengandalkan air hujan (tadah hujan). Hanya kawasan pertanian subur, seperti sepanjang aliran sungai Bengawan Solo yang masih bisa ditanami Selainnya, tidak ditanami apa-apa, dibiarkan bero. Akibat sering dilanda banjir di musim hujan; hingga air menggenang cukup lama – sebab sanitasi yang buruk, ditambah kekeringan pada musim kemarau, lahan pertanian pun mengalami krisis unsur hara, menyebabkan produktivitas pertanian cukup rendah. Dampaknya dulu kerap terjadi krisis pangan di daerah.
Adapun faktor non-alam yang menyebabkan kemiskinan Bojonegoro sangat akut (endemic), diantaranya keterbatasan infrastruktur pertanian, seperti irigasi buruk dan minim sekali, dan adanya keterbatasan sumber daya manusia (SDM) para petani dan buruh tani di daerah. Selain itu terdapat faktor sosial. Ada juga sebagian budaya-moral yang terkadang ikut ‘menghambat’ produktivitas petani di Jawa.
Dari catatan Egbert de Vries maupun C. L. M. Penders, menunjukkan, sebenarnya Pemerintan Belanda dulu juga memilki perhatian serius terkait kondisi kemiskinan dan pertanian di Bojonegoro. Melalui program politik etis, Pemerintah Hindia Belanda membangun berbagai infrastruktur pertanian, seperti waduk, kanal-kanal dan sarana irigasi lainnya. Bahkan pembangunan jaringan irigasi Solo Valley Werken, yang melintasi wilayah Bojonegoro, Tuban, Lamongan hingga Gresik - disebut-sebut jadi proyek termahal Pemerintah Belanda, paska perang Jawa.
Jaringan irigasi Solo Valley pun sebenarnya sudah dirancang saling terintegrasi antara jaringan irigasi satu dengan lainnya. Seperti Waduk Pacal, yang sudah diintegrasikan dengan kanal Solo Valley ataupun jaringan lainnya. Tetapi sangat disayangkan, paska kemerdekan Indonesia, kanal Solo Valley tidak difungsikan dengan semestinya, bahkan kondisinya tidak terurus. Padahal jika dilanjutkan dan difungsikan secara maksimal, bencana banjir bisa diminimalisir. Wilayah selatan yang sering mengalami krisis air, terlebih saat musim kemarau, juga akan bisa tercukupi kebutuhan suplai airnya.
Bahkan saya membayangkan, seandainya jaringan irigasi Solo Valley dikembangkan dengan baik, ia bisa jadi aset wisata alam dan wisata sejarah. Bojonegoro bisa seperti kota-kota di dunia yang memilki sungai-sungai indah yang membelah, berada di tengah-tengah kota (kabupaten). Dimana sungai dikelola dengan baik, airnya jernih dengan kanan-kiri rerimbunan pohon dan bebetauan yang tertata indah. Wahh, jika ini bisa diwujudkan, Bojonegoro bagaikan Kota Giethoorn dan Amsterdam (Belanda), atau Kota Stockholm (Swedia), atau seperti kanal Redeau di Ottawa (Kanada). Solo Valley pun bisa jadi magnet pemicu pertumbuhan ekonomi daerah. Namun disayangkan sekali, lagi-lagi ibarat kata; ia layu sebelum berkembang.
Kondisi Solo Valley yang paska kemerdekaan tidak difungsikan sebagaimana mestinya, ini memantik kita mengambil suatu pelajaran penting; bahwa pembangunan itu perlu kesinambungan. Butuh komitmen kuat para pemangku kepentingan maupun pemangku kebijakan di negeri ini, mulai dari pusat, daerah hingga desa. Termasuk meredam ego sektoral. Dibutuhkan politik nasional dan daerah yang memilki perhatian lebih pada sektor pertanian, perencanaan pembangunan bidang pertanian pun dibuat tidak bersifat reaktif, temporer (ujuk-ujuk) dan gradakan (terburu-buru).
Diperlukan sebuah perencanaan jangka panjang yang sangat matang, terukur dengan target-target yang terjangkau, rasional dan memberikan dampak signifikan. Tidak boleh di tengah jalan, tergoda akan hal lain, karena bisa menyebabkan perencanaan berikut target jangka panjangnya hanya jadi dokumen tidur saja (sleeping document). Hal ini banyak dijumpai, apalagi jika pembangunan disesuaikan selera masing-masing pemimpin. Ibarat kata, “Ganti rezim, ganti selera”.
Jika dibandingkan, persoalan pertanian dan kemiskinan pada jaman dulu (pra kemerdekaan) dengan era saat ini tentu sangat berbeda, meskipun ada beberapa yang masih tetap sama, tidak berubah. Yang pasti, pada saat ini, persoalan pertanian dan kemiskinan makin kompleks. Saking kompleksnya persoalan pertanian dan kemiskinan ini, kita perlu meminjam istilah Ragnar Nurkse tentang lingkaran setan kemiskinan (Vicious circle of poverty). Yakni kondisi kemikinan yang disebabkan banyak faktor, yang antara satu faktor dengan faktor lainnya saling terkait, saling mengikat kuat, hingga sulit untuk keluar dari jerat kemiskinan tersebut.
Agar permasalahan pertanian dan kemiskinan ini dapat dipecahkan secara tepat, cepat dan efektif, maka dibutuhkan komitmen kuat, perhatian serius dan kolaborasi multi-pihak; seperti para pemangku kebijakan mulai dari pusat hingga daerah/desa, akademisi, organisasi atau komunitas masyarakat sipil, private sector, komunitas/kelompok tani dan lainya. Kolaborasi lintas sektor sangat diperlukan untuk menciptakan ekosistem perubahan yang saling dukung-mendukung antara satu dengan yang lain. Sehingga lingkaran setan kemiskinan yang ada dalam sektor pertanian bisa diuraikan satu persatu.
Perencanaan pembangunan - yang jadi panduan pelaksanaan agenda pembangunan - perlu dirumuskan secara partisipatif dengan dukungan basis data yang benar dan berkualitas. Para lintas pelaku; para pemangku kepentingan dan para pemangku kebijakan, perlu duduk bersama untuk mencari sumber-akar masalah, lalu secara bersama-sama merumuskan peta jalan perubahan menuju kondisi pertanian yang dicita-citakan, yang membawa harapan terwujudnya kesejahteraan petani di daerah.
Jika sejarah adalah tentang masa lalu, maka saatnya kini mencipta sejarah masa depan dengan kerja-kerja kolaboratif, didukung keseriusan dan 'perhatian lebih' para pemangku kebijakan di negeri yang dulu dikenal sebagai negeri agraris ini. Pembangunan daerah perlu diarahkan agar berpihak pada petani, wong cilik, pro poor dengan konsep pembangunan yang berkesinambungan. Sektor pertanian perlu didorong bareng-bareng agar tumbuh maju, petani dan buruh tani jadi makmur sentosa (Bersambung).
*Penulis: Aw. Syaiful Huda, peneliti Poverty Resource Center Initiative (PRCi)