Ironi Kemakmuran (Bag 1); Tentang Kesejahteraan Petani dan Makna Logo Kabupaten Bojonegoro
Admin, Published at 2021-07-16
Sumber: Lukisan Abraham Salm; De rivier de Solo (1865-1872)
Petani atau pertanian selama ini sering dijadikan simbol kemakmuran, meski dalam realitanya mereka masih termarjinalkan dan dirundung persoalan kemiskinan. Pancasila sila ke-5 misalnya, disimbolkan “Padi” dan “Kapas”, yang melambangkan kemakmuran dan kesejahteraan. Begitu pula logo Kabupaten Bojonegoro, terdapat simbol “Padi” dan “Kapas”, yang kira-kira punya makna serupa. Bahkan kalau ditelisik lagi, simbol “Padi-Kapas” pada lambang Bojonegoro tersebut, di bawahnya terdapat simbol air dengan empat (garis) riak air. Ini bisa jadi mengilustrasikan makna yang tersirat; untuk mencapai swasembada pangan, kemakmuran dan kesejahteraan petani, maka empat kawasan pertanian di daerah, yakni wilayah selatan, barat, timur dan utara, perlu ditopang kebutuhan irigasi yang baik, dengan suplai sumber daya air yang cukup.
Selain lambang Pancasila dan logo Kabupaten Bojonegoro, saya kira masih banyak lagi lambang ataupun ikon yang menggambarkan petani ataupun pertanian sebagai simbol kemakmuran dan kesejahteraan. Lantas muncul pertanyaan di benak saya; apakah kondisi petani kita sudah ikut makmur sejahtera, sesuai harapan yang disematkan pada simbol-simbol, lambang-lambang itu? Jika melihat realita di lapangan, didukung data-data yang ada, rasa-rasanya kok masih sangat jauh. Masih ada gap yang cukup lebar antara apa yang dicita-citakan (Das sollen) dengan realita yang terjadi (Das sein). Bahwa sejak dulu hingga saat ini, tingkat kesejahteraan petani dan buruh tani masih yang terendah, mereka masih banyak yang berkubang dalam garis kemiskinan.
Saya pernah sedikit mengulas gambaran kondisi kemiskinan petani di Bojonegoro ini dalam sebuah artikel dengan judul; Peta Sebaran Kantong-kantong Kemiskinan di Kabupaten Bojonegoro, yang dimuat di website Poverty Resource Center Initiative (PRCi). Dalam artikel ini disebutkan, berdasarkan data Pemutakhiran Basis Data Terpadu (PBDT) 2019, dari jumlah penduduk Kabupaten Bojonegoro yang masuk kriteria penduduk dengan tingkat kesehateraan 40% terendah di Indonesia, mayoritas bekerja di sektor pertanian, baik berprofesi sebagai petani maupun buruh tani. Sebagai contoh, lima kecamatan dengan jumlah penduduk miskin (tingkat kesejahteraan terendah) paling banyak di Bojonegoro, yakni Kecamatan Kedungadem, Ngasem, Tambakrejo, Ngraho dan Dander. Dari data lima kecamatan ini menunjukkan, mayoritas penduduk miskin (tingkat kesejahteraan terendah) bekerja sebagai petani dan buruh tani, angkanya di atas 60 persen dibanding profesi lain.
Inilah gambaran kondisi kemiskinan petani dan buruh tani di Bojonegoro yang perlu mendapat 'perhatian lebih' dari para pihak, terutama para pemangku kebijakan di negeri ini. Perlu adanya terobosan, inovasi dan langkah-langkah strategis serta jalan keluar yang terbaik, sehubungan dengan upaya meningkatkan kesejahteraan petani dan buruh tani di daerah. Apalagi mengingat penduduk Bojonegoro mayoritas bekerja di sektor pertanian, sebanyak 26 persen dari jumlah populasi penduduk. Sementara jumlah rumah tangga yang memiliki usaha di sektor pertanian mencapai sekitar 60.5 persen.
Memang, kemiskinan petani di Bojonegoro ini sudah mendera sedari dulu, bahkan jauh sebelum era kemerdekaan Indonesia. Ada banyak bacaan-sumber literasi yang bisa memberikan gambaran sejarah panjang kemiskinan Bojonegoro yang erat kaitannya dengan permasalahan sektor pertanian ini. Salah satunya buku dengan judul: Bojonegoro 1900-1942; A story of Endemic Poverty in North East Java-Indonesia, yang ditulis oleh C. L. M. Penders.
Dari catatan Penders menunjukkan, Bojonegoro memiliki sejarah kemiskinan cukup panjang dan sangat kronis (endemic), bahkan sekitar tahun 1900-an, Bojonegoro disebut-sebut sebagai daerah paling miskin se-Karesidenan Rembang, bahkan se-Jawa. Kemiskinan Bojonegoro yang sangat kronis ini disebabkan banyak hal, diantaranya bencana banjir dan kekeringan yang terjadi setiap tahun dan dalam kurun waktu yang sangat lama. Ditambah lagi sistem irigasi pertanian yang sangat buruk dan minim sekali. Tingkat produktivitas pertanian cukup rendah, sering terjadi gagal panen seiring bencana banjir dan kekeringan yang kerap melanda. Akibatnya terjadi krisis pangan cukup parah. Banyak kasus kematian yang disebabkan kelaparan dan kekurangan gizi akut.
Selain catatan Penders, ada lagi sumber bacaan yang juga membahas tentang kemiskinan dan pertanian di Bojonegoro, judul bukunya; Pertanian dan Kemiskinan di Jawa, yang ditulis Egbert de Vries, salah seorang profesor ahli ekonomi pertanian asal Belanda. Jika Penders menulis kemiskinan di Bojonegoro meski dia belum pernah datang langsung ke Indonesia (Hindia Belanda), sementara de Vries ini, ia pernah tinggal lama dan bertugas di Jawa, sempat juga jadi Dekan Fakultas Pertanian Universitas Indonesia (sekarang Institute Pertanian Bogor).
Catatan Penders tentang kondisi Bojonegoro didasarkan dari studi arsip/literatur yang memang cukup banyak dia temui di bagian kearsipan Belanda, sementara de Vries tidak hanya melalui kajian literatur, tapi dia juga datang ke desa-desa, melakukan riset dan pengamatan secara langsung. Hanya saja, jika buku karya Penders di atas lebih banyak bicara tentang Bojonegoro secara spesifik, sementara bukunya de Vries lebih luas, banyak mengulas masalah kemiskinan dan pertanian di Jawa secara umum, meskipun ia memberikan beberapa atensi terkait kondisi kemiskinan dan pertanian di Bojonegoro. Bahkan dalam bukunya ini, de Vries menyebut kondisi Bojonegoro saat itu, seperti sedang menuju kematian; sekarat, untuk menggambarkan kondisi daerah yang 'hancur-hancuran' karena kerap dilanda bencana banjir dan kekeringan hebat yang menyebabkan kemiskinan dan kelaparan yang sangat parah.
Berdasarkan catatan laporan de Vries dalam bukunya tersebut, pada tahun 1930-an kondisi ekonomi penduduk Jawa – yang mayoritas bekerja di sektor pertanian – sangat terpukul akibat dampak resesi ekonomi global yang terjadi saat itu. Diperparah lagi, langkah negara-negara Eropa dalam penanganan krisis, semakin menambah kacau perekonomian Hindia Belanda (Indonesia), termasuk di Jawa, yang mayoritas penduduknya bekerja di sektor pertanian. Bahkan dari analisis gap antara pendapatan yang diperoleh petani, lalu dikurangi seluruh biaya pengeluaran petani, mulai dari kebutuhan makan minum, pakaian, hingga hutang dan lain-lain, menunjukkan kondisi para petani saat itu mengalami kerugian hingga minus 60 persen. Sehingga mereka pun harus menekan biaya pengeluaran, seperti makanan, pakaian dan lainnya.
Langkah para petani menekan kebutuhan makanan ini, membuat mereka harus mengurangi jatah makan hingga mencari jenis bahan makanan dengan kualitas rendah. Akibatnya banyak terjadi kasus kematian karena kelaparan dan penyakit akibat kekurangan gizi. Banyak pula ditemukan kasus warga meninggal akibat keracunan karena mengkonsumsi jenis tanaman yang tidak layak makan. Hal ini menggambarkan kondisi warga saat itu yang sudah benar-benar menthok sulit mencari bahan makanan, terlebih yang baik dan sehat.
Sebagai tambahan informasi saja, periode 1870-1930, disebut-sebut sebagai masa penerapan ekonomi liberal di Indonesia pra-kemerdekaan (Hindia Belanda). Dengan tujuan percepatan pembangunan, Pemerintah Hindia Belanda mengundang dan melibatkan para pengusaha ataupun investor dari Belanda dan Eropa menanamkan modal di banyak kegiatan usaha di Indonesia, termasuk sektor pertanian. Jenis tanaman yang ditanam pun disesuaikan dengan kebutuhan pasar dunia, antara lain; kopi, tebu-gula, teh, dll.
Sejak saat itu, perekonomian Indonesia jadi sangat tergantung kondisi pasar global. Itulah mengapa di atas disampaikan, saat terjadi krisis global 1930-an, dampak buruknya pun sampai di Indonesia pada masa itu. Diperparah lagi, langkah negara-negara Eropa dalam mengatasi krisis global makin memperburuk ekonomi Indonesia, yang meliputi pulau Jawa dan lainnya. Dalam hal ini termasuk Bojonegoro, sebagai salah satu daerah di Jawa yang kondisi kemiskinan sebelumnya sudah cukup parah, akibat kerap dilanda bencana banjir, kekeringan dan lainnya (Bersambung).
*Penulis: Aw. Syaiful Huda, Peneliti Poverty Resource Center Initiative (PRCi)