Sang Penakluk: Pertautan Kisah Sosrodilogo dan Nobunaga
Admin, Published at 2021-10-21
Sumber: (ilustrasi) Radar Bojonegoro
Nobunaga. Jika anda pernah membaca novel "Taiko" atau membaca beberapa literatur sejarah penyatuan Jepang, maka nama ini (Nobunaga) pasti tidaklah asing bagi anda. Nobunaga tidak lain adalah sosok penting dibalik penyatuan tiga kekuasaan besar di Jepang, yang sebelumnya selalu berperang, saling bunuh-bunuhan.
Sebelum bersatu, Jepang terbagi dalam tiga kekuasaan Damiyo besar (penguasa samurai). Nah, ada 3 (tiga) sosok penting dalam proses penyatuan Jepang ini, yakni Nobunaga (Oda Nobunaga), Hideyoshi (Toyotomi Hideyoshi) dan Ieyasu (Tokugawa Ieyasu). Dari ketiga orang ini, yang sempat merasakan kenikmatan menjadi pemimpin tertinggi Jepang hanya Hideyoshi dan Ieyasu.
Nobunaga meski disebut sebagai orang yang ‘babat jalan’.Tapi dia tak sempat menikmati jerih payah (kemenangan), ia terbunuh oleh bawahannya sendiri. Misi Nobunaga diteruskan dengan gemilang oleh Hideyoshi dan Ieyasu. Tiga wilayah kekuasan besar yang selama berabad-abad terus berperang ini pun berhasil disatukan dalam satu kepemimpinan tertinggi; Hideyoshi Sang Taiko, ia sendiri sebenarnya tidak memilki darah Samurai, ia hanya anak seorang petani kecil.
Setelah Hideyosi meninggal, ia kemudian digantikan Ieyasu dengan gelar Shogun (awal mula era keshogunan). Ada yang mengilustrisikan proses penyatuan Jepang dengan mengibaratkan seperti membuat nasi; Nobunaga yang menumbuk padi, Hideyosi yang menank nasi, dan Ieyasu yang memakannya. Era keshogunan pun bertahan selama hampir 3 abad, hingga akhirnya lahir era Meiji (jika anda nonton film “Kenshin”, pasti sedikit banyak tahu tentang awal terbentuknya era Meiji ini).
Kisah Nobunaga, Hideyoshi dan Ieyasu ini diceritakan secara apik dan sangat menarik dalam novel Taiko, sebuah novel berlatar belakang sejarah yang ditulis oleh sastrawan Eiji Yoshikawa. Belakangan Netflix bikin film dokumenter, “Age of Samurai: Battle for Japan,” yang menceritakan sejarah kisah ketiga tokoh pemersatu Jepang tersebut.
Dibanding film dokumenternya, saya lebih menyukai versi novel Taiko. Diawali dari masa kecil Hideyoshi, sebagai anak petani miskin hingga akhirnya jadi seorang Taiko, pemimpin tertinggi seluruh wilayah Jepang. Saya sangat menyarankan agar anda membacanya. Bagus sekali. Novel ini cocok, terutama bagi anda yang sedang berkarir jadi politisi sipil atau menjadi aktivis pergerakan mahasiswa, maupun jadi pekerja sosial dan lainnya.
Lantas apa hubungannya dengan Sosrodilogo?
Tidak ada. Sama sekali tidak ada hubungan atau keterkaitan antara Sosrodilogo dengan Nobunaga, mereka berdua hidup di tempat yang berbeda dan jaman yang berbeda pula. Namun di sini saya ingin menuliskan kisah Nobunaga dan Sosrodilogo ini karena keduanya memiliki satu kemiripan. Apa? Mereka berdua merupakan pembuka jalan penaklukan dan pemersatu tiga kelompok kekuasaan yang berbeda (apalagi antara "Jipang" dan "Jepang" agak mirip, kan? Heuheu).
Kita tahu, sebelum tahun 1828, sebelum Bojonegoro lahir sebagai nama kabupaten, di wilayah Jipang terdapat tiga kekuasaan yang masing-masing memiliki kekuatan dan pengaruh besar, yakni Kabupaten Jipang (Padangan), Kabupaten Mojoranu (Dander) dan Kabupaten Baureno (Baureno).
Ketiganya tidak bertemu secara politik, bahkan, saya membayangkan 'mungkin' ketiganya tidak akur, bisa jadi saling intip, saling intrik dan berebut pengaruh.
Kadipaten Jipang pada era kerajaan Demak, Pajang hingga Mataram (Mataram Islam) memiliki pengaruh besar, dan sangat diperhitungkan keberadaannya oleh pihak keraton (pusat pemerintahan) pada setiap periode kerajaan tersebut.
Namun seiring waktu, pada puncaknya, saat Mataram mengalami kekalahan saat perang melawan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC), konsekuensinya beberapa wilayah mataram di pantai utara akhirnya diserahkan pada VOC. Termasuk kadipaten Jipang - yang kemudian diubah menjadi kabupaten Jipang ini (1677).
Dengan kata lain, kabupaten Jipang sejak saat itu berada dalam penguasaan VOC, meskipun secara tata administrasi pemerintahan 'mungkin' masih mengikuti Mataram. Tetapi untuk hal-hal yang strategis, misal VOC memilki kewenangan mengangkat dan memberhentikan bupati dan lainnya.
Sementara itu, kabupaten Mojoranu dan kabupaten Baureno – sepertinya – tidak termasuk daerah yang berada di bawah kekuasaan VOC. Meski konon katanya, VOC sudah berusaha penuh untuk menguasai kedua basis kekuatan tersebut, tetapi gagal. Dan kemungkinan hanya bisa membatasi ruang gerak penguasa kedua kabupaten ini.
Pada tahun 1725, berdasarkan perintah Susuhunan Prakubuwana II, terjadi pemindahan ibu kota Kabupaten Jipang di Padangan ke Desa Rajekwesi. Pada saat itu kabupaten Jipang dipimpin bupati Raden Tumenggung Haria Mentahun I. Nama kabupaten kemudian diubah jadi kabupaten Rajekwesi, dipimpin oleh bupati yang sama, Raden Tumenggung Haria Mentahun I.
Mungkin maksud dibalik pemindahan pusat pemerintahan ini, supaya VOC mudah mengkooptasi (menguasai) kabupaten Mojoranu dan kabupaten Baureno. Karena di tahun yang sama telah meletup perang Jawa yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro, maka bisa jadi ini bagian dari strategi VOC untuk menghalau-membatasi ruang gerak perlawanan rakyat terhadap VOC berikut para bupati yang sebarisan dengan VOC – yang mulai berkobar di berbagai daerah.
Naas. Kali ini perhitungan VOC pun meleset. Pada tahun 1827 kabupaten Rajekwesi - yang waktu itu dipimpin bupati Djodjonegoro - justru berhasil direbut oleh perlawanan rakyat yang dipimpin oleh Aria Sosrodilogo, anak Tumenggung Purwonegoro (mantan bupati Jipang ke-13 atau bupati Rajekwesi sebelum Djodjonegoro).
Sosrodilogo merupakan orang kepercayaan Diponegoro sekaligus iparnya. Dalam perang Jawa, peran Sosrodilogo sangat menonjol. Sehingga memupuk kebencian para punggawa VOC dan para punggawa pemerintah Hindia Belanda.
Pada saat penyerangan ke kabupaten Rajewesi, Sosrodilogo bersama pasukannya tidak hanya merusak dan membakar gedung-gedung milik Belanda, tapi juga membunuh tentara dan para punggawa Belanda, membebaskan para tahanan dan merekrut mereka menjadi bala pasukan. Dalam penyerangan ini, bupati Djodjonegoro berhasil melarikan diri, mengungsi ke Blora. Dan Sosrodilogo pun diangkat oleh rakyat menjadi bupati Jipang di Rajekwesi.
Kekuatan pasukan Sosrodilogo terus menguat karena mendapat dukungan masyarakat luas. Berkat dukungan rakyat inilah, Sosrodilogo akhirnya menguasai daerah-daerah - yang sebelumnya dikuasai VOC dan kroninya. Akhirya mulai dari Rajekwesi dan Baureno (seluruh wilayah Bojonegoro), Bancar (Tuban) hingga Rembang jatuh ke tangan Sosrodilogo.
Melihat kekuatan Sosrodilago semakin kuat dan makin meluas pengaruhnya, akhirnya pemimpin tertinggi pemerintahan Hindia Belanda, Gubernur Jenderal Hindia Belanda, L.P.J Viscount Du Bus de Ghisignies sampai turun tangan sendiri. Ia mengumpulkan seluruh tentara Belanda di wilayah residen Rembang, ditambah tentara dari wilayah lain - yang terdiri atas orang Belanda maupun ‘bumi putra’ (Ambon, Halmahera, dan Madura) - untuk fokus terlebih dulu mengalahkan ‘pemberontakan’ Sosrodilogo dan merebut kembali Rajekwesi.
Tidak sampai di situ saja, pasukan Belanda di Surabaya dan sekitarnya pun digerakkan, dan diminta ikut membantu membatasi ruang gerak pasukan Sosrodilogo agar mudah dipukul mundur. Dari sini terlihat, pasukan Sosrodilogo dikepung dari arah barat (pasukan Belanda dari residen Rembang) dan arah timur (pasukan Belanda dari Surabaya).
Selain mengerahkan kurang lebih 2000 pasukan (tentu dengan senjata lebih canggih), pemerintah kolonial Belanda juga menjanjikan hadiah (iming-iming) berupa hadiah yang besar bagi siapa saja yang bisa menangkap Sosrodilogo dan saudaranya yang bernama Raden Bagus - yang selama ini setia dan membantu Sosrodilogo.
Karena ruang gerak pasukan semakin sempit, ditambah lagi beberapa panglima perang Diponegoro yang lain juga telah tertangkap dan menyerah, sehingga menyebabkan perang Diponegoro (Perang Jawa) di daerah-daerah lain mulai mengendur, Sosrodilogo bersama pasukannya pun semakin terdesak ke selatan, arah Madiun. Kabupaten Rajekwesi dikuasai lagi oleh Belanda pada 2 Januari 1828.
Meski peluang menang sangat kecil, Sosrodilogo bersama pasukan setianya tetap melancarkan perlawanan secara gerilya di desa-desa dan bukit-bukit terpencil. Namun karena ruang gerak pasukannya semakin sempit, akhirnya, pada 3 Oktober 1828, Sosrodilogo akhirnya benar-benar kalah dan menyerah.
Tidak ada informasi tentang bagaimana nasib Sosrodilogo setelah itu, namanya pun seperti hilang ditelan bumi. Konon katanya, ia meninggal dan kubur di daerah Madiun, namun tidak ada (belum) informasi detail di mana persisnya lokasi kuburan Sosrodilogo ini.
Perlawanan Sosrodilogo memang membuat pemerintah Hindia Belanda sempat sangat kewalahan dan kesulitan meredamnya. ‘Pemberontakan’ Sosrodilogo juga mengakibatkan kerugian yang tidak sedikit di pihak Belanda, banyak punggawanya terbunuh, gedung-gedung milik Hindia Belanda yang dirusak dan dibakar.
Dan yang paling penting adalah perlawanan Sosrodilogo mendapat dukungan masyarakat luas, menyulutkan perlawanan di mana-mana. Jika situasi ini dibiarkan, maka bisa mengancam posisi pemerintahan Hindia Belanda.
Mungkin karena itulah, pemerintah Hindia Belanda ingin berusaha menghapus ingatan masyarakat dari sosok Aria Sosrodilogo berikut sprit perjuangan-perlawanannya – yang dalam kosa kata Hindia Belanda disebut sebagai “pemberontakan”. Jangan sampai kobaran api perlawanan ini terulang kembali, oleh karena itu apapun yang bisa mengingatkan masyarakat pada perlawanan sosok Sosrodilogo musti dihapus, salah satunya dengan mengganti nama kabupaten Rajekwesi dengan nama baru.
Alasan perubahan nama kabupaten baru ini juga tercermin dari surat Djodjonegoro kepada para punggawa Belanda. Dalam suratnya, Djodjonegoro mendukung pergantian nama baru kabupaten Rajekwesi dengan alasan, diantaranya, kondisi Rajekwesi yang sudah hancur lebur setelah dikuasai dan dihancurkan oleh ‘para pemberontak’. Djodjonegoro menganggap Rajewesi ibarat sudah “Pedjah” (mati). Jika masih menggunakan nama atau lokasi ibu kota yang sama, maka akan melahirkan kemalangan baru lagi nantinya.
Djodjonegoro dalam suratnya mengusulkan dua nama, yakni Bodjanegara dan Rajekwinangun. Setelah melalui berbagai pertimbangan, termasuk dari makna filosofinya, akhirnya pada 25 September 1828, Gubernur Jenderal menerbitkan keputusan persetujuan pergantian nama kabupaten Rajekwesi menjadi kabupaten Bodjanegara (Bojonegoro).
Mungkin saja Djodjonegoro masih traumatik dengan penyerbuan Sosrodilogo bersama pasukannya ke Rajekwesi, yang membuatnya keplayon atau melarikan diri. Bisa jadi pada saat mengungsi, Djodjonegoro sempat merenung (intropeksi diri), dan ia melihat betapa besar dukungan rakyat, termasuk masyarakat Rajewesi, terhadap perjuangan Aria Sosrodilogo.
Mungkin saja, ada tokoh spiritual atau orang yang disegani Djodjonegoro yang memberi nasehat, wejangan, untuk terkait pergantian nama kabupaten baru tersebut. Ini bisa jadi, lho. Tapi memang sepanjang yang saya ketahui, hal ini tidak tercatat dalam beberapa litarur sejarah.
Dan nama Bodjanegara bisa jadi sebenarnya doa atau harapan. Sebagaimana kita ketahui Bodjanegara memiliki beberapa makna, salah satunya Bodja berarti “makanan” atau “yang memberi makan”, saya pun menyukai makna yang ini. Bahkan saya pernah menuliskan secara khsusu terkait makna ini disini)
Namun yang pasti, pergantian nama ini sekaligus menandai era baru kabupaten Bojonegoro, yang sebelumnya terbagi menjadi tiga kekuasaan – kabupaten Jipang-Rajekwesi, kabupaten Baureno dan kabupaten Mojoranu) akhirnya menyatu menjadi satu daerah kekuasaan dengan nama kabupaten Bojonegoro.
Memang, paska pergantian nama menjadi kabupaten Bojonegoro ini, tidak lagi muncul peristiwa pergolakan atau perlawanan rakyat yang signifikan, sebagaimana periode sebelum-sebelumnya (jika memungkin saya akan menuliskan kisah pergolakan besar yang sempat berkobar di Bojonegoro, judulnya sudah ketemu; “Benarkah Bojonegoro adem ayem?”).
Nah, cerita Sosrodilogo dan Nobunaga ini sedikit ada kemiripan, bukan? Heuheu..
____________
*Penulis: Aw Syaiful Huda, pegiat Kampus Terbuka, peneliti PRCi (Poverty Resource Center Initiative)